JAKARTA, MENARA62.COM – Ditengah animo besar masyarakat dalam pengembangan ekonomi syariah di Indonesia sebagai amanah dalam konstitusi, namun dalam implementasinya ada sebuah ganjalan besar yang dirasakan ketika pengembangan koperasi syariah bukan lagi menjadi orientasi pemerintah saat ini. Hal itu terbukti berdasarkan Keputusan Presiden No.16/TPA tahun 2021 tentang pemberhentian dan pengangkatan dari dan dalam jabatan tinggi madya di lingkungan Kementerian Koperasi dan UKM tak ada pejabat yang fokus dan memiliki bidang khusus yang mengurus tentang koperasi syariah. Atas dasar tersebut, Mukhaer Pakkana Sekertaris Umum Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah (MEK –PPM) dalam keterangan tertulisnya yang diterbitkan hari ini Sabtu, (8/5/2021), mempertanyakan kepada pemerintah, mau dibawa kemana pengembangan koperasi syariah dibawah pemerintahan Presiden Jokowi saat ini ?
“Melihat Keputusan Presiden No.16/TPA tahun 2021 tersebut, jelas sekali sangat tidak popular bagi pemerintah terhadap pengembangan koperasi syariah yang selama ini menjadi keuangan inklusi yang strategis dalam pengentasan program – program kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat,”terang Mukhaer.
Keberadaan koperasi syariah atau yang dikenal secara regulasi bernama Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah (KSPPS) selama ini telah diatur dalam regulasi payung hukum bernama Peraturan Menteri Koperasi dan UKM NOMOR 16 /Per/M.KUKM/IX/2015 tentang pelaksanaan kegiatan usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah oleh koperasi. Secara otomatis dari regulasi tersebut pemerintah seyogyanya memiliki fokus perhatian tersendiri dalam pengembangan koperasi syariah dalam bentuk ada deputi atau asisten deputi yang khusus mengurusi koperasi syariah.
Perlu diketahui, dampak dari tiadanya fokus tersebut menurut MEK – PPM sangat mengkhawatirkan, terkesan adanya kesengajaan dan pembiaran praktek koperasi syariah atau KSPPS yang sudah berjalan selama ini bertahun – tahun. Sehingga akan mempengaruhi peran pemerintah kedepan dalam pengawasan dan pembinaan terhadap koperasi syariah yang selama ini sudah menjadi tugas pokoknya.
“Untuk itu kami berharap agar pemerintah bisa meninjau ulang kembali adanya keputusan tersebut dan tetap linier dengan kebijakan pembangunan ekonomi syariah yang selama ini telah dituangkan dalam Master Plan Ekonomi Syariah,”terangnya.
Masukkan dan himbaun ini kepada pemerintah, lanjut Mukhaer memiliki makna yang strategis, apalagi selama ini di Muhammadiyah memiliki konsen yang sama dalam mengembangan ekonomi dalam bentuk koperasi syariah. Bahkan MEK – PPM dalam blue print – nya sangat mendukung gerakan koperasi syariah yang dikenal dengan Gerakan Microfinance Muhammadiyah (GMM) yang dilakukan oleh Induk Baitut Tamwil Muhammadiyah (BTM) dalam mewujudkan satu BTM satu (Pimpinan Daerah Muhammadiyah) di seluruh Indonesia. Begitu juga dengan organisasi wanita Aisyiyah yang mengembangan koperasi Aisyiyah Bueka untuk jaringan Koperasi Wanita di Aisyiyah.
“Dengan adanya realitas demikian yang dilakukan oleh Muhammadiyah, yang sangat konsen pengembangan koperasi syariah, maka ada analogi yang salah jika kekuatan civil society saja berjuang dalam pengembangan koperasi syariah sementara pemerintah tidak respek sama sekali. Hal ini jelas pemerintah sangat “ambigu” dalam kebijakan publik,” terang Mukhaer.