JAKARTA, MENARA62.COM – Mitos tidak selamanya cerita khayalan rakyat sekedar pengantar tidur anak. Pada beberapa mitos yang terpelihara turun temurun, acapkali menyimpang rekam jejak masa lalu sebuah wilayah. Sebut saja soal tsunami di pantai selatan Jawa.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dalam pernyataan resminya menginformasikan adanya potensi gempa dengan magnitude M 8,8 di pantai selatan Pulau Jawa. Alasannya, pantai selatan Jawa merupakan zona megathrust.
Terkait potensi gempa yang sangat besar tersebut dibenarkan oleh Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI, Zainal Arifin. Ia mengatakan bahwa Barat Sumatera, Selatan Jawa sampai Bali adalah zona subduksi pertemuan lempeng benua Asia dan Australia.
“Ini menjadikan Indonesia mempunyai potensi bencana dari letusan gunung, berapi, gempa sampai tsunami,” ujar Zainal Arifin dikutip dari laman lipi.go.id.
Potensi gempa yang maha dasyat tersebut menurut Zainal sesungguhnya sudah diketahui masyarakat sejak jaman dahulu. Setidaknya ini tergambar pada pengetahuan berbasis kearifan local dalam bentuk mitos dan dongeng rakyat.
“Mitos dan dongeng sebetulnya adalah bentuk keingintahuan masyarakat pada masa lalu terhadap persitiwa alam,” lanjut Zainal.
Diakui, mitos yang berkembang ditengah masyarakat ini acapkali dapat dijadikan dasar untuk menguak penemuan fakta sain. Misalnya saja cerita adanya kota yang hilang di sekitar selatan Sumatra, Riau. Cerita ini oleh peneliti kemudian ditelusuri menggunakan pendekatan ilmiah.
Mitos yang kemudian dijadikan dasar untuk menguak sains lainnya adalah sejarah tsunami di pantai selatan Jawa. Melaui mitos Ratu Kidul, Eko Yulianto, peneliti paleotsunami Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencoba mengungkapkan fakta tentang gelombang besar yang melanda pantai selatan Jawa pada 400 tahun lalu. Tentunya pelacakan keberadaan tsunami ini juga menggunakan penggalian deposit tsunami.
Metode pelacakan tsunami berdasarkan mitos ini kemudian dikenal sebagai geomitologi dengan keyakinan bahwa mitos-mitos kerap menyimpan informasi tentang suatu peristiwa pada masa lalu.
“Prinsip yang digunakan adalah bumi mempunyai siklus untuk peristiwa-peristiwa yang ada di dalamnya apakah itu letusan gunung, tsunami, banjir, gempa, dan sebagainya. Kejadian alam dan mitos ini kemudian dapat disatukan dalam ilmu geomitologi,” ujar Eko.
Mitos simpan informasi masa lalu
Eko menjelaskan, metode penelitian geomitologi meyakini bahwa mitos-mitos kerap menyimpan informasi tentang suatu peristiwa di masa lalu.
“Seperti contohnya adalah mitos tentang Ratu Kidul yang diduga adalah metafora bahwa pernah terjadi gelombang besar di pesisir Selatan Jawa,” ujarnya.
Ia menjelaskan, geomitologi bukan sekadar cocokologi seperti yang sering ditemui saat ini. Sebab Geomitologi tidak hanya berhenti pada mitos-mitos dan spekulasi. Mitos dan spekuluasi tersebut terus diverifikasi dan dibuktikan secara ilmiah. Sementara cocoklogi hanya berhenti pada spekulasi tanpa dibuktikan lebih lanjut.
Masih dikutip dari laman lipi.go.id, Eko mengawali penelitiannya ini karena menemukan adanya lapisan pasir di daerah Pangandaran yang mengindikasikan pernah terjadi tsunami purbakala yang sekitar 400 tahun lalu. Ia pun melanjutkan penelitiannya di pesisir Jawa lain dan menemukan rekam jejak yang sama di sekitaran era yang sama.
“Dari sini saya bertanya-tanya, ada peristiwa apa di tanah Jawa pada 400 tahun yang lalu. Ternyata sesuai penjelasan di Babad Tanah Jawi saat itu kerajaan Mataram dibangun Islam dan Panembahan Senopati menjadi raja pertamanya,” ujar Eko.
Ia kemudian mengumpulkan catatan-catatan sejarah dan cerita rakyat untuk menelaah jejak tsunami purbakala ini. Salah satunya adalah mitos Ratu Kidul yang dipercaya sebagai penguasa pantai selatan Jawa .
“Ada cerita Panembahan Senopati bertapa di pantai Selatan Jawa untuk meminta bantuan kepada Ratu Kidul untuk dapat membangun kerajaan Mataram, sedangkan dirinya bukan keturunan langsung raja. Setelah pertapaan tersebut, timbulah gelombang tinggi,” terangnya.
Eko juga mengaitkan dengan tembang Serat Sri Nata yang menyebutkan adanya bencana gelombang tinggi, airnya panas sehingga mematikan banyak makhluk hidup. Dalam Serat Sri Nata tertulis bahwa langit kala itu bergemuruh dan gelap disertai petir.
“Bukankah ini membuktikan bahwa bencana itu benar terjadi. Hanya saja Panembahan Senopati berhasil memanfaatkan bencana ini agar seolah-olah Ratu Kidul merestuinya menjadi raja. Ia mengemas bencana ini sebagai mitos turun-temurun untuk kepentingan legitimasi politiknya,” jelas Eko.
Melalui penelitiannya, Eko berharap dapat menguak jejak tsunami purbakala ini sehingga masyarakat dapat lebih waspada dengan potensi bencana yang dihadapi.
“Harapannya kita dapat membangun masyarakat yang lebih rasional dan lebih waspada, serta dapat mempersiapkan diri menghadapi ancaman-ancaman, sehingga kerugian dan korban bisa dikurangi dikurangi. Termasuk juga mengapresiasi cerita itu dalam kajian akademis,” tutup Eko.