JAKARTA, MENARA62.COM – Perpustakaan sekolah memiliki peranan penting dalam menunjang keberhasilan gerakan literasi nasional. Meski penting, hingga saat ini keberadaan perpustakaan sekolah masih belum menjadi prioritas pengembangan baik oleh sekolah maupun pemerintah daerah.
“Masih banyak pemimpin daerah termasuk dinas, kanwil yang belum memiliki persepsi yang sama terkait pentingnya perpustakaan sekolah dalam gerakan literasi,” kata Ketua Umum Forum Perpustakaan Sekolah/Madrasah, Mulyanto pada Rakornas Bidang Perpustakaan tahun 2021, Selasa (23/3/2021).
Bukti bahwa perpustakaan sekolah belum menjadi prioritas antara lain dapat dilihat dari kondisi perpustakaan sekolah itu sendiri. Data menunjukkan dari 218.234 sekolah yang ada, hanya sekitar 12,3 persen yang memiliki perpustakaan yang relatif baik, 50 persen layak dan 21,49 persen tidak memiliki perpustakaan. Dari jumlah perpustakaan yang ada tersebut, 48 persen dalam kondisi rusak sedang hingga berat.
Dilihat dari kunjungan ke perpustakaan, ternyata ditemukan fakta bahwa sebagian besar siswa berkunjung ke perpustakaan sekolah hanya untuk mengerjakan tugas dan sebagian lainnya ‘ngadem’. Kondisi seperti ini tak berbeda jauh dengan situasi perpustakaan di level pendidikan tinggi dimana mahasiswa berkunjung pada akhir masa studi untuk mencari bahan menyusun skripsi.
Sedang jika dilihat dari akreditasi perpustakaan, Mulyanto menjelaskan hanya 2.275 atau 0,8 persen perpustakaan sekolah yang mengantongi akreditasi baik. Hanya ada 133 pustakawan (0.06 persen) yang bertugas di sekolah dengan koleksi buku yang terbatas.
Menurut Mulyanto kondisi sebuah perpustakaan sekolah tak lepas dari anggaran yang disediakan untuk mengelolanya. Anggaran pengelolaan ini bisa bersumber pada BOS (dari APBN), BOP (dari Pemda), orang tua siswa melalui Komite Sekolah, swasta atau volunteer.
Menilik dari penggunaan dana BOS, diakui Mulyanto, alokasi anggaran untuk perpustakaan sangat bergantung pada sikap dan pandangan kepala sekolah terhadap keberadaan perpustakaan sekolah.
“Jika kepala sekolah menganggap penting perpustakaan, ini akan berkorelasi positif terhadap alokasi anggaran BOS untuk perpustakaan. Tetapi sebaliknya jika kepala sekolah menganggap perpustakaan tidak penting maka alokasi anggaran untuk perpustakaan tentu juga minim. Padahal dalam UU nomor 43 dijelaskan anggaran minimal dari BOS untuk pengelolaan perpustakaan sebanyak 5 persen atau bisa lebih,” tegasnya.
Lebih lanjut Mulyanto mengatakan saat ini tingkat literasi masyarakat kita masih sangat rendah. Belum jelas apakah rendahnya literasi tersebut berkaitan erat dengan kondisi perpustakaan sekolah. “Ini perlu kajian lebih lanjut,” katanya.
Untuk menjadikan posisi perpustakaan sekolah sebagai bagian yang penting dalam gerakan literasi nasional, Mulyanto menilai pentingnya dilakukan sejumlah terobosan. Misalnya pustakawan menjalin kerjasama kolektif dengan organisasi profesi. Secara individual seorang pustakawan juga bisa melakukan pendekatan kepada kepala sekolah untuk meyakinkan pentingnya perpustakaan sekolah.
Selama ini gerakan literasi masih dilakukan secara parsial dan belum melibatkan perpustakaan sekolah. Pustakawan bisa membuat pilot project dengan melibatkan guru Bahasa Indonesia melakukan gerakan 15 menit untuk membaca di perpustakaan sekolah sebelum pembelajaran dimulai dan mengadakan lomba resume buku bacaan. Dari gerakan tersebut, pustakawan dapat memberikan apresiasi kepada siswa dengan tugas resume bahan bacaan terbaik.
“Hasilnya tunjukkan kepada kepala sekolah, bahwa ini adalah produk literasi perpustakaan. Ini bisa jadi portofolio bagi sekolah dalam hal gerakan literasi nasional,” tutup Mulyanto.