JAKARTA, MENARA62.COM– Stunting atau tubuh pendek masih menjadi masalah gizi utama bagi anak dibawah usia lima tahun (Balita) di Indonesia. Data menunjukkan sekitar 30,8 persen anak Indonesia mengalami stunting. Prosentase tersebut jauh diatas rata-rata dunia yang mencapai 21,9 persen.
Southeast Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO) Regional Centre for Food and Nutrition (RECFON) sebagai organisasi bidang pangan dan gizi kerjasama menteri-menteri pendidikan se-Asia Tenggara dengan pengampuan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI terus berkontribusi dalam program-program pengentasan stunting. Salah satunya adalah mengembangkan berbagai program pendidikan gizi melalui program unggulan “Anakku Sehat dan Cerdas”.
Program ini kata Grace Wangge, Manajer Riset dan Konsultasi SEAMEO RECFON adalah menerjemahkan konsep PAUD Holistik Integratif (PAUD-HI) yang telah dicanangkan oleh Kemendikbud.
“Mitra SEAMEO RECFON untuk program unggulan ini antara lain adalah SEAMEO center lainnya yaitu SEAMEO Regional Centre for Early Childhood Care Education and Parenting (CECCEP) di Bandung untuk bidang pendidikan anak usia dini dan parenting serta SEAMEO Regional Centre for Tropical Medicine (TROPMED) di Bangkok untuk bidang kesehatan masyarakat,” jelasnya.
Selain itu, didukung oleh organisasi profesi seperti Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (HIMPAUDI), SEAMEO RECFON telah melakukan pemetaan kompetensi gizi para guru PAUD seluruh Indonesia. SEAMEO RECFON juga melakukan pelatihan untuk guru PAUD mengenai penyampaian materi pendidikan gizi untuk orang tua, baik melalui media on-line dan off-line.
Semua program tersebut menjadi bagian dari strategi penting untuk meningkatkan peran keluarga serta PAUD dalam mengoptimalkan tumbuh kembang anak Indonesia.
Grace mengatakan bahwa upaya-upaya tersebut terus dilakukan untuk mencapai target penurunan stunting dari 30,8 persen menjadi 20,0 persen pada 2025.
“Kita masih ada waktu 6 tahun untuk mengejar target 20 persen,” tambahnya.
Data menunjukkan bahwa angka stunting tertinggi di Indonesia adalah NTT mencapai 53 persen. Untuk Pulau Jawa berkisar antara 20 hingga 30 persen. sedangkan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua berkisar 30 hingga 40 persen. Hanya Bali yang angka stuntingnya kurang dari 20 persen.
Mengapa penting?
Menurut Grace, stunting menjadi persoalan gizi yang sangat penting untuk diperhatikan. Sebab stunting dimana anak tumbuh lebih pendek dari anak seusianya akan berpengaruh pada produktivitas dimasa depan.
Anak dengan riwayat stunting cenderung memiliki mutu dan kualitas lebih rendah, pendapatan lebih rendah dan menjadi pemicu munculnya berbagai penyakit tidak menular pada usia dewasa. Stunting akan menjadi masalah trans-generasi, dimana ibu yang pendek, cenderung akan mempunyai juga anak yang stunting.
“Stunting bahkan menjadi indicator kuat untuk memprediksi kematian dan produktivitas masa depan, ikut menentukan generasi emas Indonesia 2045,” kata Grace.
Lebih lanjut Grace menjelaskan stunting disebabkan oleh beberapa faktor, tidak sebatas asupan makanan yang kurang.Penyebab langsung misalnya konsumsi makanan dan status infeksi anak. Sedang penyebab tidak langsung meliputi ketersediaan dan pola konsumsi rumah tangga, pola asuh pemberian ASI/MP-ASI, pola asuh psikososial, penyediaan MP-ASI, kebersihan dan sanitasi serta pelayanan kesehatan dan kesehatan keluarga.
BACA JUGA:
- Fasli Jalal: Penurunan Stunting Perlu Kerjasama Semua Pihak
- Hindari Risiko Stunting pada Anak dengan ASI Eksklusif
Guna mengatasi masalah stunting, Grace menilai pendidikan gizi kepada publik menjadi sangat penting. Terutama terkait edukasi bagaimana mencegah stunting sejak dini.
“Untuk itu diperlukan support system, termasuk lewat pendidikan anak usia dini (PAUD) dan sekolah,” ujarnya.
Stunting dan rokok
Dalam satu studi yang digelar SEAMEO RECFON bekerjasama dengan The Union-Bloomberg tentang potensi peningkatan pajak dan cukai rokok dan pemanfaatannya untuk program gizi terkait stunting di Indonesia, ditemukan bagaimana rokok menjadi masalah penting dalam persoalan stunting ini.
Umi Fahmida, peneliti utama SEAMEO RECFON menjelaskan, belanja rokok di Indonesia menjadi pengeluaran terbesar ketiga dalam rumah tangga (12,4 %) dari pengeluaran rumah tangga). Besaran belanja rokok tersebut jauh lebih besar dari anggaran yang dibelanjakan untuk membeli sayur-mayur (8,1 %) serta telur dan susu (4,3%).
“Bayangkan, kalau yang 12, 4 % itu disisihkan, akan sangat berkontribusi untuk keragaman pangan yang bermanfaat bagi peningkatan gizi anak. Uang itu bisa dibelikan sesuatu yang berguna, mungkin dibelikan telur, ikan sayur dan buah,” tegasnya.
Merujuk pada hasil analisis data Indonesian Family Life Survey (IFLS), kemungkinan anak dari keluarga perokok menjadi stunting lebih besar dari anak keluarga tanpa perokok. Selain itu, berdasarkan studi dari Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia, anak-anak dari keluarga perokok kronis memiliki kecenderungan untuk tumbuh lebih pendek dan lebih ringan dibandingkan dengan anak dari keluarga tanpa perokok.
Menurut Umi, tanggungjawab mengatasi stunting bukan saja terletak pada sektor kesehatan. Tetapi sektor lain seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pemda dan lainnya juga memiliki tanggungjawab yang sama.
“Harus ada kerjasama lintas sektor, sehingga target penurunan stunting menjadi minimal 20 persen pada tahun 2025 bisa terealisasikan,” tutupnya.
Sementara itu Deputi Program SEAMEO RECFON Jesus Corpuz Fernadez mengatakan berbagai program dan penelitian yang dihasilkan SEAMEO RECFON terkait makanan dan nutrisi perlu disosialisasikan kepada public. Harapannya, hasil penelitian tersebut dapat memberikan sumbangan pemikiran, ide-ide dan inovasi bagi masyarakat untuk mengatasi masalah stunting.
“Kami berharap media dapat mempublikasikan hasil-hasil penelitian kami terkait makanan dan nutrisi,” tandasnya. (kurniawati)