Oleh : Muhdar Tasrief, Ph.D. Senior Manajer Persetujuan Desain, Divisi Material dan Komponen, Badan Klasifikasi Indonesia (BKI).
Opini – Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari lima pulau besar dan ribuan pulau kecil yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Untuk menghubungkan pulau-pulau tersebut, dibutuhkan alat transportasi baik transportasi udara maupun transportasi laut. Dibandingkan transportasi laut, transportasi udara memang lebih praktis.
Meskipun demikian, tidak semua pulau dapat dijangkau oleh moda transportasi ini. Selain itu, biaya untuk transportasi udara juga jauh lebih mahal. Hal ini menjadi alasan kenapa transportasi laut menjadi pilihan utama untuk konektivitas antar-pulau tersebut.
Selain itu, adanya nawacita Pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia menjadikan transportasi laut sebagai sarana transportasi utama, khususnya untuk pengangkutan barang komoditas. Tujuannya untuk memudahkan akses dari suatu pulau ke pulau lainnya dalam rangka mengurangi disparitas harga dari komoditas tersebut. Hal ini kadang diistilahkan sebagai “tol laut”.
Dalam rangka untuk memastikan kelancaran tol laut, keselamatan kapal menjadi salah satu faktor yang harus diperhatikan. Keselamatan suatu kapal dapat dilihat dari kelaikan kapal tersebut. Setidaknya suatu kapal dikatakan laik laut (seaworthiness) apabila telah mendapatkan sertifikat klasifikasi, baik sertifikat lambung dan perlengkapan maupun sertifikat instalasi permesinan dan kelistrikan.
Walaupun sertifikat tersebut tidak dapat menjamin sepenuhnya keselamatan kapal, namun setidaknya menjadi bukti bahwa kapal tersebut telah disurvey dan dinyatakan memenuhi peraturan klasifikasi kapal.
Sertifikat suatu kapal, baik sertifikat konstruksi lambung dan perlengkapan maupun sertifikat instalasi permesinan dan kelistrikanditerbitkan oleh Badan Klasifikasi. Sebagai informasi, tidak semua negara memiliki badan klasifikasi kendati memiliki aktivitas perkapalan yang padat, seperti Singapore, Belanda, dan negara lainnya.
Beruntungnya, Indonesia sebagai negara maritim telah memiliki suatu badan klasifikasi nasional yaitu Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) yang patut menjadi kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia.
Badan Klasifikasi Nasional
Badan klasifikasi adalah badan teknik yang melakukan kegiatan pengawasan dan pemeriksaan terhadap kapal-kapal, baik kapal bangunan baru (newbuilding ship) maupun kapal sudah jadi (existing ships). Selanjutnya badan klasifikasi menerbitkan sertifikat klasifikasi berdasarkan hasil penilaian atas pemenuhan terhadap peraturan klasifikasi konstruksi kapal dan perlengkapannya.
Didirikan pada 1 Juli 1964 berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 1964, BKI merupakan satu-satunya Badan Klasifikasi Nasional (BKN). Berdasarkan PP tersebut terdapat 3 hal fundamental yang menjadi pertimbangan pendirian BKI.
Yang pertama adalah bahwa pada saat itu Pemerintah masih menggunakan jasa Badan Klasifikasi Asing (BKA) dibidang pembangunan dan pemeliharaan kapal, diantaranya Bureau Veritas (BV) dari Prancis, Lloyd‘s Register (LR) dari Inggris, Germanischer Lloyd (GL) dari Jerman. Hal ini berarti bahwa semua kegiatan pembangunan kapal baik bangunan baru maupun bangunan sudah jadi disertifikasi oleh BKA.
Selain itu aktivitas pengedokan dalam rangka pemeliharaan kapal dan survey periodik lainnya untuk mempertahankan sertifikat klasifikasi kapaltersebut juga dilakukan oleh BKA.
Yang kedua adalah bahwa dalam melakukan kegiatan sertifikasi kapal, BKA menggunakan seperangkat peraturan teknis yang biasa disebut “rules“. Rules ini umumnya dikembangkan melalui hasil penelitian yang dilakukan sesuai daerah pelayaran masing-masing Badan Klasifikasi yang notabene berada di pelayaran samudera, seperti North Atlantic Ocean. Sehingga adakalanya rules tersebut tidak sesuai dengan kondisi perairan Indonesia yang relatif lebih tenang.
Hal ini tentu saja menyebabkanover requirementpada kapal tersebut yang berdampak pada nilai keekonomisannya. Adanya BKI diharapkan dapat menghasilkan rules yang dikembangkan oleh anak bangsa sendiri yang lebih memahami kondisi perairan Indonesia.
Sehingga diharapkanrules tersebut benar-benar sesuai dengan kebutuhan industri perkapalan nasional.
Yang terakhir adalah bahwa adanya BKI merupakan kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia. BKI memberikan kesempatan bagi para putra-putri ahli teknik perkapalan bangsa untuk memperluas pengalaman dan meningkatkan keahlian dibidang pembangunan, perbaikan dan pemeliharaan kapal. Yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa dengan adanya BKI diharapkan dapat menghemat sejumlah devisa negara yang mengalir keluar negeri setiap tahunnya melalui BKA.
Hal ini didukung secara implisit melalui Keputusan Menteri (KM) Perhubungan Laut No.1/17/1 tanggal 26 September 1964 tentang peraturan kewajiban kapal-kapal untuk memiliki sertifikat klasifikasi.
Pada KM tersebut diputuskan bahwa semua kapal-kapal berbendera Indonesia diwajibkan memiliki sertifikat klasifikasi yang dikeluarkan oleh BKI. Kewajiban tersebut berlaku untuk setiap kapal yang akan dan sedang dibangun (newbuilding ship) di dalam negeri maupun yang sedang berlayar (existing ship), yang belum atau telah memiliki sertifikat klasifikasi namun tidak dikeluarkan oleh BKI.
Oleh karena itu, sangat jelas bahwa BKI ditugaskan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk mengklaskan kapal niaga berbendera Indonesia. Dengan adanya kewajiban klasifikasi kapal ke BKI sesuai KM tersebut, maka dipastikan dapat mencegah devisa negara mengalir ke negara lain.
Seiring perkembangan zaman dan dengan memperhatikan potensi pasar serta kemampuan sumber daya yang dimiliki, pada tahun 1982 BKI melakukan diversifikasi usaha sebagai bisnis profit bagi perusahaan. Karena berorientasi pada profit, bidang usaha tersebut kemudian dinamakan bidang usaha komersil yang menyediakan jasa konsultasi dan supervisi. Dengan demikian, BKI memiliki layanan jasa kegiatan klasifikasi & statutoria dan kegiatan konsultasi &supervisi yang terus berkembang hingga saat ini.
Tantangan dan transformasi
Dalam perjalanannya, BKI telah melakukan kegiatan sertifikasi terhadap lebih dari ribuan kapal, baik yang berlayar di dalam negeri maupun yang berlayar internasional. Berbagai tipe kapal telah disertifikasi, mulai dari yang paling sederhana (barge, tugboat, dll.) hingga kapal-kapal yang sophisticated (passenger ship, CNG carrier, tanker, dll.).Hal ini menunjukkan kapabilitas putra-putri ahli perkapalan bangsa yang mengabdi di BKI, Indonesia bisa!
Meskipun demikian, pencapaian ini tidak terlepas dari dukungan Pemerintah melalui kewajiban klasifikasi kapal ke BKI.Dukungan tersebut tertuang dalam KM. 20 Tahun 2006 tentang Kewajiban bagi Kapal Berbendera Indonesia untuk Masuk Klas pada BKI. KM tersebut juga menjelaskan kriteria kapal yang wajib diklaskan ke BKI yaitu panjang, tonase, dan daya penggerak kapal.
Dalam hal ini, kapal dengan ukuran panjang antar garis tegak depan dan belekang 20 meter atau lebih atau tonase kotor GT. 100 atau lebih atau yang digerakkan dengan tenaga penggerak utama minimal 250 PK.
Dukungan Pemerintah terus bergulir hingga tahun 2013 melalui Peraturan Menteri (PM) 7 Tahun 2013 tentang Kewajiban Klasifikasi bagi Kapal Berbendera Indonesia pada Badan Klasifikasi. Meskipun BKI tidak lagi disebutkan secara eksplisit pada judul PM tersebut, namun pada Bab II Pasal 2 Butir 2PM 7 masih disebutkan bahwa kapal berbendera Indonesai yang dioperasikan untuk daerah pelayaran kawasan Indonesia wajib diklasifikasikan pada BKI.
Sayangnya, hal ini tidak berlangsung lama hingga pada akhirnya Pemerintah melakukan revisi terhadap PM 7 tersebut.Melalui PM 61 Tahun 2014,Pemerintah mencabut payung hukum kewajiban klasifikasi kapal ke BKI. Dengan demikian, sejak saat itu kapal-kapal berbendera Indonesia tidak lagi wajib diklaskan ke BKI.
Tantangan besar menanti di depan mata. Kendati PM 61 mengeliminir substansi pendiriannyasebagai badan klasifikasi nasional,BKI harus siap menjawab tantangan tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa hilangnya kewajiban klasifikasi kapal ke BKI cukup berpengaruh terhadap pendapatannya.
Banyak kapal yang tadinya dual class kini memilih melepas klas BKI dan menjadi single class BKA.Alasannya jelas, bahwa dual class membutuhkan biaya yang lebih besar dan bahwa BKA merupakan anggota International Association of Classification Society (IACS).
IACS merupakan asosiasi badan klasifikasi sedunia yang bermarkas di London, Inggris. Anggotanya berjumlah 12 badan klasifikasi, antara lain ABS, BV, CCS, CRS, DNVGL, IRS, KR, LR, NK, PRS, RINA, dan RS. Disayangkan, hingga kini BKI belum menjadi anggota IACS.Dinamisnya persyaratan keanggotaan IACS merupakan salah satu faktor penyebabnya.
Sebagai contoh, pernah IACS menetapkan jumlah kapal sebagai salah satu kriteria keanggotaan. Ketika BKI berhasil mencapai kriteria tersebut, maka kriterianya pun berubah atau bahkan bertambah.
Terakhir pada Juli 2016, BKI mengajukan aplikasi keanggotaan ke IACS. Berselang beberapa bulan kemudian, IACS menyatakan bahwa BKI telah lolos tahap pertama dari dua tahapan. Hal ini menandakan bahwa BKI telah diakui sebagai badan klasifikasi. Namun kemudian setelah BKI lolos tahap pertama, lagi-lagi IACS menambahkan kriteria baru pada IACS Procedure Volume 2,Procedures Concerning Requirements for Membership of IACS.
Disitu disebutkan bahwa untuk menjadi anggota IACS, suatu badan klasifikasi harus mendapatkan pengakuan dari IMO terkait pemenuhannya terhadap Goal Based Standard (GBS). GBS merupakan Common Structural Rules (CSR) untuk kapal muatan curah (bulk carrier) dan kapal pengangkut minyak (oil tanker) dengan panjang masing-masing sama atau lebih besar dari 90 meter dan 150 meter. Tentu hal ini belum bisa dipenuhi oleh BKI.
Di samping hal tersebut, keluhan pelanggan juga menjadi masukan bagi BKI. Adanya anggapan bahwa biaya klasifikasi, khususnya penerimaan klas bangunan baru (PKBB) di BKI lebih mahal dan prosesnya berbelit-belit dibanding BKA. PKBB artinya kapal harus dibangun dibawah pengawasan badan klasifikasi. Selain itu, material & komponennya juga harus disertifikasi oleh badan klasifikasi yang melaksanakan PKBB tersebut.
Di BKA, hanya satu harga yang ditawarkan. Sedangkan di BKI, pembengkakan harga mungkin terjadi. Penyebabnya adalah adanya biaya re-sertifikasi material dan komponen. Kenapa re-sertifikasi? Karena pada dasarnya material dan komponen tersebut telah disertifikasi sebelumnya oleh BKA.
Hilangnya kewajiban klasifikasi kapal pada BKI dan keluhan pelanggan tersebut menjadi milestone bagi BKI. Berbagai upaya dilakukan untuk mampu bertahan dan bersaing dengan BKA. Berkat kemandirian dalam mengembangkan rules, akhirnya pada tahun 2019 BKI merilis Peraturan Domestik yang sejalan dengan alasan pendiriannya.Peraturan ini diharapkan menjadi daya tarik tersendiri bagi kapal yang berlayar di dalam negeri.
Adapun untuk PKBB dan resertifikasi material dan komponen, BKI mengambil kebijakan satu harga (bundling package). Artinya, BKI menanggung biaya re-sertifikasi jika material dan komponen kapal telah disertifikasi oleh BKA.
Beberapa layanan ditransformasi menjadi lebih sederhana. Misalnya, BKI menerapkan mekanisme Alternative Certification Scheme (ACS). ACS merupakan suatu skema sertifikasi alternatif dimana kehadiran Surveyor dapat digantikan oleh Quality Assurance (QA) Pabrik. Selain itu BKI juga mengeluarkan kebijakan Transfer of Certificate (ToC) untuk material dan komponen, dimana untuk jenis sertifikasi tertentu BKI hanya melakukan review terhadap dokumen dan hasil pengujian yang sebelumnya telah dilakukan oleh BKA.
Kemudahan akses melalui sistem IT juga terus ditingkatkan, sebagai bagian dari transformasi BKI dan yang paling utama adalah transformasi insan BKI yang menerapkan AKHLAK sebagai core value BUMN.
Sertifikasi Material & Komponen Kapal
Material dan komponen merupakan bahan utama penyusun kapal, antara lain pelat, kawat las, mesin induk dan mesin bantu, mesin geladak, dan masih banyak lainnya. Galangan kapal (shipyard) merangkai material dan komponentersebut hingga menjadi satu kesatuan membentuk suatu kapal. Selain tergantung pada kemampuan Galangan, kualitas kapal juga tergantung padamaterial dan komponen yang digunakan.
Semakin bagus kualitasnya, semakin bagus pula tingkat keamanan (safety) dari kapal tersebut.Untuk menjamin kualitasnya, material dan komponentersebut harus memenuhi rules. Pemenuhan tersebut dibuktikan dengan sertifikat yang dikeluarkan oleh badan klasifikasi sebagai hasil dari inspeksi dan pengujian yang dilakukan.
Ketika Galangan membangun suatu kapal yang diklaskan ke BKI, biasanya material dan komponen yangdigunakan telah disertifikasi oleh BKA. Alasannya, karena kesulitan mendapatkan material dan komponen yang bersertifikat BKI. Kelangkaan ini menyebabkan harganya lebih mahal, sehingga Galangan memilihmaterial dan komponen yang bersertifikat BKA.
Hal ini tentu saja menyebabkan BKI kehilangan potensi pendapatan. Bahkan dapat mengalami kerugian jika biaya re-sertifikasi ditanggung oleh BKI. Dampaknya tentu saja ke devisa negara. Oleh sebab itu, BKI terus berinovasi dengan memaksimalkan peluang yang ada.
Memanfaatkan proyek pembangunan tug boat milik PT. Pertamina Trans Kontinental (PTK), saat ini BKI berupaya melakukan sertifikasi langsung (direct certification) terhadap material dan komponennya, bukan re-sertifikasi.Sebanyak 14 tug boat yang dibangun di tiga galangan yang berbeda; 8 unit di KTU-Batam, 4 unit di DRULampungdan 2 unit di Dumas-Surabaya.
Banyak pabrik yang berhasil diyakinkan dengan kemudahan layanan sebagai dampak positif transformasi BKI. Selain biaya sertifikasi yang lebih murah, proses sertifikasi juga dilakukan dengan mekanisme ACS dan ToC. Tak disangka biaya sertifikasi material dan komponen untuk proyek ini bisa mencapai 5 kali bahkan lebih dari biaya penerimaan klasnya. Pun nilainya mencapai milyaran rupiah.
Dengan adanya proyek PTK ini, kemampuan industri maritim dalam negeri juga terus meningkat. Bukan hanya industri Galangan kapal, tetapi juga industri material dan komponen kapal, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Beberapa material dan komponenyang digunakan di kapal tersebut adalah produk dalam negeri, misalnya main switchboard (MSB), mesin jangkar (windlass) dan beberapa produk lainnya.
Kualitasnya pun telah memenuhi standard rulessehingga berhasil mendapatkan sertifikat BKI. Jelas hal ini dapat meningkatkan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) pada kapal tersebut.
Berbicara masalah TKDN, semestinya tidak hanya menyangkutkandungan material dan komponensaja tetapi juga kandungan jasa. Sebagai contoh, ketika membangun suatu kapal, sebisa mungkin material & komponennya merupakan produk dalam negeri. Begitupun dengan jasa yang digunakan, mulai dari desainer, galangan, konsultan hingga badan klasifikasi juga seharusnya memanfaatkan perusahaan lokal Indonesia.
Kecuali jika belum mampu, barulah ditawarkan ke perusahaan luar dengan tidak melepaskan esensi dari tansfer technology. Sehingga kedepannya diharapkan dapat meningkatkan nilai TKDN, bahkan hingga 100%.Untuk mewujudkan hal ini, maka diperlukan suatu lembaga Pemerintah untuk mengontrol kebijakan TKDN.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) merupakan Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang bertugas melaksanakan koordinasi kebijakan dan pelayanan di bidang penanaman modal. Jika BKPM menetapkan kebijakan untuk memaksimalkan TKDN dalam kegiatan penanaman modal, misalnya kegiatan pembangunan kapal, maka semestinya ini dapat memacu pertumbuhan ekonomi bangsa setidaknya menggairahkan kegiatan perekonomian di sektor maritim.
Selain itu, sinergi antara lembaga Pemerintah dan BUMN serta perusahaan swasta nasional juga diharapkan dapat meningkatkan laju perekonomian bangsa.
Baru-baru ini, Pertamina menyatakan akan membangun 48 unit kapal dalam jangka waktu 5 tahun kedepan.15 diantaranya akan diproduksi didalam negeridan rencananya akan dibangun di galangan BUMN, yaitu PT. Dok Kodja Bahari (DKB), PT. Dok & Perkapalan Surabaya (DPS) dan PT. Industri Kapal Indonesia (IKI) sebagai bentuk sinergi BUMN. Pembangunan kapal Pertamina di Indonesia juga menjadi bukti keseriusan dalam meningkatkan TKDN.
Tentu saja proyek ini akan menjadi peluang emas bukan hanya bagi BKI, melainkan semua pelaku industri di sektor ini. Harapannya, tidak hanya 15 unit kapal yang dibangun di Indonesia melainkan semuanya (48 unit) dan diklaskan ke BKI. Hal ini sebagai bukti konkrit sinergi BUMN dan upaya meningkatkan TKDN dalam rangka memacu perekonomian Indonesia melalui sektor perkapalan.