Menimbang Perpindahan Ibu Kota Negara
Oleh Vamiga Andrew
Usulan perpidahan Ibukota Indonesia dari Jakarta ke beberapa wilayah provinsi di Indonesia telah dibahas sejak masa kolonial hingga berlanjut pada awal era kepemimpinan Presiden Soekarno. Sejarah mencatat bahwa di awal Abad ke-20, ditemukan upaya pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah lokasi ibu kota negara yang semula Batavia (atau saat ini dikenal dengan Jakarta) ke Bandung. Namun demikan, hal tersebut gagal lantaran adanya pengaruh depresi besar dan Perang Dunia ke-II. Pemindahan ibu kota negara menjadi sebuah isu yang menarik untuk dibahas. Hal ini dikarenakan sejalan dengan beberapa permasalahan yang kian membesar DKI Jakarta seperti landasan filosopis karena keamanan dan keadilan, dan landasan sosiologis yang diukur melalui situasi masyarakat.
Banyak kalangan menilai apabila wacana ini terealisasi, akan berdampak terhadap perubahan sistem kenegaraan yang cenderung bersifat negara serikat. Diprediksi beberapa masalah yang muncul apabila wacana perpindahan ibukota dipindahkan akan menimbulkan beberapa permasalahan baru seperti infrastruktur dan bagaimana model pengaturan nantinya, termasuk jika pemindahan ibukota dilakukan maka perubahan tatanan yang sangat luar biasa.
Disisi lain, wacana perpindahan ibu kota negara Indonesia cenderung dapat dijadikan sebagai komunitas politik. Diprediksi isu perpindahan tersebut akan menjadi komunitas politik dalam mendulang suara khususnya pada pelaksanaan Pilgub 2018 ataupun Pileg dan Pilpres 2019 mendatang, lantaran isu perpindahan ibukota negara hingga saat ini belum mendapatkan respons dan kajian yang serius dari pemerintahan pusat.
Belajar dari Negara Lain
Wacana pemindahan ibu kota, Indonesia dari Jakarta ke Palangkaraya terus menyeruak. Bahkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas), tengah serius dalam mengkaji rencana tersebut. Namun demikian diperlukan sebuah pertimbangan yang matang dan pembelajaran dari pengalaman beberapa negara yang secara keseluruhan kebijakan pemindahan ibu kota berakhir manis.
Pelajaran dari Nigeria. Dahulunya, ibukota Nigeria terletak di Lagos. Namun, pada 1991 pemerintah negara dengan ekonomi terbesar di Afrika ini memutuskan memindahkan pusat pemerintahannya, ke Abuja. Posisi Abuja cukup jauh dari Lagos. Jaraknya sekitar 482 kilometer dari arah Timur Laut ibu kota lama tersebut. Pemindahan ini relatif berbuah manis. Permasalahan yang menimpa Nigeria seperti kepadatan penduduk yang hanya terjadi di Lagos serta pemerataan ekonomi satu per satu mulai bisa diselesaikan Nigeria.
Pelajaran dari Myanmar atau Burma. Pemindahan ibukota Myanmar, dari Yangoon ke Naypyidaw disebut-sebut sebagai peristiwa paling unik dalam sejarah. Keputusan yang diambil pada November 2005 ini didasari keputusan pemimpin junta militer Jenderal Than Shwe. Tidak ada penjelasan sama sekali mengapa ibu kota harus pindah. Banyak yang menuduh perpindahan itu adalah gagasan egois Jenderal Than Shwe. Dugaan yang paling nyeleneh dan dinilai tak masuk logika, pemindahan dikarenakan ramalan dari dunia mistik yang membuat Than ketakutan.
Ramalan itu menyebutkan bahwa kekuasaan sang Jenderal tinggal sejengkal. Bintangnya segera meredup dan nyaris padam pada April 2006. Saat pertama kali ibukota dipindahkan, para pegawai negeri dan militer Myanmar, itu bak tinggal di pengungsian. Menetap di bangunan yang belum rampung, tanpa air bersih dan listrik seperti di kota Yangoon. Hidup serba susah, kurang gizi, di tengah hutan pula, membuat mereka jadi sasaran empuk serdadu hutan Myanmar yang amat berbahaya: nyamuk malaria. Banyak yang menyerah, tapi tak kuasa kabur dari kota itu. Seperti dikutip dari Guardian, situasi pada 2016 lalu tak banyak berubah. Naypyidaw mempunyai fasilitas relatif lengkap: jalan tol lebar, tempat main golf, kebun binatang yang dilengkapi AC untuk para penguin, akses Wi-Fi cepat, dan aliran listrik yang lantar tanpa byarpet. Yang tidak dipunyai kota itu hanya satu: penduduk yang dinamis. Dengan luas 4.800 km persegi atau empat kali ukuran Kota New York, Naypyidaw relatif kosong. Data resmi menyebut, penduduk di sana mencapai 1 juta jiwa, namun diragukan karena jalanan sunyi, restoran dan lobi hotel nyaris kosong.
Pelajaran dari Brazil. Pada 1960, Presiden Brasil saat itu, Juscelino Kubitschek membuat keputuan besar. Ibu kota dipindah dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Alasan utama pemindahan itu untuk mengembangkan wilayah pedesaan yang terbelakang, menstimulasi pembangunan pertanian, penyebaran penduduk dan pendapatan. Pada masa awal, pemerintah begitu susah memindahkan organ-organ pemerintahan. Tahun 2010 lalu, Brasilia memperingati 50 tahun sejarahnya menjadi ibu kota. Meski memiliki sejumlah bangunan yang spektakuler yang mendapat pengakuan UNESCO sejak dinobatkan sebagai pusat pemerintahan Brasilia bagai kota ‘tanpa jiwa’.
Pelajaran dari Tanzania. Negara yang terletak di Afrika ini ibukotanya sempat berlokasi di Dodoma. Walau kota utama, nyatanya kehidupan di Dodoma jalan di tempat tidak ada perkembangan berarti yang terjadi. Yang riuh dan meriah justru kota Dar es Salaam. Kota tersebut jauhnya 450 kilometer dari Dodoma. Keputusan pemindahan akhirnya diambil pada era 1970-an. Tapi sampai sekarang, transisi masih belum sepenuhnya dilakukan. Majelis Nasional Tanzania tetap berada di Dodoma. Sementara seluruh kedutaan asing dan kantor pemerintah telah berada di Dar es Salaam.
Pelajaran dari Kazakhstan. Kazakhstan merupakan satu negara yang paling muda di dunia. Ia berdiri setelah Uni Soviet runtuh pada awal 1990-an. Awalnya, ibu kota Kazakhstan adalah Almaty. Namun, Desember 1997, mereka memidahnya ke bagian utara negara tersebut, tepatnya di Kota Astana. Alasan yang diambil pemerintah adalah Almaty sudah tidak bisa dikembangkan lagi. Kota ini juga rentan terhadap gempa. Selain itu, dasar lain yang jadi pertimbangan, Almaty letaknya sangat dekat dengan negara baru pecahan Uni Soviet lain. Ditakutkan bila ada turbulensi politik di negara-negara tersebut maka bisa menular ke dalam Kazakhtsan. Keputusan tersebut ternyata tepat. Sampai sekarang Kazakhstan merupakan negara sangat berkembang dan salah satu pusat ekonomi terbesar di kawasan Asia Tengah.
Pelajaran dari Malaysia. Tidak bisa dipungkiri, sama seperti ibukota negara di Asia Tenggara lain, Kuala Lumpur harus berhadapan dengan masalah kemacetan dan kepadatan penduduk. Pada 1999, Pemerintah Malaysia mengambil keputusan memindahkan pusat pemerintahan ke Putrajaya. Putrajaya merupakan sebuah kota baru dan mandiri. Letaknya berada di Selatan Kuala Lumpur dan tak jauh dari sana.
Kantor Perdana Menteri dipindahkan ke Putrajaya. Namun, tidak demikian dengan Gedung Parlemen dan pusat perekonomian tetap berada di Kuala Lumpur.
Bagaimana dengan Jakarta?
Tak sedikit beberapa kalangan akademisi yang menyebutkan perpindahan Ibu Kota Negara Jakarta selaku miniatur Indonesia akan membuat hilangnya jati diri Jakarta. Apabila sebuah pembangunan infrastruktur berjalan dengan baik dan terjadi koneksi antar wilayah di Indonesia, maka pemindahan ibukota tidak perlu dilakukan karena pertumbuhan ekonomi yang membaik di daerah, akan membuat orang enggan tinggal di Jakarta, sehingga Jakarta dapat lebih “hidup sehat dan segar”.
Pemindahan ibukota haruslah dilihat ada tidak perspektif ancaman terhadap ibukota tersebut. Sebaiknya, pemindahan ibukota dengan tujuan yang positif seperti untuk mengembangkan wilayah pedesaan yang terbelakang, menstimulasi pembangunan pertanian, penyebaran penduduk dan pendapatan, termasuk mengantisipasi tantangan dan ancaman masa depan. Indonesia dengan Jakartanya masih dapat mengatasi berbagai persoalan tersebut. Jadi jangan buru-buru dipindahkan.*** (Mahasiswa Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia)