Oleh : Ace Somantri
BANDUNG, MENARA62.COM – Fenomena perbedaan faham beragama Islam sudah lumrah dan biasa sejak 14 abad yang lalu. Terlebih dalam kehidupan sosial kemasyarakatan Islam di Indonesia sangat unik. Fenomena beda awal Ramadhan maupun 1 Syawal Hijriyah beberapa tahun ke belakang sering menjadi arena saling bully. Bahkan, di grup WA ada yang menyarankan pemerintah harus memberikan penegasan kepada Muhammadiyah untuk mengikuti keputusan pemerintah dengan alasan taat pada ulil amri. Apalagi tahun ini 1444 H, ada kepala daerah yang melarang atau tidak mengijinkan penggunaan lapangan milik pemerintah atau tempat lain yang dianggap menggangu.
Secara kuantitatif warga Muhammadiyah pada posisi lebih sedikit, sehingga membuat sebagian warga Muhammadiyah apabila menjalankan puasa ketika awal Ramadhan beda dengan pemerintah menjalankan dengan cara diam-diam. Bahkan tidak sedikit yang mengikuti pemerintah karena di lingkungannya mengikuti pemerintah semua. Selain tidak memiliki keilmuan tentang Hilal saat awal bulan, secara psikologis khawatir dianggap egois-individualistik dan kadang merasa malu berbeda dengan umat Islam pada umumnya.
Muhammadiyah sebagai organisasi persyarikatan yang sudah memiliki portofolio dan jam terbang luar biasa, sejarah panjang menghadapi liku kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan organisasi masyarakat Islam tertua di Indonesia yang lahir sebelum lahirnya Indonesia, dalam mengelola keragaman beragama dalam Islam sudah teruji dan terbukti senantiasa memberi pencerahan faham keberagamaan Islam. Tidak sedikit banyak tokoh bangsa ini lahir dari perut persyarikatan Muhammadiyah. Wajar saja, saat tertentu warga persyarikatan merasa bangga dan salut.
Fenomena perbedaan faham keagamaan, khususnya ijtihad tentang awal Ramadhan dan awal Syawal sering menyita perhatian publik, khususnya umat muslim pada umumnya sering bertanya-tanya kenapa ini dapat terjadi, padahal sumbernya sama. Saling klaim paling benar dalam kelompok ormas Islam tidak dibenarkan, sebaiknya saling menghargai dan menghormati selama rasionalisasi keilmuan dapat dipertanggungjawabkan. Kadang yang lucu, warga Muhammadiyah sendiri apalagi pegawai di lingkungan Amal Usaha
Muhammadiyah banyak yang tidak mengikuti maklumat organisasi yang menaungi dalam pekerjaannya. Yang seharusnya memberikan pencerahan kepada orang lain, minimal mengamalkan ajaran oleh dirinya sebagai bentuk militansi bermuhammadiyah.
Kasus-kasus di atas mengindikasikan banyak warga Muhammadiyah yang masih tidak faham maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah khususnya terkait penentuan awal ibadah shaum Ramadhan dan awal Syawal untuk shalat Ied Fitri. Kemudian ada pertanyaan berikutnya, saat warga dan pegawai Amal Usaha Muhammadiyah saat ketika tidak mengikuti maklumat Muhammadiyah dapat dikatakan keluar dari warga Muhammadiyah? Atau hanya sekedar kerja atau bekerja menjadi karyawan/staf, guru, dosen dan pekerja lainnya di Muhammadiyah? Sependek yang diketahui kenapa disebut warga Muhammadiyah? Karena dapat dikatakan hampir 95% staf/karyawan, guru, dosen, dan pekerja lainnya di berbagai amal usaha Muhammadiyah memiliki kartu anggota Muhammadiyah, sehingga bisa dikatakan sebagai warga Muhammadiyah.
Inilah bentuk pengujian secara tidak langsung, sejauh mana ketaatan dan militansi sebagai penggerak amal usaha Muhammadiyah terhadap organisasi persyarikatan Muhammadiyah. Apakah ada sanksi atau teguran manakala tidak taat dan patuh pada kebijakan dan maklumat Persyarikatan Muhammadiyah? Ini menjadi catatan sangat penting bagi pimpinan persyarikatan Muhammadiyah di level masing-masing tingkatan dan juga pimpinan amal usaha diberbagai jenis amal usaha Muhammadiyah. Kepatuhan tidak menjadi wajib mutlak secara syari’, namun kesadaran diri untuk mengikuti dan patuh ada sebuah keniscayaan sebagai pertanggungjawaban moral.
Fenomena ini akan menjadi asyik dan menarik diperbincangkan dan dicarikan solusi untuk perbaikan dalam pengelolaan organisasi Muhammadiyah dan amal usahanya ke depan. Controlling kepatuhan dan ketaatan warga dan pimpinan persyarikatan pada organisasi Muhammadiyah bukan hanya soal tata cara ibadah, melainkan seluruh kaidah-kaidah persyarikatan Muhammadiyah yang menyangkut gerak laju roda organisasi dan eksistensi institusi amal usaha Muhammadiyah yang dilahirkan oleh persyarikatan Muhammadiyah.
Benar atau salah, faktanya memang ada dan terjadi bahkan terlihat dan terdengar secara inderawi. Justifikasi tendensius pada seseorang bukan yang dimaksudkan, melainkan menjadi data dan fakta bahwa itu ada dan harus diakui dan disadari oleh para pimpinan dan aktivis persyarikatan Muhammadiyah di berbagi level.
Sekalipun jam terbang persyarikatan Muhammadiyah melebihi negara, bukan berarti tidak ada yang salah apalagi tidak ada kekurangan! Semakin tua organisasi persyarikatan semakin banyak halang-rintang dan tantangan. Semakin besar kelembagaan organisasi persyarikatan semakin mudah masuk anggota Muhammadiyah dan relatif sulit dikontrol. Sehingga untuk mempermudah hal tersebut masing-masing di tingkat pimpinan harus mengetahui domisili anggotanya, termasuk lebih baik mengetahui aktifitas sosial kemasyarakatannya. Kesungguhan pimpinan persyarikatan dan pimpinan amal usaha benar-benar dipertaruhkan untuk mengetahui anggota pimpinan dan warga persyarikatan secara terorganisasi.
Tidak sedikit staf/karyawan, guru, dosen dan juga pekerja lainnya di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah sekadar bekerja tidak lebih, bahkan lebih parah lagi aktif di organisasi kompetitor ideologi atau platform organisasi Persyarikatan Muhammadiyah. Bahkan kadang ada di antara mereka membawa faham keagamaan Islam selain ajaran yang ditarjihkan oleh majelis tarjih Muhammadiyah sebagai rujukan keberagamaannya dan menjalankan organisasi amal usaha tidak mengikuti kaidah persyarikatan Muhammadiyah.
Ini menjadi perkerjaan rumah bagi pengelola amal usaha Muhammadiyah dan pimpinan persyarikatan. Tanggung jawab ini ada di pundak para pimpinan persyarikatan, pimpinan amal usaha dan para kader militan persyarikatan Muhammadiyah. Sematan kader atau pimpinan persyarikatan bukan menjadi kebanggan tatkala belum memberikan ketauladanan (al-Qudwah), apalagi mempertontonkan sikap yang arogan merasa paling bermuhammadiyah padahal banyak hal yang tidak linear dengan tuntunan dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah. Semoga di bulan Ramadhan ini menjadi bulan instrospeksi dan evaluasi diri sebagai warga persyarikatan Muhammadiyah maupun atas nama institusi entitas persyarikatan. Ketaatan dan kepatuhan warga dan pekerja juga penggerak di lingkungan Muhammadiyah kesadaraannya terus meningkat. Wallahu’alam.
Bandung, April 2023