Imam Shamsi Ali
Sebagai anak bangsa yang telah menghabiskan dua pertiga umurnya di luar negeri, tetap konsisten cinta bangsa dan tanah air. Bagaimana pun juga ikatan batin dan emosi kebangsaan itu tidak pernah berkurang. Saya yakin, ini pula sentimen ribuan bahkan jutaan anak bangsa yang hidup di berbagai belahan dunia ini.
Ada rasa cinta dan kedekatan yang tidak bisa diintervensi apapun, bahkan oleh kewarganegaraan itu sendiri. Dan ini pula yang menjadikan anak-anak bangsa di berbagai belahan dunia itu, tetap mengikuti dari dekat, dan membangun perhatian penuh dengan Republik ini.
Suatu hari saya hadir dalam acara perkumpulan lansia (lanjut usia) di kota New York. Mereka adalah orang-orang Indonesia yang umumnya berumur di atas 70 tahun, yang juga rata-rata telah menjadi warga negara Amerika. Mereka telah berpuluh-puluh tahun hidup di negara Amerika, beranak dan bercucu warga negara Amerika.
Yang menarik, saya mendegarkan percakapan hangat, dan terasa segar, justru bukan mengenai Amerika. Tapi mengenai perkembangan mutakhir di dalam negeri Indonesia. Secara iseng saya bertanya ke beberapa orang di antara mereka: “kalau seandainya Tuhan memberikan umur panjang dan kemudahan, apa yang bapak/ibu ingin lakukan?”.
Saya sungguh terkejut dengan respon mereka. “Kalau ada umur panjang, saya hanya ingin memberikan kontribusi apapun yang saya bisa kepada bangsa saya, Indonesia“.
Ikatan emosi sekaligus pengalaman lansia ini menjadikan saya yakin bahwa nasionalisme bangsa Indonesia itu begitu kuat. Nasionalisme bangsa ini tidak semudah itu digeserkan oleh apapun, termasuk idiologi-idiologi apapun. Terkecuali tentunya yang telah membuktikan diri sebagai pengkhianat bangsa, seperti komunisme. Selebihnya diperlukan kejelian, kehati-hatian, dan penelitian yang dalam sebelum sampai ke sebuah kesimpulan.
Pancasila, UUD dan NKRI
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah merupakan konsensus nasional untuk menjadikan Pancasila dan UUD sebagai pondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semua manusia Indonesia telah menerima ini sebagai “warisan founding fathers” dan sekaligus nafas perekat kebangsaan.
Dan karenanya memang dalam bingkai negara kesatuan, menolaknya adalah penolakan kepada bangsa dan negara itu sendiri. Dengan kata lain, menolak Pancasila dan UUD 45 adalah “treason” (pengkhianatan) kepada negara ini. Siapapun dan apapun latar belakangnya, baik secara etnis maupun agama harus menerima kedua pilar kehidupan berbangsa dan bernegara ini.
Masalahnya kemudian, bagaimana mengakomodir variasi penafsiran Pancasila itu? Dan lebih khusus lagi dalam kerangka pemahaman agama-agama? Tidak saja dalam hubungan antar agama. Tapi juga berbagai penafsiran yang ada dalam satu agama (intra agama).
Agama adalah keyakinan dalam hati sekaligus petunjuk hidup. Dalam realisasinya, agama bukanlah “bulldozer” yang menggusur segala hal dalam hidup manusia. Tapi datang menguatkan yang sudah baik dan memperbaiki yang tidak baik. Itulah sebabnya agama di satu sisi tegas. Tapi di sisi lain sangat fleksible mengakomodir berbagai paham dan praktek lokal dalam kehidupan manusia. Dan itu pula yang menjadikan warna agama pada tataran prakteknya berbeda dari satu bangsa ke bangsa yang lain. Sehingga wajar jika keragaman internal umat ini tidak kalah dari keragaman eksternalnya.
Memahami Pancasila dari sudut pandang keyakinan dan pemahaman agama ini, tentu juga tidak lepas dari kemungkinan keragaman itu. Ambillah misalnya sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sudah pasti pemahaman makna dan defenisinya akan berbeda antara pemahaman seorang Muslim dan Hindu. Lalu dari kedua pemahaman yang berbeda karena ikatan agama masing-masing itu, mana yang dianggap benar dan loyal dengan Pancasila dan mana yang tidak?
Saya melihat gegabah dalam menilai seseorang atau sekolompok orang sebagai anti Pancasila, UUD dan NKRI, justru bisa berdampak sangat negatif terhadap loyalitas dan nasionalisme kepada bangsa dan negara itu sendiri. Penafsiran atas pasal-pasal Pancasila dan UUD seharusnya tidak dijadikan pijakan kesimpulan jika orang atau sekelompok orang telah anti Pancasila, UUD dan NKRI. Tentu dengan catatan masih menerimanya sebagai pijakan dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Mungkin sebagai ilustrasi saja. Dalam agama Islam adalah sebuah kesalahan fatal untuk mengkafirkan seseorang yang masih percaya dengan agama Islam, percaya dengan Allah dan rasulNya, percaya dengan kitab suci Al-Qur’an, dan seterusnya, hanya karena memiliki penafsiran yang mungkin dianggap nyeleneh, bahkan salah. Selama itu penafsiran dan bukan pengingkaran, dia berhak untuk tetap berada dalam rumah Islam itu (Muslim). Mengeluarkannya dari rumah Islam hanya karena tidak sejalan dengan kita, bahkan salah sekalipun, tidak akan dilakukan kecuali oleh golongan “takfiri” yang super radikal itu.
Saya khawatir, justru menghakimi orang atau kelompok orang tertentu sebagai anti NKRI hanya karena penafsirannya yang tidak disetujui merupakan sikap ekstrim yang sama. Artinya kekhawatiran kepada ekstremisme justru juga dilakukan dengan sikap dan prilaku ekstrim yang sama.
Barangkali, cara terbaik untuk mengukur loyalitas seseorang atau sekelompok orang itu dilihat dari gerak-gerik dan sikapnya selama ini. Apakah sikapnya itu menguntungkan atau justru merugikan, bahkan mengarah kepada merusak dan merobohkan bangunan negara dan kebangsaan?
Siapakah selama ini yang merongrong kehidupan bernegara dan berbangsa melalui aktifitas ekonomi dan keuangan? Siapakah selama ini yang bermuka dua, di satu sisi berpura-pura cinta Indonesia dengan nasionalisme tapi di mana-mana bangsa dan negara ini diburuk-burukkan? Bahkan tidak malu bekerjasama dengan pihak luar, baik pemerintahan negara lain maupun organisasi-organisasi di negara lain untuk mencabik-cabik keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia?
Hubungan emosional dan solidaritas keagamaan yang bersifat internasional, selama memang tidak mengarah kepada pemberontakan dan pengrusakan NKRI, harusnya wajar-wajar saja. Saudara-saudara sebangsa kita yang kebetulan beragama Katolik jelas punya loyalitas tinggi dan solidaritas kuat dengan Vatican. Apakah itu berbahaya bagi NKRI? Dan apakah hal itu perlu dipertentangkan? Baru-baru ini ada seorang pengusaha besar keturunan yang mengatakan bahwa bagi dia Indonesia itu ibarat ayah tiri. Ayah kandungnya adalah negara China itu sendiri. Apakah ini bisa dikategorikan pengkhianatan dan pelecehan negara?
Demikian pula dengan organisasi HTI yang saya anggap sekedar gerakan moral yang tidak mengarah kepada pengrusakan NKRI. Tapi gerakan yang diikat oleh ikatan ideologi dan solidaritas Muslim internasional. Relasi mereka dengan gerakan HTI (Hizbut Tahrir Internasional) saya menganggap tidak lebih dari sebuah koneksi moral dan solidaritas. Toh dalam Islam, selain adanya perdebatan panjang tentang makna dan konsep khilafah, juga dengan realita dunia sekarang, untuk mewujudkan pemerintahan yang bersifat global (khilafah) itu hampir mustahil.
Oleh karenanya pembubaran HTI bisa berakibat sangat negatif. Apalagi hal ini dilakukan di saat-saat meningginya kecurigaan di antara elemen-elemen bangsa. Maka jika HTI dibubarkan karena dianggap anti NKRI, lalu bagaimana dengan organisasi-organisasi yang jelas-jelas bekerjasama dengan pihak luar untuk merongrong keutuhan NKRI?
Dan bagaimana pula mereka yang seringkali menampakkan diri sebagai benalu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Mereka yang siap angkat kaki dan membawa kekayaan negara yang telah mereka kuras? Tidakkah mereka ini adalah kelompok-kelompok yang setiap saat merusak, melobangi perahu kebangsaan itu?
Oleh karenanya, ada dua hal penting yang perlu diingat. Satu, diperlukan kehati-hatian dan kejelian dalam mengambil kesimpulan tentang siapa yang anti Pancasila, UUD dan NKRI. Dua, diperlukan keadilan tanpa memandang siapa dan apa dalam menegakkan hukum dan menjaga keutuhan bangsa dan negara. Sehingga, jika satu kelompok dinilai anti NKRI karena pemikiran dan sikap, maka semua kelompok yang memiliki pemikiran dan sikap yang sama diperlakukan sama di depan hukum.
Ada baiknya pemerintah melakukan pendekatan dialogis, mencari tahu arah pemikiran semua anak bangsa ini, termasuk HTI. Khawatirnya sebuah keputusan institusional justeru ditunggangi oleh kepentingan lain, yang memang bertujuan untuk melemahkan bahkan mencabik kesatuan bangsa ini. Sehingga pada akhirnya akan muncul kekuatan dominan yang punya kepentingan sempit, di luar kepentingan nasional.
Tentunya perlu saya tegaskan sekali lagi, bahwa sebagai bagian dari nasionalisme dan kecintaan kepada Indonesia kita mendukung segala upaya pemerintah untuk menjaga keutuhannya. Termasuk menindak tegas pihak-pihak yang memang ingin mencabik keutuhan NKRI ini. Namun sangat diperlukan kejelian dan keadilan dalam meengambil tindakan. Jika tidak, maka kebijakan pemerintah yang gegabah dan pilih kasih justeru bisa memicu reaksi yang akan memporak porandakan kesatuan bangsa dan negara Republik Indonesia.
Semoga Tuhan menjaga!
(Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation)