Kalau ditanya, siapa kader Pemuda Muhammadiyah yang paling terkenal dan diidolakan, hampir semua sepakat menyebut Soedirman. Bagaimana tidak, di Indonesia ini tidak ada orang yang tidak tahu siapa Soedirman. Namanya diabadikan sebagai nama jalan-jalan strategis di hampir semua kota di Indonesia. Ketokohannya dijadikan panutan khususnya di kalangan prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Soedirman menjadi tokoh terkenal dan dikagumi bukan hanya karena dia terpilih menjadi Panglima TNI yang pertama. Bukan hanya karena dia dikenal punya kemampuan strategi tempur yang hebat sehingga memaksa pasukan Inggris dan Belanda mundur dari Ambarawa. Soedirman dikagumi dan dihormati karena dia memiliki karakter yang kuat dan memegang prinsip yang teguh.
Setelah Ibu kota Republik Indonesia yang saat itu jatuh ke tangan Penjajah Belanda dalam agresi militer II tahun 1948, hampir semua petinggi pemerintah RI saat itu ditawan Belanda, tetapi Soedirman memilih tidak mau menyerah dan melakukan perlawanan dengan bergerilya. Padahal saat itu Soedirman sedang sakit parah. Paru-parunya tinggal satu yang bisa bekerja. Apa salahnya jika saat itu dia ikut dalam tawanan Belanda yang sangat mungkin bersedia merawat penyakitnya?
Soedirman beserta prajuritnya harus berpindah-pindah dari kampung ke kampung. Menuruni lembah dan mendaki gunung. Menyusuri sungai dan membelah hutan. Selalu dikejar-kejar pasukan Belanda baik lewat darat, laut, dan udara. Mengapa harus demikian? Bukankah menyerah adalah pilihan yang lebih mudah dan tidak melelahkan?
Soedirman memilih jalan yang sulit dan menderita, karena dia punya keyakinan bahwa keberadaan Tentara Nasional Indonesia dibutuhkan untuk meyakinkan dunia internasional bahwa Negara Republik Indonesia masih ada. Dan yang lebih penting lagi, Tentara Nasional Indonesia tetap bersama rakyat, dan tidak pernah menyerah. Karena itulah dia melakukan perlawanan dengan bergerilya, meski harus dengan ditandu berkeliling pulau Jawa.
Bersama Sri Sultan HB IX sebagai penguasa Keraton Yogyakarta, Soedirman bahkan berhasil membuktikan kekuatan Tentara Nasional Indonesia dengan melakukan Serangan Umum pada 1 Maret 1949 sehingga berhasil menduduki Ibukota Yogyakarta selama 6 jam.
Dengan adanya Serangan Umum 1 Maret 1949 Soedirman telah menunjukkan kepada dunia saat itu bahwa Republik Indonesia dengan TNI nya masih punya kekuatan. Berkat kejadian itu maka perundingan antara Indonesia dan Belanda yang terkenal dengan perjanjian Roem-Royen dan dilanjutkan dengan Konferensi Meja Bundar. Akhirnya, KMB mendesak Belanda untuk mengakui keberadaan Republik Indonesia dan memaksa Belanda menarik diri dari tanah air.
Bulan Juli Tahun 1949, Soedirman akhirnya mengakhiri perang gerilyanya setelah dibujuk oleh Presiden Soekarno. Tidak lama setelah itu, pada tanggal 29 Januari 1950 Soedirman menghembuskan napas terakhirnya di Magelang, akibat penyakit paru-parunya. Soedirman boleh dikatakan tidak sempat menikmati hasil perjuangannya. Namun hampir semua orang mengakui berkat perjuangannya kemerdekaan Indonesia bisa dipertahankan dan akhirnya mendapat pengakuan penuh dunia internasional.
Pemuda Muhammadiyah
Sebelum menjadi prajurit TNI, Soedirman adalah seorang pemimpin Pemuda Muhammadiyah dan kepanduan Hizbul Wathan di Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah. Berkat kemampuan kepemimpinannya di Pemuda Muhammadiyah, Soedirman terpilih menjadi Komandan PETA daerah Banyumas. Kariernya terus menanjak hingga akhirnya terpilih menjadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (cikal bakal TNI) pada usia 29 tahun dalam musyawarah TKR di Yogyakarta pada 12 Nopember 1945. Soedirman mengalahkan Oerip Soemohardjo, tokoh militer yang usianya jauh lebih senior.
Di hari Milad Pemuda Muhammadiyah ke – 88 tanggal 2 Mei 2020 kali ini, tidak ada salahnya jika kita berusaha kembali meneladani Soedirman, terutama dalam hal pengabdian dan keteguhan dalam memegang prinsip perjuangan. Selamat Milad ke 88 Pemuda Muhammadiyah. Semoga Allah SWT memberi petunjuk dan ridlaNya untuk kita semua. Aamiin.
Muhammad Izzul Muslimin, Bekasi, 2 Mei 2020