Ratusan petugas polisi tampak bersiaga. Mereka datang dilengkapi dengan surat perintah penangkapan. Namun, itu tidak cukup untuk menangkap dan membawa Presiden Yoon Suk Yeol yang telah dimakzulkan.
Polisi sudah berjam-jam berhadapan dengan tim keamanan yang membentuk tembok manusia di luar rumahnya. Mereka para loyalis Yoon Suk Yeol.
Situasi ini bukan hanya mencolok di mata publik internasional, tetapi juga menandai sebuah peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam politik Korea Selatan. Ketegangan ini berawal dari perintah darurat militer yang dikeluarkan oleh Yoon. Perintah itu belakangan tak bertahan lama. Bahkan kemudian, diikuti oleh pemungutan suara pemakzulan terhadapnya, dan kini, surat perintah penangkapannya sudah dikeluarkan.
Pertanyaannya, mengapa begitu sulit bagi aparat penegak hukum untuk menangkap seorang pemimpin yang sudah dimakzulkan dan diskors?
Jawaban untuk itu tidak hanya terletak pada kegagalan koordinasi, tetapi juga pada loyalitas yang mengkhawatirkan di dalam institusi kepolisian dan tim keamanan Yoon. Ribuan orang berkumpul di luar kediamannya untuk memperlihatkan dukungannya pada Yoon, realitas yang berkembang ini menunjukkan bahwa Yoon, meskipun sudah dipermalukan secara politik, tetapi ternyata masih memiliki basis pendukung yang cukup kuat.
Pada hari Jumat pagi, para pendukung Yoon bertahan dengan gigih, berusaha menggagalkan usaha penangkapannya. Di sisi lain, pihak berwenang Korea Selatan menghadapi kebuntuan. Polisi, meskipun dipersenjatai dengan surat perintah, tidak berhasil mematuhi instruksi dari pelaksana tugas Presiden Choi Sang-mok, yang seharusnya memimpin negara sementara Yoon diskors. Sebuah dilema politik yang menggambarkan betapa rumitnya masalah kesetiaan dan kekuasaan dalam pemerintahan Korea Selatan.
Enggan
Mengapa polisi dan tim keamanan Yoon tampak enggan melaksanakan perintah tersebut? Beberapa pakar politik dan hukum percaya bahwa mereka tidak hanya setia pada tugas mereka, tetapi juga pada sosok Yoon itu sendiri. Kepemimpinan di lembaga-lembaga ini mungkin telah disusupi oleh loyalis garis keras yang siap mendukung Yoon, bahkan dalam situasi yang penuh dengan ketidakpastian hukum ini. Terlebih lagi, kepala PSS, Park Jong-joon, yang baru ditunjuk Yoon, serta pendahulunya, Kim Yong-hyun, yang terlibat dalam pemberian saran tentang darurat militer, memperkuat dugaan bahwa Yoon mempersiapkan segenap lapisan kekuasaannya untuk menghadapi potensi krisis seperti ini.
Menurut Christopher Jumin Lee, seorang pengacara dan pakar Korea, mungkin saja Yoon telah dengan sengaja menempatkan loyalis di posisi strategis untuk menjaga stabilitas kekuasaannya. Ini adalah strategi yang berisiko tinggi, namun sangat efektif dalam mempertahankan kontrol terhadap lembaga-lembaga penting.
Dengan segala drama dan intrik yang terungkap, sulit untuk tidak bertanya: apakah Yoon Suk Yeol akan bertahan di posisinya, atau justru berakhir dalam sejarah sebagai seorang pemimpin yang jatuh karena loyalitas yang lebih besar terhadap dirinya pribadi daripada negara? Apa pun hasilnya, krisis ini jelas menunjukkan ketegangan yang mendalam dalam politik Korea Selatan, di mana loyalitas pribadi sering kali mengaburkan garis antara hukum dan politik.