Oleh : Muhammad Khairul Syafaat*)
SOLO, MENARA62.COM – Pernahkan pembaca mendengar role playing dalam pembelajaran? Role playing atau diartikan sebagai bermain peran, merupakan salah satu model pembelajaran active learning. Pembelajaran yang menekankan siswa berperan aktif menjadi narasumber belajar bagi teman-temannya. Siswa diminta memerankan suatu tokoh yang ada pada materi pembelajaran, dalam bentuk cerita sederhana. Tokoh yang diperankan siswa dapat meningkatkan keaktifan belajar, sekaligus daya imajinasi dari proses penghayatan peran. Hal inilah yang menjadi keunggulan dari role playing. Penulis mencoba menerapkan role playing dalam pembelajaran Fikih kelas X Bab Wakaf, dengan refleksi sebagai berikut:
Pertama, Membagi peran dan pemanasan
Awal pembelajaran ditampilkan peta konsep dan penjelasan capaian pembelajaran kepada siswa. Capaian pembelajarannya, yakni siswa mampu mempraktikkan tata cara membayar wakaf dengan baik. Guru memberikan gambaran umum cerita yang akan diperankan oleh siswa dengan memberi pernyataan,
“Aku adalah orang sukses yang memiliki segalanya. Maka aku akan berwakaf berupa ..…”
Kemudian, guru membagi peran kepada seluruh siswa untuk menjadi wakif (orang yang memberi wakaf). Setiap siswa membuat surat pernyataan wakaf yang ditulis sendiri pada kertas kosong yang sudah disediakan guru. Isi surat wakaf berupa nama, umur, pekerjaan dan barang wakaf yang ditentukan sendiri oleh siswa. Penentuan isi surat wakaf sesuai apa yang dicitakan siswa ke depannya,
Proses berimajinasi dilakukan dalam kegiatan ini. Misal, siswa bercita ingin menjadi dokter spesialis, maka di bagian kolom nama ditulis nama siswa sendiri lengkap beserta gelar pekerjaan tersebut. Begitu juga dengan barang wakaf, siswa dibebaskan memilih sesuai kemauannya. Siswa diminta mencari benda wakaf yang paling dibutuhkan masyarakat sekarang, dan bisa menjadi amal jariyah bagi pewakif dalam jangka panjang. Surat pernyataan wakaf dilengkapi tanda tangan pewakaf dan badan wakaf yang berkekuatan hukum.
Kedua, setting tempat dan alur cerita
Siswa menyiapkan tempat cerita yang seolah-olah sedang berada di dalam ruang untuk menyerahkan surat pernyataan wakaf kepada nadhir (orang yang menerima wakaf). Setting tempat diatur di depan kelas dengan properti lengkap, seperti map untuk membayar wakaf, meja dan kursi untuk penyerahan surat wakaf. Alur cerita yang akan diperankan juga disepakati bersama oleh siswa, dari awal sampai akhir cerita.
Ketiga, memainkan peran dan evaluasi awal
Siswa yang berjumlah 30 dalam satu kelas dibagi menjadi 4 kelompok, di mana setiap kelompok menunjuk dua siswa untuk memerankan peran sebagai wakif dan nadhir yang akan menyerahkan surat pernyataan wakaf. Sisa siswa yang tidak melakukan peran, ditugasi sebagai observer untuk mengamati kekurangan dan kelebihan drama yang dilakukan pemeran. Dua kelompok awal diminta untuk memainkan cerita. Kemudian, guru bersama observer melakukan evaluasi dan diskusi apa yang kurang dari peran yang sudah dilakukan dua kelompok awal.
Keempat, bermain peran ulang
Berdasar hasil diskusi dan evaluasi, siswa melakukan kegiatan bermain peran kembali. Dua kelompok terakhir diminta bermain peran ulang. Kegiatan ini berjalan dengan lebih baik dari sebelumnya, karena siswa sudah memiliki gambaran yang lebih jelas dari kelompok sebelumnya. Siswa juga dapat memainkan perannya lebih sesuai dengan alur cerita.
Kelima, diskusi dan menyimpulkan
Guru dan siswa mendiskusikan cerita yang telah diperankan, menggali informasi terkait tata cara membayar wakaf yang benar serta klarifikasi. Guru juga mengajak siswa mengidentifikasi terkait manfaat barang wakaf, yang jika kemudian hari memang benar diwujudkan oleh siswa. Berdiskusi manfaat wakaf yang akan diterima bagi masyarakat sekitar atas nama dakwah Muhammadiyah.
Daya Imajinasi siswa akan meningkat, semenjak menentukan isi surat pernyataan wakaf sampai memerankan tokoh dengan penuh penghayatan. Membayangkan kedepan akan menjadi apa dalam berprofesi, berkhayal mewakafkan sesuatu dimasa depan. Surat wakaf yang ditulis juga sebagai doa, kedepan dapat beramal baik dan besar dengan berwakaf. Kondisi kelas juga akan lebih aktif, saat cerita membayar wakaf mulai diperankan. Siswa yang sebagai observer, fokus melihat dan mengidentikasi drama yang sedeng diperankan temannya, Proses saling memberi masukan saat berdiskusi menjadikan kelas menjadi lebih hidup. Denikian refleksi penulis, semoga bermanfaat.
*)Guru Ismuba SMA Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta