JAKARTA, MENARA62.COM – Kanker paru hingga kini masih menjadi kanker paling mematikan di dunia termasuk di Indonesia. Jenis penyakit ini menyumbang 13,2 persen angka kematian dari seluruh angka kematian yang diakibatkan oleh kanker.
Data Globocan 2020 menunjukkan terdapat 34.783 kasus baru kanker paru di Indonesia tahun lalu, dan 30.843 orang diantaranya meninggal dunia. Penyakit ini merupakan kanker penyebab kematian terbanyak bagi pria sebanyak 18,5% dan menjadi salah satu penyebab kematian utama bagi perempuan sebanyak 7,1%.
Meski angka kematian kanker paru sangat tinggi, tetapi kebijakan penanganan kanker paru di Indonesia masih belum memadai. Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH, ahli kesehatan masyarakat menyebutkan dalam sebuah studi komparatif tentang kebijakan terkait kanker paru antar negara di Asia Pacific yang dilakukan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) pada tahun 2020 menghasilkan penilaian dan rekomendasi bahwa profil kebijakan kanker paru Indonesia masih berada di nilai sedang menuju rendah untuk semua parameter dibandingkan negara lainnya.
“Padahal untuk menurunkan angka kematian kanker secara menyeluruh, kita harus fokus mengatasi kelompok dengan kematian tertinggi yakni kanker paru,” kata Hasbullah.
Upaya mencari solusi dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah terkait penanganan kanker paru, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) menyelenggarakan kegiatan dialog dengan para pemangku kepentingan kanker paru Indonesia, Ahad (7/2/2021). Dialog mengambil tema ”Kanker Paling Mematikan di Indonesia: Seberapa Jauh Telah Kita Atasi dan Apa yang Dapat Kita Lakukan?” tersebut digelar dalam rangka Hari Kanker Sedunia tahun 2021.
Selain Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH, hadir sebagai pembicara Dr. dr. Tubagus Djumhana, SpPD-KHOM, Ketua Perhimpunan Hematologi Onkologi Medik Ilmu Penyakit Dalam Indonesia (PERHOMPEDIN); dr. Sita Laksmi Andarini, SpP(K), PhD dari Pokja Onkologi Toraks Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI); Dr. dr. Lisnawati, SpPA(K), mewakili Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Indonesia (IAPI); Prof. Dr. dr. Rianto Setiabudy, SpFK, sebagai salah satu ahli Farmakologi; Prof. Dr.dr. Aru W. Sudoyo, Sp.PD-KHOM, FACP, Ketua Yayasan Kanker Indonesia; dan Aryanthi Baramuli, Ketua Cancer Information and Support Center (CISC).
Dalam paparannya, dr. Tubagus Djumhana, SpPD-KHOM menjelaskan angka tahan hidup kanker paru sangat tergantung pada diagnosis. Jika diagnosis kanker paru dilakukan sejak dini, maka angka tahan hidup akan lebih tinggi. Dan sebaliknya, jika ditemukan pada stadium 3 atau 4, maka angka tahan hidup juga jauh lebih rendah.
Sayangnya, mayoritas kasus kanker paru baru diketahui saat stadium lanjut 3 atau 4, dengan angka tahan hidup yang semakin rendah.
“Diagnosis yang tepat dan cepat sangat berarti guna memastikan pasien mendapatkan penanganan yang juga tepat dan akurat sesuai tipe kanker paru,” jelasnya.
Untuk itu, diperlukan kerja sama multidisiplin yang baik agar dapat menangani pasien kanker paru secara menyeluruh dari mulai diagnosis, pengobatan hingga pemantauan.
Deteksi dini menjadi kunci penting
Hal senada juga dikemukakan dr. Sita Laksmi Andarini, SpP(K), PhD. Data RSUP Persahabatan dan di Kota Surabaya menunjukkan lebih dari 80 persen pasien kanker paru datang ke rumah sakit sudah dalam kondisi stadium lanjut. Salah satu penyebabnya antara lain gejala kanker paru yang tidak mudah dikenali oleh orang awam karena paru menjadi organ tubuh manusia yang tidak memiliki sensor rasa sakit.
“Paru-paru tidak memiliki sensor sakit. Kalau sudah berat baru ketahuan. Biasanya diawali gejala nafas susah, batuk berdarah lebih dari dua pekan. Itu mengapa secara alamiah, kasus banyak yang datang terlambat,” jelas dr Sita.
Belum diketahui secara pasti apa yang menjadi penyebab kanker paru ini. Tetapi paparan asap rokok akan meningkatkan risiko penyakit kanker paru. Itu sebabnya pria di atas usia 40 tahun dan merokok aktif, sebaiknya melakukan deteksi dini dan diagnosis kanker paru yang dapat dilakukan melalui biopsy dan bronkoskopi.
“Pada saat ini, perkembangan diagnosis dan tatalaksana kanker paru di Indonesia sesuai dengan standar pedoman diagnosis dan tatalaksana internasional,” lanjut dr Sita.
Di Indonesia, 90% dari kanker paru merupakan Kanker Paru jenis Karsinoma Bukan Sel Kecil (KPKBSK atau non-small cell lung cancer). Tatalaksana kanker paru tergantung akan jenis, stadium dan performance status pasien. Untuk stadium 1,2,3 dapat dilakukan tindakan pembedahan, yang dapat diikuti oleh radioterapi atau kemoterapi.
Sedangkan pada stadium IV, tatalaksana kanker paru bergantung pada driver oncogen atau penanda molekuler yang menyertainya.
Pada populasi Indonesia, EGFR mutasi positif dapat ditemukan sekitar 48% KPKBSK, dan tatalaksana dengan targeted therapy (EGFR TKI). Pada populasi kanker paru yang lebih muda, dapat ditemukan mutasi ALK (5%) sebagai penanda terapi untuk ALK inhibitor.
Sekitar 30% pasien kanker paru dengan EGFR dan ALK negatif, memiliki ekspresi PD-L1 ≥50% yang merupakan penanda untuk imunoterapi. Pada saat ini, pasien dengan mutasi EGFR dapat mendapatkan pengobatan EGFR-TKI (tablet) melalui program JKN, dan seluruh pasien yang memiliki EGFR mutasi negatif hanya mendapatkan kemoterapi, walaupaun memiliki ALK positif maupun ekspresi PD-L1≥50%, yang seharusnya dapat mendapatkan terapi sesuai dengan guidelines untuk memperpanjang angka tahan hidup.
Prof. Dr.dr. Aru W. Sudoyo, Sp.PD-KHOM, FACP, ketua YKI mengatakan tersedianya akses ke diagnostik yang memadai menjadi salah satu kunci untuk mencapai penanganan yang baik. Saat ini skrining dan diagnostik masih menjadi kendala yang mengakibatkan pasien baru dapat mengetahui kanker ketika sudah di stadium lanjut.
“Lebih menggiatkan usaha pengendalian rokok juga sangat penting untuk semakin meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahayanya rokok bukan hanya untuk perokok aktif, tapi juga perokok pasif,” tukas Prof. Sudoyo.
Prof Hasbullah mengatakan selain perlunya terus meningkatkan upaya pencegahan dan diagnosis kanker paru, peningkatan akses untuk penanganan yang tepat dan akurat sesuai tipe-tipe kanker paru yang ada, terutama lewat program JKN juga sangat penting. Sebab proses pengobatan kanker paru yang sangat lama membutuhkan biaya yang sangat besar. Seseorang yang awalnya kaya, bisa mendadak jatuh miskin jika harus membiayai pengobatan kanker.
“Pemerintah juga perlu segera mencari solusi pendanaan inovatif untuk mengatasi masalah keterbatasan dana JKN sehingga pasien-pasien kanker, khususnya kanker paru, tetap dapat memperoleh pelayanan terapi kanker yang paling optimal memberikan harapan hidup 5 tahun lebih panjang dan kualitas hidup lebih baik,” tambah Prof. Hasbullah.
Sementara itu, Aryanthi Baramuli, Ketua CISC mengatakan dukungan dari seluruh pihak baik keluarga, klinisi, maupun masyarakat dan komunitas sangat berarti bagi pasien kanker paru, terutama dalam menghadapi stigma masyarakat.
“Kebanyakan stigma yang melekat pada penderita kanker membuat kanker menjadi sesuatu yang tabu. Padahal pengobatan kanker itu membutuhkan proses panjang dan berat. Sehingga seorang pasien kanker perlu mendapat support agar dapat mengikuti tahapan pengobatan kanker,” kata Aryanthi.