27.3 C
Jakarta

Muhammadiyah Memang Bergerak Kekanan

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM — Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, tokoh dan warganya ada yang bergerak kekanan. Meskipun, ketua umum Pimpinan Pusat Haedar Nashir, konsisten berada di posisi tengah.

“Namun di Muhammadiyah itu luas spektrumnya. Dan yang terpenting, semua spektrum itu bisa berdialog,” ujar guru besar Universitas Islama Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Azyumardi Azra di Jakarta, Selasa (3/3/2020). Ia menyampaikan itu dalam forum peluncuran Jurnal MAARIF edisi ke-34 No.2 Desember 2019. Peluncuran jurnal ini, diiringi diskusi dengan tema “Memperkuat Kembali Moderatisme Muhammadiyah : Konsepsi, Interpretasi, Strategi dan Aksi”.

Selain Azyumardi, acara digelar di Aula Kampus UHAMKA ini, juga menghadirkan Ahmad Najib Burhani, Ph.D (Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan Dr. Zamah Sari (Wakil Rektor II UHAMKA). Diskusi ini dipandu Pipit Aidul Fitriyana (Manager Program Riset Maarif Institute).

Muhammadiyah Memang Bergerak Kekanan
peluncuran Jurnal MAARIF edisi ke-34 No.2 Desember 2019.

Menurut Azymardi, tokoh, atau warga Muhammadiyah yang ke kanan itu, dapat dilihat dari beragam komentar dan pandangan baik terkait isu politik agama maupun sosial termasuk juga isu virus corona.

Namun, ia mengaku, sebetulnya lebih senang menggunakan istilah Al-Qur’an, wasathiyah. Ini untuk merujuk kondisi umat Islam. Menurutnya umat itu jalan tengah, Islam tidak sistem ke kanan tidak kiri, tidak ekstrim.

“Umat Islam Indonesia adalah ummatan wasathan, meskipun ada yang mengatakan bahwa Islam adalah Islam, bukan Islam kanan atau kiri. Tapi kalau kita menggunakan istilah wasathiyah sepertinya tidak ada yang mempersoalkan,” ujar Azyumardi yang menambahkan bahwa istilah wasathiyah ini, dipopulerkan bersama Prof Din Syamsuddin melalui deklarasi Bogor beberapa tahun lalu.

Menurut Azyumardi, sejak dari awal di Indonesia, Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam masa wasathiyah. Islam disebarkan secara damai terutama oleh guru-guru yang menjabarkan dari satu tempat ke tempat yang lain, yang penggambarannya hanya untuk memperkenalkan Islam sifatnya akomodatif.

Sebelumnya, dalam sambutannya, Abd. Rohim Ghazali, Direktur Eksekutif Ma’arif Institute, mengatakan, isu tentang moderatisme Islam menjadi trend belakangan ini, utamanya di tengah maraknya radikalisme yang bisa membahayakan kedaulatan nasional, kepentingan ekonomi nasional, nilai-nilai budaya, dan identitas nasional.

“Saya meyakini,Muhammadiyah sebagai organisasi moderat tidak sehaluan dan tidak memberi ruang bagi adanya ideologi, pemikiran, sikap, dan pandangan yang ingin mewujudkan bentuk dan ideologi lainnya yang bertentangan dengan pandangan Negara Pancasila Darul l-Ahd Wa al-Syahadah” ujarnya.

Najib Burhani, berpendapat bila melihat beberapa fenomena belakangan ini seperti berbagai aksi intoleransi terhadap minoritas, mudahnya mem-bully secara berjamaah kepada mereka yang berpandangan berbeda, dan terjadi konflik keagamaan hanya karena persoalan sepele, ada kekhawatiran bahwa Islam moderat di Indonesia itu sudah goyah.

“Tindakan intoleransi, diskriminasi, dan bigotry memang bukanlah masuk kategori terorisme, namun itu bisa menjadi awal dari perilaku yang bisa berujung pada terorisme,” jelas tokoh Muhammadiyah yang juga Peneliti Senior di LIPI ini.

Pembicara berikutnya, Zamah Sari, mengingatkan bahwa salah satu karakter moderasi Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Ia berharap visi itu tidak hanya berhenti dalam ucapan dan jargon semata, tetapi menjadi laku tindakan nyata. Visi ini dalam konteks keindonesiaan adalah menjadi pengawal Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!