Sarjana Barat telah menulis berbagai analisa mengenai Muhammadiyah. Kebanyakan mereka menggolongkan organisasi ini sebagai muslim modern, namun ada juga yang menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi ortodoks, salah satunya Howard M. Federspiel. Peneliti McGill University ini menulis artikel berjudul “The Muhammadijah: A Study of an Orthodox Islamic Movement in Indonesia”. Artikel tersebut menarik karena istilah ‘ortodoks’ yang digunakan memiliki makna yang khas dalam konteks keindonesiaan.
Ortodoksi Muhammadiyah memiliki ciri yang agak berbeda dengan kelompok lain, khususnya dengan gerakan Salafi. Menurut Federspiel, ada dua bentuk ortodoksi di Indonesia, yakni ortodoks reformis dan tradisionalis. Dua kelompok ini memiliki visi dan gerakan yang berbeda, bahkan dalam beberapa kasus sangat berseberangan.
Ortodoksi Salafi, misalnya, lebih tertarik dengan pemurnian ibadah, bisa dilihat dalam Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Meski doktrin Muhammadiyah juga demikian (anti takhayul, bid’ah dan khurafat), namun organisasi ini dikategorikan sebagai ortodoks reformis. Disebut reformis lantaran memiliki perhatian pada Islam secara umum yang melingkupi kebutuhan zaman dan situasi kekinian. Tagline yang dipopulerkan di kalangan Muhammadiyah adalah “Islam Berkemajuan”.
Definisi “Islam Berkemajuan” pun dinamis. Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir memiliki pandangan yang menarik tentang Islam Berkemajuan. Menurutnya, Islam sebagai al-Din itu mutlak, satu dan sempurna, lengkap. Sampai kapanpun akan senantiasa tinggi. Tetapi ketika Islam yang satu itu dikonstruksi oleh para mufasir, imam mazhab atau para pemikir, Islam tidak lagi menjadi satu jenis yang absolut dan komprehensif, tapi sesuai dengan konstruksi berpikir, bahkan pengalaman dan mazhab tokoh itu. Bahkan dari mereka itu kemudian lahir berbagai golongan yang menisbahkan diri padanya.
Bagi Muhammadiyah, Islam sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman. Berbicara Islam, maka juga berbicara tentang kemajuan yang menuntut pencarian pengetahuan dan pengembangan ilmu. Penghormatan Islam terhadap akal mendapat tempat yang tinggi dalam pemikiran tokoh-tokoh Muhammadiyah.
Kita bisa menyimak argumentasi menarik Kiai Ahmad Dahlan tentang posisi akal, “Akal itu bagaikan biji atau bibit yang terbenam dalam bumi. Supaya bibit (akal) itu tumbuh dari bumi dan kemudian menjadi pohon yang besar, harus disiangi, disiram secara terus menerus. Demikian juga halnya dengan akal manusia, tidak akan tumbuh dan bertambah sempurna apabila tidak disirami dengan pengetahuan. Setinggi-tingginya pendidikan akal adalah pendidikan dengan Ilmu Mantiq (cabang filsafat) ialah suatu ilmu yang membicarakan sesuatu yang cocok dengan kenyataan sesuatu itu”.
Bagi Deliar Noer, penempatan akal yang tinggi dalam Muhammadiyah menjadi ciri modernitas organisasi tersebut. Tidak hanya modern, bagi Noer, Muhammadiyah juga organisasi reformis yang telah banyak mewarnai perjalanan sosial keagamaan di Tanah Air.
Noer punya argumentasi menarik soal modernitas Muhammadiyah. Di awal pembentukannya, Muhammadiyah melihat tantangan paling besar bagi umat adalah tradisi sinkretisme Islam Jawa sebagai tantangan lokal dan kolonialisme Kristen Belanda sebagai tantangan global. Dengan kondisi demikian, Muhammadiyah mengambil kiprah menjadi Islam sebagai agama modern yang memiliki warisan nilai tersendiri, pertengahan antara kekolotan dan modernitas berpikir.
Seiring berjalannya waktu, ortodoksi Muhammadiyah mendapatkan tempat dengan semakin mapannya lembaga fatwa Majlis Tarjih dan Tabligh. Beberapa pengamat menilai lembaga ini menjadi “kanonisasi” terhadap berbagai keputusan organisasi yang menyangkut dimensi keagamaan. Menguatnya ortodoksi Muhammadiyah ini menjadi keniscayaan dan tidak lepas dari perjalanan panjang. Argumentasinya adalah benih-benih ortodoksi Muhammadiyah sudah ada sejak organisasi ini didirikan dan kemudian bersemi menjadi paham mainstream di dalamnya.
Modernitas dan ortodoksi Muhammadiyah tidak lepas dari pengaruh paham dan gerakan Islam global pada saat kelahirannya. Fazlur Rahman menganalisa modernitas klasik di dunia Islam memiliki latar belakang revivalis yang bertendensi ortodoksi di satu sisi, namun rasionalistik di sisi berbeda. Menurut Fazlur, gerakan yang dipelopori Sayyid Ahmad Khan, pendiri Anglo-Mohammedan Oriental College di India pada 1817, menarik minat intelektual Islam seluruh dunia pada saat itu.
Adapula Jamaluddin al Afghani dan Muhammad Abduh yang mewarisi tradisi filsafat rasional muslim abad pertengahan yang dirumuskan al Farabi dan Ibn Sina. Tokoh-tokoh tersebut kemudian mampu memengaruhi kelompok-kelompok intelektual muslim di seluruh dunia, bahkan sampai Indonesia. Di sini tentunya menarik, apakah Ahmad Dahlan dipengaruhi pemikiran Muhammad Abduh yang rasionalistik (modern) ataukah Muhammad bin Abdul Wahab yang ortodoksi? Atau kah Kiai Ahmad Dahlan mengambil semua pemikiran tokoh-tokoh tersebut kemudian meramunya menjadi pemikiran baru di Muhammadiyah? Ini tentu pertanyaan yang menarik untuk dicari jawabannya.
Berbicara modern dalam konteks keislaman, tentunya mengundang perdebatan. Modern sering dilekatkan dengan westernisme, yang tidak lain adalah hasil dari proses pencerahan di Barat pada era renaissance. Konsekuensinya, modernisme acap kali dipersandingkan dengan sekularisme, liberalisme dan humanisme, yang menjadi karakter utama renaissance.
Sarjana Barat melihat Muhammadiyah sebagai kelompok revivalis exogenous, yakni modernisasi sebagai konsekuensi atas pengaruh Barat. Kaum revivalis Muhammadiyah menawarkan modernisme yang bermakna sebagai bentuk koreksi terhadap modernisme Barat yang bertendensi westernisme. Alasannya, tidak semua aspek dalam Islam dapat dilihat dari western worldview. Kenapa? Karena Islam memiliki worldview sendiri tentang kehidupan dan seluruh aspek turunannya.
Jika modern diidentikan dengan material, maka sesungguhnya Muhammadiyah menanggalkan itu semua. Organisasi ini lebih merangkul aspek kultural dan idelogis. Gerakannya pun seputar dakwah, pendidikan, kehidupan sosial dan semisalnya. Ini menjadi ciri khas Kiai Ahmad Dahlan dan terimplementasi dalam ucapannya yang inspiratif, mendalam dan sangat populer, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, Jangan Mencari Hidup di Muhammadiyah”. Atas pemikirannya itu, banyak sarjana menilai Kiai Ahmad Dahlan dipengaruhi oleh gerakan revivalis Islam yang dipelopori Sayyid Usman bin Aqil bin Yahya al-Alawi (wafat 1913) dan Syaikh Ahmad Khatib (wafat 1916).
Kini, di usianya yang lebih dari seratus tahun, Muhammadiyah makin kokoh membenamkan kakinya dalam kehidupan sosial keagaman di Tanah Air. Masalah yang diutamakan dalam konteks revivalis Muhammadiyah adalah pembinaan umat agar menjadi “khoirun naas anfa’uhum linnas” (sebaik-baiknya manusia adalah yang paling banyak manfaatnya) dan “khoiru ummatin ukhrijat linnaas” (umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia).
Cara pandang ini kemudian dibuktikan dengan mendirikan ribuan sekolah, modernisasi pondok pesantren, menggiatkan usaha sosial, meluaskan tabligh dan sebagainya. Jika kemudian ditanya, apakah Muhammadiyah modern atau ortodoks? Maka, jawabnya ada dalam pertengahan di setiap jiwa yang memiliki qolbun salim. (*)
Mohamad Fadhilah Zein
Peneliti Menara62 Institute