JAKARTA, MENARA62.COM – Sebagai tumpuan pembangunan sumber daya manusia, penyelenggaraan pendidikan tinggi vokasi dituntut untuk lebih modern. Kehadiran Merdeka Belajar episode ke-26 diharapkan mampu mengakomodasi penyelenggaraan pendidikan vokasi yang modern sekaligus mempercepat transformasi pendidikan tinggi vokasi di Indonesia.
Berbicara dalam acara “Bincang Santai – Coffee Morning dengan Media” di Jakarta, Rabu (13/9), Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Kiki Yuliati, menyatakan bahwa Merdeka Belajar episode ke-26 yang bertajuk Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi, telah memberikan kepercayaan terhadap perguruan tinggi termasuk perguruan tinggi vokasi (PTV).
Harapannya melalui penerapan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, PTV dapat lebih leluasa berinovasi dalam penyelenggaran pendidikan tinggi dengan standar nasional yang fleksibel dan tidak preskriptif.
“Merdeka Belajar episode ke-26 ini menyerukan ajakan, ayo kita melakukan transformasi,” kata Dirjen Kiki.
Menurutnya, PTV harus melakukan transformasi akademik dan meninggalkan model-model pembelajaran yang dirasa sudah tidak sesuai dengan perkembangan saat ini. Terlebih dengan kekhasan pendidikan vokasi.
“Model belajar mastery learning pada prinsipnya tidak salah. Akan tetapi, ketika strategi dan teknologi pembelajaran semakin membaik, ketersediaan sarana dan prasarana juga semakin baik, maka para dosen seharusnya bisa lebih berinovasi lagi,” ujar Dirjen Kiki menambahkan.
Menurut Dirjen Kiki, para dosen dan politeknik tidak perlu khawatir untuk berinovasi dengan pembelajaran-pembelajaran baru, pasalnya kehadiran Merdeka Belajar episode ke-26 justru menjadi penegas sekaligus legitimasi bagi para dosen untuk berinovasi menghadirkan pendidikan vokasi yang lebih modern.
“Perguruan tinggi vokasi bisa menggunakan model pendidikan dual system. Bahasa sederhananya, tidak harus dengan sistem (perkuliahan) paket lagi,” kata Dirjen Kiki.
Dengan dual system tersebut, Dirjen Kiki menilai akan lebih cocok dengan karakter pendidikan vokasi. Model ini justru akan berdampak baik bagi mahasiswa karena memungkinkan eksposur yang lebih tinggi dengan industri dan menciptakan pembelajaran yang lebih relevan.
Meski begitu, Dirjen Kiki juga tidak menyalahkan jika sistem paket masih digunakan. Namun, penyelenggaraan sistem paket tersebut harus benar-benar memperhatikan kebutuhan akan kompetensi yang diajarkan.
“Jadi, harus dipikirkan mana yang harus benar-benar paket. Misalnya kalau seorang pilot sebelum menerbangkan pesawat besar maka dia harus bisa terlebih dahulu menerbangkan pesawat capung,” ujar Dirjen Kiki.
Oleh karena itu, Dirjen Kiki juga mendorong politeknik untuk menelisik ulang kurikulum-kurikulum sedemikian rupa agar dapat lebih mengakomodasi potensi-potensi mahasiswa, utamanya terkait kompetensi yang memang harus berjenjang ataupun kompetensi yang sifatnya bisa lebih leluasa.
Sebagai informasi, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, meluncurkan Merdeka Belajar episode ke-26: Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi. Peluncuran ini menandakan bahwa sejak dihadirkannya berbagai kebijakan Merdeka Belajar pada tahun 2019, 10 dari 26 episode Merdeka Belajar berfokus kepada transformasi pendidikan tinggi.
Terdapat dua hal fundamental dari kebijakan ini yang memungkinkan transformasi pendidikan tinggi melaju lebih cepat lagi. Pertama, standar nasional pendidikan tinggi yang lebih memerdekakan. Standar nasional kini berfungsi sebagai pengaturan framework dan tidak lagi bersifat preskriptif dan detail. Di antaranya terkait pengaturan tugas akhir mahasiswa. Kedua, sistem akreditasi pendidikan tinggi yang meringankan beban administrasi dan finansial perguruan tinggi.