31.5 C
Jakarta

Miris, 107,333 Ton Sampah Puntung Rokok Masih Diabaikan

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Konsumsi tembakau di Indonesia menempati nomor 3 di dunia, mencapai 322 miliar batang pada tahun 2020 (Dirjen Bea dan Cukai). Hal ini berpotensi menghasilkan sekitar 107,333 ton sampah puntung rokok.

Sayangnya, meski jumlah puntung rokok sangat besar, namun dalam pengolahan sampah, puntung rokok belum menjadi perhatian. Penyebabnya, ukurannya yang kecil dan bercampur dengan sampah lainnya, tidak terkelola sehingga berakhir di sungai dan laut.

WHO menyebutkan bahwa rokok tidak hanya membunuh setengah dari konsumennya tetapi juga menyebabkan dampak yang sangat besar terhadap lingkungan. Berbagai fakta menunjukkan bahwa sampah puntung rokok menyumbang 5-9% sampah dan sekitar 4,5 trilliun puntung rokok yang dibuang sembarangan setiap tahunnya yang berakhir ke lautan. Puntung rokok yang dibuang mengeluarkan bahan kimia dan logam berat dalam kadar tinggi yang mudah mencemari tanah dan air, serta membunuh mikroorganisme dan hewan air.

Mengutip dari Stop Tobacco Pollution Alliance, bahwa puntung rokok juga melepaskan ribuan serat mikroplastik ke laut. Satu filter rokok memiliki 12.000–15.000 helai selulosa asetat dan melepaskan sekitar 100 serat selulosa asetat setiap hari ketika dibuang sebagai puntung rokok[ii] dan memerlukan waktu 10 tahun untuk terurai (Green dkk 2019).

Di tingkat global, masalah puntung rokok sudah menjadi perhatian karena berdampak terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Sejak Februari 2022, Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Environment Programme) bersama Sekretariat Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau Organisasi Kesehatan Dunia (WHO FCTC) meluncurkan kampanye untuk meningkatkan kesadaran dan aksi dampak mikroplastik pada filter rokok terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Kampanye dilaksanakan melalui UNEP’s Clean Seas Campaign (Kampanye Laut Bersih) yang merupakan koalisi global yang terdiri dari 63 negara yang bertujuan untuk mengakhiri polusi plastik laut. Indonesia bergabung dalam kampanye ini dengan target untuk mengurangi sampah plastik di 25 kota pesisir dan mengurangi sampah laut sebesar 70% pada tahun 2025.

Asisten Deputi Pengelolaan Sampah dan Limbah Kemenkomarves, Rofie Alhanif, mengatakan, pencemaran sampah plastik laut merupakan isu global, termasuk di Indonesia yang disebut sebagai salah satu negara negara kontributor terbesar kebocoran sampah plastik ke laut. Melalui berbagai upaya, sampai dengan akhir tahun 2022 Indonesia sudah berhasil mengurangi sekitar 35 persen kebocoran sampah plastik ke laut dibandingkan dengan baseline data 2018.

Puntung rokok, jelas Rofie, merupakan salah satu jenis sampah yang banyak ditemukan di sungai dan laut, akibat dibuang sembarangan dan belum dapat dikelola dengan baik,. Mengingat puntung rokok mengandung ribuan zat kimia dan plastik yang membahayakan lingkungan, sudah barang tentu sampah puntung rokok yang bocor ke laut, dan membahayakan ekosistem laut.

Hal ini senada dengan hasil riset yang dilakukan Peneliti Pusat Penelitian Oceanografi – BRIN, Muhammad Reza Cordova di 18 pantai di Indonesia selama periode Februari 2018 hingga Desember 2019. Bahwa sampah puntung rokok merupakan sampah nomor delapan tertinggi dengan proporsi 6.47 persen. “Setiap persatu meter persegi ditemukan satu puntung rokok,” kata Reza. Selain itu, mereka juga menemukan sebanyak 46,38 persen sampah plastik, diantaranya berupa sampah sachet, kantong plastik, dan botol plastik.

Reza juga sepakat bahwa rokok tidak hanya berbahaya bagi paru-paru, tetapi sampah puntung rokok juga mencemari lingkungan.

Pada kesempatan Lokakarya “Menyoal Dampak Puntung Rokok Terhadap Lingkungan” yang diselenggarakan di Jakarta pada 25 januari 2024, dengan melibatkan lintas sektor, antara lain Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kesehatan, BPOM, pegiat lingkungan, pegiat pengendalian tembakau, perwakilan anak muda dan jurnalis, Pendiri dan Penasihat Senior Nexus3 Foundation, Yuyun Ismawati mengatakan bahwa filter rokok dapat melepaskan berbagai bahan kimia yang berasal dari pemanenan dan pengolahan tembakau. Filter rokok yang dihisap dapat melepaskan hidrokarbon aromatik polisiklik (PAH) terutama naftalena, nikotin, etanol, etilfenol, benzene, toluene, xilena (BTEX), dan logam berat ke dalam air.

“PAH terlarut, nikotin, BTEX dan logam berat dapat terakumulasi dalam jaringan biota perairan,” ujarnya.

Yuyun menjelaskan, sebuah studi di Amerika Serikat yang dipimpin Eli Slaughter menguji berapa banyak puntung rokok dalam satu liter air dapat membunuh separuh dari ikan yang ada dalam tangki. Dalam studi ini Slaughter dan tim mematahkan sampah rokok dalam 3 kategori yaitu filter rokok yang tersisa, filter rokok yang terbakar dan filter rokok yang tidak terbakar. Mereka memilih dua jenis ikan yaitu ikan topsmelt dan fathead minnow, lalu mencari nilai lethal concentration 50 persen atau LC50, yaitu limit konsentrasi dari puntung rokok dalam air yang bisa menyebabkan kematian 50 persen sampel jumlah makhluk hidup, dalam satu lingkungan yang sama. Hasil uji menunjukan, filter rokok yang masih mengandung tembakau adalah bagian yang paling mematikan, dengan nilai LC50 sebesar 1 puntung rokok per liter.

Yuyun juga mendukung pasal tentang puntung rokok masuk dalam proses negosiasi perjanjian internasional tentang plastik (plastic treaty). Komite Negosiasi antar Negara atau Intergovermental Negotiating Committee yang ketiga (INC-3) sudah berlangsung di Nairobi, Kenya, pada 13-20 November 2023. “Indonesia harus punya posisi untuk mendukung cigarette butts dibahas pada INC-4,” ujarnya.

Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari, mendorong pemerintah untuk memperhatikan permasalahan penanganan sampah puntung rokok, mengingat puntung rokok melepaskan zat kimia berbahaya dan selulosa asetat atau plastik yang membahayakan ekosistem laut.

Apalagi Indonesia sudah berkomitmen dan terlibat aktif dalam pembentukan perjanjian internasional yang mengikat secara hukum untuk mengakhiri polusi plastik. Majelis Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa- Bangsa (United Nations Environment Assembly, UNEA 5.2) telah menargetkan perjanjian internasional ini dapat diselesaikan pada 2024

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!