Tempo hari, saya diajak menghadiri sebuah tabligh akbar yang mendatangkan seorang habib asal Indonesia. Jamaah yang hadir cukup banyak, satu gedung penuh. Teman yang mengajak saya tersebut tiba-tiba berceletuk kepada saya.
“Mas, kenapa toh di Muhammadiyah tidak ada habib kayak di NU?”
“Kata siapa di Muhammadiyah tidak ada habib?”
“Saya lihat di tiap-tiap tabligh akbar yang diadakan oleh Muhammadiyah, tidak ada satupun pembicaranya yang habib. Kalau tidak professor doctor, ya minimal ustadz lah. Itupun pasti ada gelar akademiknya di belakang atau di depan”
Saya pun berseloroh menjawab pertanyaannya tersebut.
“Di Muhammadiyah ada kok habib. Beliau tinggal di Magelang. Bahkan saya pernah memoderatori beliau saat pengajian di Bengkulu. Namanya [Ustadz] Habib Chirzin. Mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah”
“Wah ternyata ada ya mas?” jawabnya dengan polos
“Iya ada, nama beliau memang Habib Chirzin. Sesuai dengan nama pemberian orangtua beliau”
Teman sayapun agak menggerutu sambil menampakkan muka sebal mendengar selorohan dari saya. Tak tega melihatnya begitu, saya pun menjelaskan mengapa di Muhammadiyah tidak ada ulama-nya yang bergelar habib.
Sejak dulu sudah menjadi langgamnya bahwa di
Muhammadiyah tidak mengkultuskan orang. Baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup. Bahkan sekaliber pendirinya, KH Ahmad Dahlan, pun tidak dikultuskan dengan memberi gelar-gelar berlebihan, mengkeramatkan makamnya, atau menjadikannya sebagai
wasilah doa.
Ini semata-mata dilakukan sebagai bentuk ketaatan warga
Muhammadiyah pada ajaran Rasulullah SAW, yang memang selama hidupnya pun tidak melakukan hal-hal tersebut. Sehingga
Muhammadiyah berusaha meneladani perilaku yang dicontohkan oleh nabi.
Di
Muhammadiyah sendiri tidak mengenal istilah “darah biru”, golongan masyarakat yang masih memiliki tautan darah dengan orang yang dianggap penting di
Muhammadiyah, yang biasanya menempati posisi terhormat. Bagi beberapa organisasi lainnya, keberadaan darah biru menjadi penting, bahkan bisa menjadi legitimasi kepemimpinan seseorang. Namun
Muhammadiyah berbeda.
Sejak dulu, sudah menjadi tradisi bahwa untuk menjadi seorang pendakwah/ulama
Muhammadiyah, seseorang “harus” memiliki kapabilitas keilmuan formal. Ini dimaksudkan agar keilmuan ulama di
Muhammadiyah menjadi terstandar. Tradisi ini berimbas pada jumlah ulama di
Muhammadiyah itu sendiri. Tidak semua yang memiliki tautan darah dengan pendiri
Muhammadiyah secara otomatis menjadi ulama, atau setiap mereka yang lulus dari pondok pesantren langsung menjadi seorang ulama.
Biasanya seseorang akan menempuh minimal jenjang studi S1 pada bidang agama Islam, untuk bisa menjadi seorang ulama di
Muhammadiyah. Ini bisa kita lihat di berbagai pengajian di
Muhammadiyah, dimana hampir semua ulama dan pendakwah
Muhammadiyah pasti memiliki gelar akademik. Bahkan,
Muhammadiyah sampai khusus mendirikan “perguruan tinggi khusus” untuk pendidikan ulama tarjih yang merupakan satu-satunya di
Indonesia.
Ketika Ilmu Lebih Utama dari Nasab
Untuk menjadi ulama di
Muhammadiyah, dibutuhkan ilmu, bukan saja nasab. Ini sudah menjadi pakem sejak awal berdirinya
Muhammadiyah. Nasab mungkin bisa menjadi pertimbangan, tapi bukanlah yang utama. Jika ada 10 syarat menjadi seorang ulama di
Muhammadiyah, bisa jadi nasab adalah syarat nomor 9 atau 10.
Di
Muhammadiyah tidak ada pengistimewaan seseorang berdasarkan nasabnya. Cucu dan cicit seorang pendiri
Muhammadiyah sekalipun diperlakukan yang sama. Namun, jika ia berilmu, maka istimewalah posisinya di
Muhammadiyah, seperti menjadi pengurus ataupun lainnya.
Saya sendiri berteman dengan salah seorang cucu dari ulama besar
Muhammadiyah, Buya Hamka. Keulamaan beliau tak diragukan lagi. Tafsir Al-Azhar adalah salah satu bukti keunggulan ilmu beliau dan menjadi
hujjah keulamaan beliau. Namun sang cucu tidak memilih bidang yang sama dengan kakeknya tersebut. Ia memilih jalan sebagai seorang akademisi. Ketika di Taiwan, ia diperlakukan sama dengan kader dan warga
Muhammadiyah lainnya. Tidak ada bedanya. Saat pemilihan Ketua
Muhammadiyah Taiwan tahun 2018, tim formatur tidak menjadikan latar belakangnya sebagai “keluarga ningrat
Muhammadiyah” sebagai dasar memilihnya sebagai Ketua PCIM Taiwan.
Namun karena kesungguhan dan kepeduliannya mau mengurus
Muhammadiyah di ranting dan AUM serta ilmu organisasinya yang luas, maka ia secara aklamasi dipilih menjadi Ketua PCIM Taiwan.
Apakah Ada Habib yang Menjadi Kader Muhammadiyah?
Jika yang dimaksud adalah kader bergelar habib, maka jawabannya tidak ada. Karena seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, di
Muhammadiyah tidak lazim menggelari seseorang karena nasabnya. Tapi jika berbicara apakah ada kader
Muhammadiyah yang merupakan keturunan arab/nenek moyangnya berasal dari
Hadramaut (Yaman), maka jawabannya ada.
Di kantong-kantong pemukiman warga keturunan arab seperti di Ampel Surabaya, Pantura Jawa Tengah, dan daerah lainnya, ada juga warga
Muhammadiyah berlatarbelakang keturunan arab. Bisa jadi, salah satu diantara mereka masih memiliki garis keturunan dari Nabi yang lazim digelari Habib.
Namun mereka memilih tidak memakai gelar tersebut. Bahkan, KH Ahmad Dahlan sendiri sebenarnya adalah seorang habib, karena nasab beliau sampai pada Rasulullah SAW. Tapi beliau tidak memakainya dan hingga kini para kader dan anggotanya pun tidak menggelari beliau dengan sebutan habib.
Jadi, bagi yang masih mencari-cari seorang habib di
Muhammadiyah, maka cukupkanlah pencarian itu. Pahami lebih dalam tentang langgam gerakan ini. Tidak perlu silau dengan gelar-gelar seseorang. Karena yang membedakan manusia itu bukan gelarnya, namun iman, amal dan taqwanya. Tak perlu risau bahwa kita bukan dari kalangan “ningrat ulama”. Karena di
Muhammadiyah, seorang [mantan] warga NU sekalipun bisa menjadi ulama
Muhammadiyah.