Salah satu paket kebijakan IMF yang membuat Indonesia kian terperosok dalam resesi ekonomi 1997 adalah mempreteli peran Bulog dalam mengendalikan pangan. Kewenangan Bulog atas sembako dikerdilkan tinggal hanya beras. Saran IMF itu menyebabkan Bulog tidak lagi memiliki peran penuh pada pengaturan harga pangan karena sepenuhnya dalam genggaman mekanisme pasar.
Mekanisme pasar ala IMF ini yang membuat Indonesia makin menderita. Di era milenial ini, Indonesia sudah tidak lagi dalam tekanan IMF. Namun, warisan mempreteli Bulog tetap terjadi. Bulog ternyata tidak mampu bersaing dengan mafia beras yang telah mencengkeram banyak lini.
Ironisnya, nasib Bulog kini di ujung tanduk dan terancam kolaps karena tidak mampu membayar utang Rp28 triliun. Di tengah ancaman kebangkrutan tersebut, stok 20 ribu ton beras di gudang-gudang Bulog pun semakin membuat rakyat pilu. Di tengah jeritan rakyat miskin, negara hendak menghambur-hamburkan beras senilai Rp160 miliar tersebut.
Kondisi ini tentu membingungkan kita. Sejak 2016 silam, Pemerintah menghapus program Beras Rakyat Sejahtera (Rastra) dan Beras untuk Rumah Tangga Miskin (Raskin) secara bertahap. Puncaknya, pada Mei 2019 lalu, Pemerintah menggantikan penyaluran beras itu menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
Menjadi menarik, di tengah stok beras yang melimpah di depot Bulog, bantuan beras miskin justru dihilangkan. Kondisi ditambah parah dengan gempuran impor beras yang sebenarnya menambah sesak gudang penyimpanan.
Ketahanan dan kedaulatan pangan pun menjadi topik menarik, mulai dari obrolan warung kopi hingga pejabat berdasi. Apa dampaknya bagi ekonomi bangsa kita? Apa yang akan dilakukan Pemerintah menangani ancaman ini?
Tidak disangkal jika Indonesia sudah menjadi negara liberal kapitalistik. Bahkan, Surya Paloh menyebut Indonesia adalah negara kapitalis liberal, meski masih malu-malu mengakuinya. Tidak berlebihan jika Ketua Umum Partai Nasdem mengatakan demikian, berbagai instrumen kebijakan yang dirumuskan beraroma liberal dan prokapitalisme, mulai dari kebijakan kepemilikan tanah, penguasaan sumber daya air, pengelolaan hutan, perbankan, pasar modal, penanaman modal asing hingga persoalan pangan.
Di tengah kepungan itu semua, Indonesia masih terseok dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak tumbuh-tumbuh. Di periode kedua Jokowi ini, oligarki politik menguat, bagi-bagi jabatan menjadi tontonan di media, praktik korupsi kian menggila dan ketimpangan sosial semakin lebar.
Bisa saja Pemerintah kembali memanggil IMF untuk memberi donor. Setidaknya ini bisa dibaca dari kebiasaan Menkeu Sri Mulyani yang mengandalkan utang. Kemesraan Sri Mulyani dengan lembaga internasional itu memang telah terjalin kuat. Ketika Sri dinobatkan sebagai menteri keuangan terbaik dunia, bos IMF pun memberinya selamat. Keakrabannya dengan Bos IMF Christine Lagarde telah terjalin lama. Keduanya pun saling memuji atas posisi prestisius masing-masing.
Dipuji di luar negeri, namun dimaki di dalam negeri. Tidak berlebihan jika Sri Mulyani dinilai seperti itu. Terobosannya dalam mengelola uang negara tidak lepas dari utang. Pinjaman dari lembaga semacam IMF ini memang menaklukkan sejumlah negara. Untuk beberapa tahun belakangan saja, pinjaman IMF menggoyang sejumlah negara.
Ekuador misalnya, yang sebulan lalu diguncang demo besar. Implementasi perjanjian pinjaman IMF senilai $ 4,2 milyar yang dilakukan Presiden Lenin Moreno memicu gelombang protes massa. Persis seperti Indonesia di tahun 1997, Ekuador mengeluarkan kebijakan atas saran IMF berupa paket penghematan klasik, yang mewajibkan pemotongan pengeluaran publik sebesar 6% dari PDB selama tiga tahun.
Selain itu, pengetatan anggaran, menaikkan pajak secara tidak proporsional pada orang miskin, memotong investasi publik dan mencabut sejumlah subsidi. Tidak pelak, resep IMF ini kemudian meningkatkan jumlah pengangguran, rakyat miskin dan menurunkan ekonomi lebih lama dan dalam.
Negara lainnya adalah Mesir yang kini dalam genggaman IMF. Presiden Abdul Fattah el-Sisi, baru-baru ini menerapkan kebijakan penghematan yang diamanatkan oleh IMF yang menyebabkan meningkatnya kemiskinan, memperdalam ketimpangan dan pemotongan manfaat sosial. Tangan besi el-Sisi mampu meredam gejolak Mesir yang memang menihilkan oposisi. Dampaknya adalah rakyat yang kian bergelimang dalam keterpurukan.
Di Yordania, PM Hani al Mulki menyerah setelah didera gelombang demonstrasi akibat kebijakannya yang pro-IMF. Dia mengundurkan diri setelah kemarahan publik terhadap kebijakan pemerintah yang didukung oleh IMF bermunculan sejak kenaikan pajak penjualan umum yang tidak wajar. Pemicu lain pengunduran dirinya adalah penghapusan subsidi roti, barang pokok bagi warga miskin di negara tersebut.
Protes besar pun terjadi Argentina, ketika ribuan warga Argentina turun ke jalan menentang kebijakan Presiden Mauricio Macri atas kesepakatan pinjaman kepada IMF. Mereka meneriakkan slogan FMI=Humbre (IMF=Hungre) yang artinya IMF=Kelaparan.
Di penghujung 2019 ini, Indonesia diprediksi akan memasuki masa-masa resesi. Tantangan bertambah dengan adanya prediksi ancaman krisis di 2020, karena pengaruh ekonomi global. Sentimen negatif terhadap Pemerintah bisa saja menguat ketika kebijakan tidak pro terhadap rakyat miskin. Bulog yang menjadi sandaran pangan nasional, kian terjerembab dalam ketidakjelasan. Mekanisme pasar terbukti tidak mampu membawa kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jika kondisi sudah kian terjepit, akankah Indonesia memanggil kembali IMF dan lembaga semacamnya untuk mengucurkan utang? Tentu utang yang dibarengi dengan berbagai kepentingan asing yang belum tentu pas dengan hajat hidup orang banyak. (*)
Mohamad Fadhilah Zein
Peneliti Menara62 Institute