24.6 C
Jakarta

Mimpi Brigita dan Melki, Siswa Papua Penerima Beasiswa ADEM di Batu

Dua siswa asal Papua, Brigita Marice Momotsan dan Agustinus Melkisedek Belau, memang tidak pernah membayangkan untuk bisa sekolah di lembaga pendidikan di Pulau Jawa.

Baca Juga:

Mimpi Brigita dan Melki, Siswa Papua Penerima Beasiswa ADEM di Batu.

Dua siswa asal Papua, Brigita Marice Momotsan dan Agustinus Melkisedek Belau, memang tidak pernah membayangkan untuk bisa sekolah di lembaga pendidikan di Pulau Jawa.

Namun, berkat program ADEM (Afirmasi Pendidikan Menengah) yang digelar Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, mereka bisa mewujudkan keinginan itu. Program ADEM menyasar pada anak-anak yang tinggal dan berasal dari Papua, daerah khusus dan repatriasi untuk melanjutkan pendidikan di sekolah menengah.

Brigita yang punya hobi menyanyi ini, tampak senang sekali tinggal di asrama sekolah, SMA Immanuel di Kota Batu. Belum setahun tinggal di Batu, ia yang mudah beradaptasi mampu mempunyai prestasi akademik yang lumayan.

“Saya memang tidak terlalu sulit beradaptasi dengan makanan dan lingkungan, namun terkadang bahasa Jawa jadi tantangan,” ujarnya, saat ditemui di Dinas Pendidikan Kabupaten Malang, Selasa (7/11/2023).

Brigita yang sekarang sudah mulai paham bahasa Jawa ini, namun untuk membalas lawan bicaranya ia masih menggunakan bahasa Indonesia.

Dari ibunya yang bekerja di rumah sakit di Sorong Selatan, Brigita pun segera mendaftarkan diri untuk mendapat beasiswa ADEM. Apalagi, batas waktu pendaftarannya sudah sangat dekat.

“Prosesnya cepat sekali, karena saat mendapatkan informasi waktunya sudah mepet. Hanya seminggu waktu yang tersisa untuk menyiapkan semua berkas yang diperlukan,” ujar Brigita yang sempat sakit ringan, karena udara di Batu lebih dingin, dibandingkan dengan kampung halamannya.

Soal waktu yang singkat ini, juga dialami Melki. Ketika ayahnya memberitahu soal beasiswa ADEM ini, waktunya hanya dua hari. Untunglah, persyaratan bebas narkoba prosesnya dapat diselesaikan dalam waktu satu hari.

“Untuk mengirimkan berkas, saya menitipkan berkas itu pada kakak-kakak yang akan berangkat dengan pesawat. Lalu paman dari ayah, sudah menunggu untuk mengambil berkas itu,” ujar Melki yang berasal dari Timika ini.

Melki mengaku tidak ragu dan takut untuk belajar ke Pulau Jawa. Apalagi, semua ini masih bagian dari Indonesia. Ayah dan ibunya yang mendorong untuk mengambil kesempatan belajar.

“Beasiswa yang diberikan ini, membuat saya ingin belajar terus. Kalau bisa nanti juga bisa kuliah di Jawa,” ujarnya yang mengaku sebelumnya sempat mendaftarkan diri untuk sekolah di Taruna Bakti di Jayapura.

Hambatan yang serius, menurut Melki, hampir tidak ada. Apalagi, ia sebelumnya juga terbiasa dengan makanan orang-orang dari Jawa yang ada di Papua. “Saya suka gado-gado dan pecel, juga sudah terbiasa maka rawon,” ujarnya tersenyum.

Sebelum diberangkatkan, mereka sempat mendapatkan pembekalan selama tiga hari di sebuah hotel di Papua.

Immanuel

Wahono, Kepala Sekolah SMA Immanuel Batu mengatakan, sekolahnya sudah sejak awal keberadaan program ADEM, menyediakan diri untuk mendukung program pemerintah ini. Menurutnya, sekolahnya bersama 66 sekolah lain di Jawa Timur sejak angkatan pertama pada tahun 2013, sudah ikut dalam program ADEM ini.

Baginya, program ADEM ini sungguh luar biasa. Ini merupakan bagian program untuk percepatan pembangunan Papua. Selain itu, juga merupakan program meltingpot yang dapat menyatukan semua suku yang ada di Indonesia untuk menjadi Indonesia.

“Mereka diajak merasakan menjadi bagian dari Indonesia. Mereka merasakan bagaimana layanan pendidikan dan mendapatkan perhatian untuk mewujudkan mimpinya di masa depan,” ujarnya.

Menurut Wahono, anak-anak repatriasi maupun ADEM merupakan anak-anak hebat. Mereka anak-anak pilihan yang punya daya juang yang sangat tinggi.

“Satu kebanggaan bagi kami, bisa ikut mengantarkan mereka sampai tujuan dan mewujudkan mimpi mereka,” ujar Wahono yang menjadi Koordinator ADEM se-Jawa Timur.

Ia pun mengenal keterlibatan pertama kali dengan program repatriasi dan ADEM. Saat repatriasi anak-anak dari Sabah, Malaysia yang dibawa oleh guru-guru CLC paket B. Anak-anak itu ingin melanjutkan pendidikan SMA, namun punya banyak keterbatasan. Ia pun berinisiatif untuk memulai, meski pada awalnya belum ada bantuan dari pemerintah.

“Kami membangun kedekatan dengan para donatur dan pemerhati pendidikan. Bersyukur, ditahun keempat ketika itu ada 31 anak anak yang sudah mendapat biaya bantuan pemerintah,” ujarnya.

Namun, pada akhirnya, bukan hanya menjadi harapan Wahono dan pemerintah, tetapi dari dalam diri anak-anak itu sendiri, mereka mengaku tetap bercita-cita ingin mengabdikan dirinya untuk ikutu membangun Papua.
- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!