27.2 C
Jakarta

Menjadi Ulama di Muhammadiyah

Baca Juga:

Mohamad Fadhilah Zein
Mohamad Fadhilah Zeinhttp://menara62.com/
Jurnalis, Produser, Ghost Writer, Youtuber, Kolumnis. For further communication contact fadil_zein@yahoo.com

Ulama bukan term populer di Muhammadiyah. Jika ulama diidentikan dengan hubungan kiai-santri yang patron klien, maka Muhammadiyah bukan tempat yang tepat. Spirit modernitas dan Islam berkemajuan sudah bisa dilihat sejak Majelis Tarjih Muhammadiyah dibentuk pada 1927. Dalam sebuah tulisan populer di internet, Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. mengemukakan makna Tarjih di Muhammadiyah sudah keluar dari definisi Ushul Fiqh ala pesantren salafiyah. Menurutnya, Tarjih adalah “setiap aktifitas intelektual untuk merespons realitas sosial dan kemanusiaan dari sudut pandang agama Islam, khususnya dari sudut pandang norma-norma syariah.”

Intelektual lebih dikedepankan dari term ulama. Dua istilah yang sebenarnya bisa jadi saling berseberangan. Namun, bisa juga kita dapati titik temunya.  Dalam sebuah buku yang populer, La Trahison des Clercs (the Betrayal of the Intelectuals/Pengkhianatan Kelompok Intelektual), intelektual Prancis, Julien Benda memberi definisi bahwa intelektual sejati ialah mereka yang tekun menikmati bidang keahliannya baik sebagai saintis, pemikir atau budayawan, bukan karena imbalan materi atau kepentingan sesaat. Katanya, seorang intelektual sejati akan berkata, “kerajaan saya bukan di dunia ini.”

Benda menggambarkan intelektual sebagai orang yang tidak mau terikat, kecuali dengan pemikirannya sendiri. Bahkan, tidak kepada negara, bangsa dan agama sekalipun. Mereka adalah always on the move, on the make. Mereka selalu berseberangan dengan penguasa, senantiasa kritis atau memberontak terhadap kemapanan dan status quo. Tidak membumi (deracines), tak punya kuasa dan hanya pandai bicara. Sampai sini, istilah intelektual menjadi tidak relevan jika dibandingkan dengan ulama dalam khasanah Islam.

Meski begitu, intelektual juga didefinisikan sebagai orang yang berani keluar dari “sarang” untuk memprotes ketidakadilan dan menyuarakan kebenaran. Intelektual menjadi pengkhianat tatkala idealisme yang diperjuangkan luntur dan nilai-nilai kemanusiaan diabaikan. Intelektual juga bukan kutu buku yang hanya semedi di perpustakaan.

Syamsuddin Arif memaparkan istilah intelektual sebetulnya tidak dikenal di Dunia Islam, kecuali di zaman modern. Di Arab Saudi sendiri, intelektual diterjemahkan sebagai “mutsaqqaf” (budayawan) atau “mufakkir” (pemikir). Meski begitu, beberapa kalangan di Muhammadiyah ada yang lebih suka dengan istilah intelektual ketimbang ulama. Bisa jadi, tagline Islam Berkemajuan menjadi pendorong cara pikir demikian.

Paling terasa dari buah pandangan moderat Tarjih Muhammadiyah adalah di bidang sosial. Ketika Umat Islam mengalami kesengsaraan akibat penjajahan, Muhammadiyah tampil dengan tafsir keagamaan yang progresif. Pertolongan Kesengsaraan Oemoem (PKO) yang didirikan pada 1923 adalah realisasi dari tafsir surat Al-Ma’un yang berbunyi, “Tahukah engkau orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tiada menganjurkan menyantuni orang miskin. Celakalah orang-orang yang shalat, yaitu lalai dari shalatnya, orang-orang yang riya’ dan tiada mau menolong dengan barang-barang yang berguna.”

Ajaran ini direalisasikan oleh Muhammadiyah melalui pendirian rumah yatim, klinik, rumah sakit dan juga melalui pengumpulan dan pendistribusian zakat, infak dan sedekah. Meski bukan term populer, keulamaan Muhammadiyah sejatinya sudah mendarahdaging dalam setiap pengurus. Ulama di sini bukan bagian dari lembaga yang terkooptasi negara. Tapi, sebenarnya ulama yang memang dibutuhkan umat sebagai penerang jalan.

Tidak sekedar intelektual definisi Benda di atas, Ulama Muhammadiyah memiliki tanggung jawab akhirat. Sifat keulamaan yang dibangun adalah tidak antibarat tapi juga tidak reaksioner terhadap kemajuan zaman. Haedar Nashir dalam bukunya Muhammadiyah Gerakan Pembaharuan, mengutip Djazman Alkindi, menggambarkan ulama sebagai sebagai man of action (manusia amal) sebagaimana yang didapatinya dari KH Ahmad Dahlan.

Begitu pentingnya posisi ulama di Muhammadiyah, maka ditetapkan program kaderisasi ulama. Program ini berlangsung hingga saat ini dan sudah mencetak para ulama yang disebar ke seluruh Tanah Air. Meski lafaz ulama secara bahasa berarti orang berilmu, menurut Imam Al-Ghazali, tidak semua orang berilmu layak menyandang gelar ulama. Hal itu karena, menurutnya, keulamaan bukan semata-mata soal pengetahuan, kepakaran, titel atau posisi di lembaga keulamaan. Al-Ghazali menekankan ulama sejati adalah soal ketakwaan dan kedekatan pada Tuhan. Bagaimana perbuatannya selaras dengan ayat-ayat suci dalam Al-Quran.

Bisa jadi, ulama-ulama Muhammadiyah adalah mereka yang istiqomah di pelosok daerah yang jauh dari ingar bingar popularitas semu. Paham keagamaannya moderat, tapi kerja nyatanya sesuai dengan tuntunan Ilahi. Mereka berkulit hitam legam, beraroma keringat dan bau matahari serta mata merah menahan perihnya perjuangan. Tapi, tidak sekalipun ada kata penyesalan keluar dari mulutnya. Mereka intelektual yang berani melawan kemapanan tetapi juga rendah hati sebagaimana ulama dalam definisi Islam. (*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!