28.9 C
Jakarta

Muhammadiyah Berkemajuan, Berkeinginan Memayu Hayuning Bawono

Sebuah Upaya Mbabar Djati Diri

Baca Juga:

Muhammadiyah Berkemajuan, Berkeinginan Memayu Hayuning Bawono. Muktamar Muhammadiyah ke-48 yang berlangsung tanggal 18-21 November 2022 di Kota Surakarta, dinilai sebagai sebuah perhelatan akbar yang luar biasa. Jutaan penggembira bersuka cita menghadiri Muktamar. Suasana Kota Surakarta tetap kondusif dan damai. Tidak ada sedikitpun keributan disana. Semua kader persyarikatan bisa pulang dengan banyak cerita dan sejuta makna yang berkecamuk dalam hati.

Sejuta makna bisa timbul dari jutaan kepala yang hadir dan ingin menyaksikan berkemajuannya Persyarikatan Muhammaidyah. Dari jutaan kepala itu, ada beberapa kepala yang merasa gelisah. Kegelisahan yang mulai dirasakan oleh para pengamat, baik dalam maupun luar negeri, bahkan mulai dirasakan kader Persyarikatan itu sendiri.

Gerakan dakwah Muhammadiyah yang berkemajuan, nampak semakin monoton dalam ragam ekspansinya. Lazimnya pengamat yang sejatinya selalu menantikan ada dinamisasi sebuah gerakan, yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari doktrin elan vital perjuangan Muhammadiyah. Namanya juga pengamat, mereka memang tidak sepenuhnya mengenal sak njeroning ati yang sesungguhnya. Apa yang terlontar dari ucapan, celetukan, ataupun keluhan mereka, mungkin bisa saja ditertawakan karena dianggap sebagai orang yang tidak tahu apa yang sesungguhnya sedang terjadi.

Namun kalau ada kesadaran itu, mbok iya o, mereka yang paham dapat memberikan pencerahan tentang sejatinya gerakan dakwah Persyarikatan. Ada pepatah Jawa yang mengingatkan manungsa mung ngunduh wohing pakarti (kehidupan manusia baik dan buruk adalah akibat dari perbuatan manusia itu sendiri-Red).

Jadi jangan sampai adigang adigung adiguna (secara singkat, janganlah sombong. Biasanya ditujukan untuk pemimpin – Red) Adigang dari segi bahasa, berarti orang yang memiliki kelebihan kekuatan dan kekuasaan; memegang satu kendali yang ada di masyarakat. Orang tidak boleh membanggakan kekuatannya dan kekuasannya. Adapun Adigung adalah orang yang membanggakan harta, keturunan, dan keagungan lainnya. Sedangkan Adiguna adalah orang yang membanggakan kecerdasan, kemampuan, serta kepintarannya.

Dua hal

Setidaknya ada dua hal strategis yang hilang dalam pelaksanaan Muktamar ke-48 ini. Pertama, adanya fakta ketiadaan sosok saudagar dalam daftar 92 calon tetap. Sehingga, ketika data calon dibuka saat tanwir, keterkejutan baru terjadi. Seleksi dalam proses Tanwir menjadi 39 nama, hingga hasil akhir Muktamar yang memilih 13 nama pimpinan, tidak ada satupun saudagar!

Padahal, Rasulullah SAW beserta segenap sahabat utama adalah para saudagar dahsyat dimasanya. Begitupun Kyai Dahlan beserta murid-muridnya, merupakan perpaduan antara keulamaan-saudagar. Inilah yang juga menjadi keresahan panjang seorang Kyai Nurbani Yusuf, Ketua PDM Kota Batu Jawa Timur, yang menyoroti dominasi para dosen dan birokrat di jajaran elit Muhammadiyah di berbagai levelnya. Ia pun berharap, bisa tampil sosok saudagar besar menjadi pemimpin aktif Muhammadiyah. Namun harapan itu ibarat menunggu kemunculan seekor semut hitam di ujung kegelapan malam.

Kedua, adanya keterlambatan Panitia Pemilihan merilis Data Calon Tetap. Ini banyak menimbulkan pertanyaan Muktamirin. Hal ini tentu sangat manusiawi, karena mayoritas pemegang hak suara tentu menginginkan adanya keterbukaan data calon tersebut. Dengan mengetahui data calon lebih awal, tentu akan semakin memudahkan delegasi wiayah/daerah/cabang untuk menimbang, dan mencari formula paket pimpinan yang akan dipilih.

Namun, data calon justru baru dibuka saat Tanwir berlangsung. Situasi itu tentu menimbulkan kesulitan tersendiri, karena tidak ada lagi ruang dialog antara delegasi pemilik hak pilih, dengan para calon tetap.

Penulis mencoba menelusuri mengapa hal tersebut bisa terjadi. Dari beberapa sumber yang bisa dikatakan cukup valid, penulis mendapatkan info bahwa sebenarnya Panitia Pemilihan sudah bersiap mengumumkan daftar calon tetap jauh hari sebelum pelaksanaan Muktamar. Namun, Pleno Pimpinan Pusat melarang Panlih mengumumkan data calon tetap tersebut. Satu hal yang menjadi alasan Pleno Pimpinan Pusat melarang pengumuman data calon, supaya tidak menimbulkan kegaduhan. Sebuah alasan yang dalam konteks “berkemajuan” justru bisa sangat meresahkan.

Dilema Evaluasi Kinerja Pimpinan

Daftar calon tetap yang tidak dibuka secara transparan, menimbulkan berbagai spekulasi Muktamirin. Tak ayal, sebagian menduga bahwa pasti ada agenda tersembunyi dibalik keputusan menutup rapat-rapat informasi data calon tetap. Hak peserta dan Muktamirin untuk mengetahui siapa calon-calon pimpinan mereka seperti telah dikebiri.

Ditengah era transparansi, Muhammadiyah justru terlihat menutup diri pada momen penting reformasi Pimpinan Pusat. Padahal disadari sebuah perubahan,  sebagai sunatullah. Proses pergiliran kepemimpinan ini akan diikuti oleh setiap Pimpinan Wilayah. Mereka akan melaksanakan Musyawarah Wilayah. Kemudian juga secara berjenjang di tingkat daerah, cabang dan ranting.

Jawa Timur dan Kalimantan Timur tercatat sebagai PWM yang akan segera menggelar Muswil. Sumatera Selatan dan Banten, juga akan menyusul. Berikutnya juga PWM Sumatera Utara dan PWM lainnya juga akan menggelar Muswil.

Keterangan yang penulis dapatkan dari sumber yang dapat dipercaya –dimana sumber ini juga terpilih kembali dalam komposisi 13 PP Muhammadiyah— mengungkapkan, Pleno PP Muhammadiyah khawatir jika calon-calon yang ketahuan tidak bekerja selama periode yang lalu, maka akan diadili oleh Muktamirin. Padahal, bukankah inilah esensinya muktamar. Muktamirin menilai sosok dan kinerja pemimpin mereka.

Sebagai organisasi berkemajuan, Muhammadiyah penting menjadikan aspek kinerja untuk menilai indikator Majelis dan Lembaga itu. Apakah dari indikator yang ada, bisa memperlihatkan secara efektif Majelis dan Lembaga itu telah bekerja melaksanakan tugas pokoknya sebagai pembantu pimpinan atau tidak. Dan ini juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari amanat Muktamar.

Ironinya, mereka yang justru rajin turun dan terlibat aktif ikut menyelesaikan persoalan manajemen amal usaha Muhammadiyah, atau menyelesaikan berbagai konflik antar pimpinan, justru tidak terpilih. Berkurangnya suara mereka sebagai akibat imbas adanya konflik kepentingan sebagai wujud masih adanya ketidakpuasan atas solusi yang ditawarkan dan diputuskan oleh Pimpinan Pusat.

Sebaliknya, mereka yang duduk manis, tidak banyak terlibat dalam penyelesaian konflik, dan cenderung pasif dengan tidak mengkritik pimpinan justru banyak yang terpilih kembali.
Inilah dilema yang menyertai perjalanan Muktamar, atau perhelatan setiap Muswil, Musda, Muscab hingga Musran. Penting kiranya, model permusyawaratan Muhammadiyah didesain dengan lebih cerdas. Hajatan utama memilih pimpinan bisa berlangsung secara damai dan mencerminkan kemajuan Muhammadiyah sebagai Persyarikatan tertua di negeri ini yang masih eksis, dan bisa bertahan di tengah gempuran jaman.

Bias Simbolik

Dengan derap Muhammadiyah yang secara material sangat besar, terpilihnya kembali Prof Haedar Nashir sebagai ketua umum mengisyaratkan, masih akan bertahannya nuansa kepemimpinan akan ajeg apolitik. Diklaim seperti main bola, tetapi dalam kenyataannya kadang tidak seperti teamwork, lebih seperti main bola sendiri-sendiri.

Umpan lambung Ketum atau Sekum sering tidak membuahkan gol apa-apa bagi Muhammadiyah, karena tidak ada aktor yang diperankan untuk eksekusi di kotak penalti. Seperti yang kita ketahui, selama periode 2015-2022 nyaris tidak ada gerakan khusus untuk menempatkan kader-kader Muhammadiyah di jejaring pemerintahan. Kalaupun ada, bisa dihitung dengan jari, dan bila dilihat lebih detail lagi, apa betul dipilih karena faktor kader Muhammadiyah atau hal lain. Ini perlu menjadi evaluasi yang cukup serius bagi persyarikatan.

Disisi yang lain, nampak jelas bahwa tidak ada strategi pemerataan akses kesejahteraan, khususnya bagi warga Muhammadiyah. Lebih khususnya lagi, bagi mereka yang bekerja di amal usaha-amal usaha Muhammadiyah maupun cikal bakal amal usaha Muhammadiyah. Masih sangat lazim terjadi, honor guru atau karyawan Muhammadiyah, ada yang masih dibawah standar UMR. Ada pula yang bekerja merintis dan berupaya membesarkan sesuatu –meski mereka tidak mengharap balas jasa– tetapi upayanya seperti air disiramkan ke padang pasir yang panas.

Selanjutnya, ada kesan di warga Persyarikatan, jika Pimpinan Pusat Muhammadiyah belum maksimal dalam memdayagunakan aset-aset produktif Muhammadiyah. Belanja uang lebih untuk simbolik, seperti pendirian Kampus Universitas Muhammadiyah Malaysia, atau Muhammadiyah College di Australia, ketimbang memikirkan pemerataan kesejahteraan anggotanya sendiri.

Penulis khawatir pola ini akan mewarnai sampai tingkat PWM. Terbukti PWM Jawa Timur baru-baru ini berniat untuk membeli gereja di Spanyol. Sementara, persoalan terkait kesejahteraan guru dan karyawan amal usaha Muhammadiyah, masih saja menjadi ganjalan yang selalu menghantui… Wallahu a’lam bish-showaab

Penulis: Qosdus Sabil (Penasehat Pimpinan Ranting Legoso-Ciputat Timur)

Editor: Imam Prihadiyoko

 

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!