Oleh: Ki Pujo Lohdoyo Boyolali
BOYOLALI, MENARA62.COM – Dulu, sekitar tahun 1950-an, Muhammadiyah berkembang begitu pesat di desa kami. Bukan tanpa sebab. Kami punya kader-kader militan yang tidak hanya aktif di ranting Muhammadiyah, tetapi juga berkiprah dalam struktur masyarakat. Ada yang jadi Sekretaris Desa, guru Pendidikan Agama Islam di sekolah negeri, hingga Ketua PRM pendiri Sekolah Madrasah Ibdidaiyah di atas tanah kas desa. Desa kami dikenal sebagai gudange Muhammadiyah di tahun itu — istilah yang tak berlebihan untuk menggambarkan militansi dakwah kala itu.
Saking kuatnya gerakan, kaum ibu pun tidak ketinggalan. Para aktivis ‘Aisyiyah, dengan semangat dakwah yang luar biasa, membangun sebuah mushola. Tujuannya mulia: menjadi tempat salat jamaah, pengajian ibu-ibu, dan sarana kaderisasi generasi Muslimah. Mushola itu diberi nama Mushola ‘Aisyiyah, sebagai simbol kiprah perempuan Muhammadiyah yang tak hanya berdakwah dalam sunyi, tapi juga menanamkan nilai-nilai Islam berkemajuan dalam kehidupan nyata.
Namun kini, kondisi berubah drastis. Seiring waktu, pengaderan kurang berjalan, mau menyalahkan siapa itulah yang ada. Tidak ada regenerasi. Banyak anak-anak para tokoh Muhammadiyah tidak lagi aktif dalam persyarikatan. Mereka menempuh jalannya sendiri. Mencari kepuasan Spiritual dilain ‘Manhaj’ Ironisnya, sebagian justru mendirikan amal usaha atau yayasan sendiri yang mirip-mirip dengan gerakan Muhammadiyah—dalam metode, bahkan dalam legitimasi mengunakan nama ketokohan orangtuanya, anak Pak PRM, anak Pak PCM.Tetapi tanpa ruh dan komitmen ideologisnya jelas tidak sama.
Akhirnya, Mushola ‘Aisyiyah itu pun perlahan kehilangan jati dirinya. Bukan lagi menjadi basis dakwah ‘Aisyiyah seperti dulu. Kini, ia lebih sering diisi oleh aktivis lain yang membawa warna dakwah berbeda. Arah kajiannya berubah, nilai-nilai keorganisasian Muhammadiyah memudar, dan tak jarang para ibu ‘Aisyiyah sepuh sendiri merasa asing di rumah yang dulu mereka bangun dengan cucuran keringat.
Fenomena ini menyadarkan kita akan pentingnya kaderisasi yang berkelanjutan. Tanpa kaderisasi, yang tersisa hanya bangunan fisik, bukan ruh perjuangan. Mushola ‘Aisyiyah kini hanyalah nama—yang tak lagi mencerminkan wajah ‘Aisyiyah itu sendiri.
Semoga ini menjadi bahan refleksi kita semua. Agar tidak terlambat menyelamatkan rumah-rumah dakwah kita dari kehilangan arah dan identitas. (*)


