YOGYAKARTA, MENARA62.OM – Seri Webinar #4 Perjuangan Melawan Kolonialisme: Kontribusi Cendekiawan Muslim di Asia Tenggara kembali digelar dengan menggunakan platform Zoom dan Youtube, Sabtu (27/11/2021). Kegiatan yang digelar oleh International Institute of Islamic Thought tersebut menghadirkan sejumlah pembicara yang kompeten.
Sambutan dan pembukaan disampaikan Ustaz M. Habib Chirzin, Perwakilan IIIT Indonesia dan Dr. H. Muhammad Hidayat Nur Wahid, Lc., M.Ae, Wakil Ketua MPR Republik Indonesia sekaligus Pengurus Badan Wakaf Pesantren Gontor yang kebetulan keduanya merupakan alumni Pondok Modern Gontor dan pernah bertemu dan mendapatkan celupan semangat langsung dari almarhum Kyai Haji Imam Zarkasyi. Semangat yang sangat membekas dalam sanubari yang bisa jadi pegangan dalam hidup dan kehidupannya.
Sementara dalam paparan mengenai perjuangan dari Tan Sri (Dr.) Zainal Abidin bin Ahmad (Za’ba) disampaikan oleh Prof. Dr. Md. Sidin Ahmad Ishak, Timbalan Naib Canselor (Akademik, Penyelidikan dan Jaringan Industri) Universiti Selangor.
Prof Sidin mengungkap betapa Tan Sri Dr. Zainal Abidin Ahmad juga dikenal dengan nama Za’ba (16 September 1895 – 23 Oktober 1973) adalah seorang ahli bahasa yang berjuang untuk merintis tata bahasa Melayu Malaysia sebagai bentuk kecintaannya akan Bahasa Melayu. Di samping itu merupakan penulis serta sastrawan dan juga seorang pemikir Melayu ternama sekitar tahun 1940-an yang banyak melakukan penerjemahan, penerbitan buku sekolah dan bacaan umum. Ia juga seorang sastrawan dan pemikir Melayu keturunan Bugis dan Minangkabau serta seorang cendekiawan Melayu yang dihormati dan hampir 40 tahun aktif dalam kegiatan penulisan dan penterjemahan. Za’ba merupakan seorang anak kampung yang berjaya meletakkan dirinya sebagai seorang tokoh yang terkemuka dalam sejarah Malaysia.
“Pada tahun 1956 semasa mengetuai Kongres Bahasa dan Persuratan Melayu ketiga menghasilkan capaian luar biasa yaitu uraian tatabahasa Melayu yang lengkap dan mendalam seperti meletakkan asas sistem bahasa Melayu baharu baik dalam bidang ejaan, tatabahasa Melayu maupun retorik,” paparnya.
Selain bahasa beliau juga terlibat secara aktif dalam gerakan pembaharuan Islam dan menghasilkan beberapa buku tentang agama Islam serta turut bergiat aktif dalam pergerakan politik . Dalam bidang penulisan, beliau begitu prolifik mencakupi bidang bahasa sastera, agama, pendidikan, ekonomi dan politik.
Dilanjutkan dengan presentasi tentang Kyai Haji Imam Zarkasyi (salah satu dari Trimurti yang bersama saudaranya Kiai Ahmad Sahal dan Kyai Ahmad Fanani ) merintis dan mendirikan pondok modern Darussalam Gontor, kali ini disampaikan oleh Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi M.A. Ed, M. Phil, Rektor, Universitas Darussalam Gontor yang juga salah satu putra Kiai Imam Zarkasyi.
Sebagai anak biologis dan sekaligus anak ideologis dari Kyai Imam Zarkasyi yang mendidik dengan tegas kepada putra-putrinya dan juga kepada para santrinya.
Pesantren lahir dari semangat untuk melawan penjajahan kolonial, keberadaannya di pelosok adalah sebagai upaya untuk menjadi tempat menyiapkan basis perjuangan dan menyusun.
Lahir di desa Gontor pada tanggal 21 Maret 1910,Putera ketujuh Kyai Santoso Anom Besari ini menempuh Pendidikan: Sekolah Dasar Ongko Loro di Jetis Ponorogo, sementara itu mondok di pondok pesantren Josari Ponorogo, pernah pula belajar di pondok Joresan Ponorogo. Selesai dari Sekolah Ongko loro beliau melanjutkan ke pondok pesantren Jamsaren Solo. Pada waktu yang sama beliau belajar pula di Sekolah Mamba’ul ‘Ulum dan kemudian masih di kota yang sama pula meneruskan ke sekolah Arabiyah Adabiyah pimpinan Ustadz M.O. Al-Hasyimy sampai tahun 1930.
Selama belajar di sekolah-sekolah tersebut ( khususnya Sekolah Arabiyah Adabiyah)beliau mendalami bahasa Arab. Diantara guru beliau yang banyak mendidik, membibing dan mendorong beliau selama belajar di Solo adalah Ustadz Hasyimy, bekas pejuang Tunisia itu. Tidak lama setelah menyelesaikan pendidikannya di Solo beliau meneruskan ke Kweekschool di Padang Panjang sampai tahun 1935.
Pada 1936 setelah menyelesaikan jenjang pendidikan di kweekschool Islam Padang Panjang beliau dipercaya menjadi guru dan direktur di perguruan tersebut. Setahun kemudian kembali ke Gontor dan bersama kakaknya mendirikan KMI di Pondok Modern Darussalam Gontor dan beliau menjadi Direkturnya. Selain sebagai Direktur , pada tahun 1943 diminta untuk menjadi Kepala Kantor Agama Karesidenan Madiun. Sesudah Indonesia merdeka, pada tahun 1946 diangkat menjadi Seksi Pendidikan pada Kementrian Agama. Sejak tahun 1948-1955 menjadi ketua PB Persatuan Guru Islam Indonesia (PGII), selanjutnya tetap menjadi penasehatnya hinga akhir.
Disamping itu beliau juga aktif di Hisbullah yang berjuang dengan menjadi pelatih para laskar untuk mengangkat senjata dalam perang kemerdekaan.
Di Kementrian Agama, KH Imam Zarkasyi menjadi Kepala Bagian Perencanaan Pendidikan Agama pada sekolah dasar mulai tahun 1951-1953 dan Kepala Dewan Pengawas Pendidikan Agama pada tahun 1953. Pada Kementrian Pendidikan menjadi anggota Badan Perencanaan Peraturan Pokok Pendidikan Swasta tahun 1957. Pada tahun 1959 diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi anggota Dewan Perancang Nasional (Deppernas). Pernah pula menjadi anggota Komite Penelitian Pendidikan. Meskipun telah keluar dari Departemen Agama, namun beliau masih dipercaya untuk menjadi ketua Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A) hingga wafatnya. Di Pondok Modern Darussalam Gontor sebagai Direktur KMI dan Pj. Rektor IPD hingga berpulang ke rahmatullah pada tahun 1985.
Dalam kancah Internasional pernah menjadi anggota Delegasi Indonesia dalam peninjauan ke negara-negara Uni Sovyet tahun 1962 dan menjadi wakil Indonesia dalam Mu’tamar Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah (Muktamar Akademi Islam se Dunia) ke VII di Kairo Mesir tahun 1972. Disamping itu juga menjadi Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Pondok Pesantren Gontor sesuai visi dan misinya. Perlu diketahui, sebelumnya Pondok Pesantren Gontor didirikan Ahmad Sahal yang tak lain adalah kakak Imam Zarkasyi.Untuk melanjutkan dakwah kakaknya, Imam Zarkasyi dan Zainuddin Fanani membuka program KMI di Pondok Pesantren Gontor. Program tersebut bernama Kulliyatul Mu’allimin Al- Islamiyah, program tersebut membuat masyarakat bisa mondok di Pesantren sekaligus melanjutkan sekolah menengah dengan waktu belajar mencapai 6 tahun.
Pada 1958, tiga pendiri Pondok Pesantren Modern Gontor menyerahkan wakaf kepada badan wakaf atau nazir setelah pondok tersebut berjalan dengan sistemnya dan 1.000 murid. Saat itu, yang diwakafkan adalah tanah kering 1,7 hektare, tanah basah 16 hektare, 12 unit bangunan, masjid, dua gedung kelas, satu balai pertemuan, enam bangunan asrama putri, satu perumahan guru, dan satu bangunan perpustakaan. Sedangkan, nazirnya adalah tokoh-tokoh masyarakat dari seluruh Indonesia yang pernah belajar di Gontor. “Setelah para pendiri wafat, badan wakaf menjadi lembaga tertinggi yang memilih pimpinan gontor, pimpinan institusi,”
Kini legacy Gontor terbukti sudah bertambah dan ternyata melampaui jamannya untuk konteks Dunia dan Islam dikarenakan keihklasan dan ketulusan para pendiri dan penerusnya.