32.8 C
Jakarta

Mewaspadai Isu SARA Menjelang Pilkada Serentak 2018

Baca Juga:

Mewaspadai Isu SARA Menjelang Pilkada Serentak 2018

Oleh  Indah Rahmawati Salam

Sejak berlangsungnya pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di berbagai daerah mulai memunculkan isu-isu intoleransi yang dipolitisasi dalam rangka menjaga peluang memenangkan pilkada. Fenomena politisasi isu SARA mampu menggiring opini sebagian masyarakat dalam menentukan pilihan kepala daerah berdasarkan sentimen agama dan latar belakang calon pemimpin daerah.

Masyarakat masih telalu gampang dieksploitasi dengan hal-hal yang bersifat sentimen seperti agama dengan pemainan tingkat tinggi seperti yang dilakukan oleh para politisi. Koalisi bersama rakyat seolah hanya untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya lewat segala macam cara termasuk mempermainkan isu SARA tanpa memperhitungkan dampak yang akan timbul begitu mengerikan.

Kondisi demikian membuktikan bahwa demokrasi yang “kotor” tanpa menjunjung tinggi rasa toleransi masih terus berkembang dan semakin tajam dengan mengesampingkan pentingnya kredibilitas dari calon pemimpin tersebut. Tidak jarang pada masa kampanye terdapat dua kubu yang berbeda pilihan seolah-olah sudah bertentangan ideologi, padahal Pancasila masih berdiri tegak sebagai landasan ideologi bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Menurut hasil penelitian terhadap Indeks Kota Toleran (IKT) tahun 2017 yang dilakukan oleh Setara Institute menunjukkan daftar kota yang memiliki tingkat toleransi tertinggi dan terendah di Indonesia. Kota Manado memiliki tingkat toleransi tertinggi diikuti Kota Pematangsiantar, Salatiga, Singkawang, Tual, Binjai, Kotamobagu, Palu, Tebing Tinggi dan Surakarta. Namun ternyata Jakarta merupakan kota paling intoleran di Indonesia bersama beberapa kota lain seperti Banda Aceh, Bogor, Cilegon, Depok, Yogyakarta, Banjarmasin, Makassar, Padang dan Mataram.

Yang menjadikan Jakarta sebagai kota paling intoleran karena telah terjadi sebanyak 24 pelanggaran kebebasan beragama dan beribadah (KBB) selama kurun waktu satu tahun terakhir dari tahun 2016. Yang menarik disini adalah masyarakat Jakarta yang notabene heterogen dengan pemikiran yang lebih logis dibandingkan masyarakat pedesaan malah terlalu mudah tersulut isu SARA selama pilkada berlangsung, bahkan pilkada di Ibukota tahun 2017 menjadi sejarah baru sebagai pemilihan daerah paling “kotor” yang pernah diselenggarakan di negeri ini.

Seperti yang telah diketahui bahwa pilkada DKI Jakarta tahun 2017 telah menghasilkan pasangan Anies Baswedan – Sandiaga Uno sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur sah periode 2017-2022. Namun, dibalik hasil tersebut masih menyisakan luka bagi masyarakat Jakarta yang telah menjadi sasaran partai politik dalam menghimpun suara dengan menghalalkan segala cara termasuk menggodok isu SARA. Kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai lawan Anis Baswedan diputaran kedua, menjadi amunisi untuk menyerang dan menjatuhkan Ahok sebagai petahana sekaligus membuka potensi konflik bagi masyarakat mayoritas dan minoritas.

Akan tetapi dampak yang ditimbulkan dari politisasi isu agama pilkada Ibukota tersebut sangat tragis dan tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh pihak manapun, hampir seluruh masyarakat Indonesia merasakan sentimen agama dan isu SARA yang terjadi di Ibukota. Telebih lagi, alur informasi yang begitu cepat tersebar lewat media sosial belum tentu benar dan sebagian besar adalah berita kebohongan atau “hoax” yang lebih berisi tentang ujaran kebencian mengarah pada kedua calon Gubernur DKI Jakarta.

Dalam kondisi seperti ini, seharusnya setiap masyarakat Indonesia sadar bahwa tujuan pilkada adalah untuk mencari sosok pemimpin yang mampu membawa kebaikan bukan malah menimbulkan kubu-kubu yang saling berkonflik dan menyerang kubu lain dengan isu SARA. Masyarakat harus lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan pendangan terutama saat pilkada karena berawal dari perbedaan tersebut akan menghasilkan pemimpin idaman yang kredibel.

Oleh sebab itu, satu suara dari masyarakat sangat menentukan dalam pemilihan pilkada yang menggunakan sistem demokrasi sehingga perlu dilakukan upaya yang lebih maksimal dari semua pihak agar masyarakat lebih arif dalam menyikapi perbedaan dengan prinsip-prinsip fundamental untuk memahami keberagaman yang ada di Indonesia. Sikap tegas dari seluruh elemen masyarakat untuk mewujudkan demokrasi yang bersih dari segala bentuk politisasi terhadap isu SARA yang sedang mengancam keutuhan negara kita.

Memang diperlukan langkah-langkah yang berani untuk membangun sistem demokrasi yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Politisasi isu SARA harus segera dihentikan oleh seluruh pihak yang terlibat secara langsung yaitu partai maupun masyarakat sebagai pemilik hak suara, sehingga tidak ada konflik dimasyarakat yang disebabkan oleh sikap intoleransi.

Masyarakat yang memiliki toleransi tinggi akan menciptakan sebuah kota yang toleran dengan situasi aman dan kondusif. Manfaatnya bagi pertumbuhan kota tersebut sangat berpengaruh terutama di bidang pembangunan sumber daya manusia. Persaingan yang sehat dan saling memupuk tali persaudaraan merupakan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.

Presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno telah berujar bahwa bangsa ini akan melewati masa sulit untuk menghadapi bangsanya sendiri daripada mengusir para penjajah. Selain itu, Ia juga menegaskan bahwa Indonesia merupakan bangsa yang besar dengan keberagaman seperti yang terserat dalam kata-katanya yang terkenal yakni “Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu adat istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke”. **** (Penulis adalah Mahasiswi IAIN Kendari)

 

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!