WASHINGTON, MENARA62.COM — Setelah melalui proses yang alot dan kritik pedas, Amerika Serikat (AS) akhirnya menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap empat pemimpin militer Myanmar. Mereka adalah panglima tertinggi Jenderal Min Aung Hlaing, wakilnya Soe Win, serta Than Oo dan Aung Aung yang memimpin divisi elite militer. Mereka diduga telah memelopori pelanggaran HAM berat dalam aksi penumpasan masyarakat Muslim Rohingya dan kaum minoritas lainnya di Myanmar.
Sanksi terhadap empat jenderal itu berupa pembekuan semua asetnya di AS dan melarang orang AS melakukan bisnis dengan mereka. Sanksi ini berdasarkan pernyataan Departemen Keuangan AS pada Selasa (10/12/2019).
“Sejauh ini, anggota kelompok etnis minoritas terbunuh atau terluka oleh tembakan, seringkali ketika melarikan diri, atau oleh tentara menggunakan senjata berbilah besar; yang lain dibakar hingga mati di rumah mereka sendiri,” bunyi pernyataan itu.
Tidak diketahui apakah keempat jenderal itu memiliki aset di AS. Namun, sebelumnya, pada Juki 2019, mereka juga telah terkena sanksi larangan memasuki AS.
Kedutaan Myanmar di Washington tidak segera menanggapi permintaan tanggapan atas sanksi tebaru bagi para jenderal jagal Muslim Rohingya tersebut.
Sanksi tambahan terhadap mereka, datang berbulan-bulan setelah Washington menghadapi kritik dari pelapor khusus PBB, Yanghee Lee.”Larangan perjalanan bagi mereka tidaklah cukup,” katanya.
John Sifton, direktur advokasi Asia untuk Human Rights Watch, menyebut langkah AS disambut baik tetapi terlambat. “Sangat disayangkan keputusannya memakan waktu begitu lama. Padahal kejahatan yang dimaksud sangat serius. Tapi, lebih baik terlambat daripada tidak pernah sama sekali,” katanya, speerti dikutip Al Jazeera.
UU Magnitsky
Sanksi yang dijatuhkan kepada empat jenderal Myanmar itu berdasarkan Global Magnitsky Human Rights Accountability Act, yang menarget pelaku pelanggaran HAM serius dan korupsi, menandai Hari HAM Internasional. Kali ini jatuh bersamaan dengan kehadiran pada hari pertama pemimpin sipil yang gogh melawan pemerintahan junta milter Myanmar, Aung San Suu Kyi, di Mahkamah Internasiolal PBB, Den Haag, Belanda. Namun, kehadiran peraih Nobel Perdamaian itu justeru utuk pasang badan terhadap tuduhan genosida tehadap Muslim Rohingya.
Seperti diketahui, sebuah penumpasan militer sejak 2017 di Myanmar mendorong lebih dari 730.000 Muslim Rohingya melarikan diriyang kebanyakan ke negara tetangga Bangladesh. Namun, Myanmar membantah tuduhan intimidasi yang meluas dan mengatakan tindakan militer itu adalah bagian dari “perang melawan terorisme”.
Laporan khusus kantor berita Reuters tahun lalu merinci untuk pertama kalinya peran utama kedua unit, Divisi Infantri Cahaya ke-33, yang dipimpin oleh Than Oo, dan Divisi Infanteri Cahaya ke-99, yang dipimpin oleh Aung Aung, dalam konflik 2017.
Divisi Infantri Cahaya ke-33 memimpin operasi militer di Desa Inn Din. Reuters mengekspos pembantaian 10 pria dan anak laki-laki Rohingya oleh tentara dan penduduk desa Budha. Dua wartawan Reuters yang membuat laporan tersebut dipenjara selama lebih dari 500 hari oleh Myanmar.