26.9 C
Jakarta

Musibah dan Semangat Membangun Minat Baca

Baca Juga:

Oleh: Ashari, SIP*

Musibah bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja. Tidak peduli kaya miskin. Semua orang pasti mengalami musibah. Hanya yang membedakan, di samping jenis dan penyebabnya, juga cara menyikapi musibah tersebut. Padahal dalam tataran agama, musibah adalah ujian untuk meningkatkan kualitas iman kita kepada Allah Swt. Tanpa musibah, susah untuk mengukur ketakwaan kepada-Nya.

Untuk dapat mengatasi kesedihan yang bertalu-talu, selain adanya bantuan, yang tidak kalah pentingnya saya pikir adalah ketahanan diri tadi. Semua itu dapat dimiliki dengan pengetahuan dan pengalaman yang memadahi. Salah satu caranya adalah dengan membaca. Sebab dengan membaca akan membuka mata hati kita yang tadinya beku, tertutup – kemudian dapat mengetahui dengan luas, bahwa bencana yang terjadi tidak hanya menimpa dirinya, tetapi ribuan orang juga mengalaminya. Termasuk upaya-upaya apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah, swasta, LSM,  pasca gempa bumi terjadi. Apa yang terjadi ‘diluar’, semuanya dapat diketahui  dengan cara membaca.

Dalam terminologi agama Islam, kegiatan membaca bahkan menempati posisi dan ruang yang sangat tinggi dan mulia bagi pengembangan umat manusia ke depan. Kalau ingin mengetahui bagaimana masyarakat Sleman atau DIY pada kurun lima, sepuluh atau lima belas tahun kedepan, maka itu semua dapat dilihat sejauh mana masyarakatnya mempunyai kecintaannya akan membaca,  reading habbit-nya.  Aktivitas membaca mempunyai korelasi yang sangat signifikan dalam peningkatan daya pikir (kognitif) dan daya nalar serta perilaku (afektif).

Sejarah telah mencatat bagaimana wahyu Illahi pertama yang diturunkan adalah perintah untuk membaca (Iqra’). Meskipun kemudian banyak ahli tafsir yang mengatakan bahwa konteks membaca dalam hal ini, bukan semata membaca teks book  semata, tetapi jabarannya lebih luas lagi, yakni membaca alam sekitar, bagaimana bumi dihamparkan, langit ditinggikan, gunung dipancangkan dan rumput-rumput juga pepohonan dihijaukan. Semuanya itu pasti ada ilmu yang mengaturnya. Sehingga akhirnya bermuara pada peningkatan kualitas diri.

Parni Hadi, pimpinan RRI pernah mengatakan ada perbedaan yang mendasar dari studi komparasi antara kegiatan membaca, berbicara, melihat dan mendengar. Aktivitas membaca dapat membuat pelaku menjadi lebih pintar dan dewasa, karena ada beberapa tahapan yang mereka lalui dari melihat hingga akhirnya terekam dalam simpul saraf otak.

Namun dalam dataran realitas, membaca belum menjadi kebutuhan mendasar (pokok) hingga menempati rangking atas dalam pemenuhan skala prioritas. Berbeda dengan budaya bicara (oral). Masih banyak, kita sendiri yang ketika waktu luang datang, bukan untuk membaca, tetapi justru untuk mengobrol yang tidak ada pangkal ujungnya – yang akhirnya  lebih banyak menggunjing atau bahkan ghibah. Asyik memang, tetapi sesungguhnya kontra produktif, baik bagi pengembangan intelegensia diri maupun membangun relasi jangka panjang. Sebab bisa-bisa akibat gunjingan tadi, orang dapat tersinggung, karena  merasa dilecehkan, hanya gara-gara sedikit omongan yang dibelokkan atau diplesetkan, akhirnya yang timbul adalah perselisihan dan perpecahan. Akhirnya semangat gotong royong yang menjadi akar dan ciri masyarakat kita menjadi pudar.

Kendala dan solusinya

Ada orang bijak yang mengatakan bahwa, seseorang melakukan sesuatu tergantung dari tingkat pemahamannya. Ketika kita mudah marah atau tersinggung hanya karena hal-hal remeh atau sepele, ya karena pemahaman kita akan pengendalian diri baru sebatas itu. Semakin tinggi tingkat pemahaman (pengetahuan), maka semakin tinggi pula kemampuannya dalam melakukan sesuatu.

Bagi masyarakat korban gempa, ada beberapa pointers yang perlu diperhatikan bersama dalam upaya menumbuh kembangkan minat baca, sehingga membangun romantisme keluarga yang merupakan kontruksi dasar bagi pengembangan masyarakat berikutnya yang lebih kokoh. Sebab ketika bangunan keluarga ini rapuh, kita tidak bisa berharap banyak, akan jenjang bangunan di atasnya. Mereka menjadi pondasi utamanya.

Pertama. Belum tercukupinya kebutuhan dasar, yakni pangan, sandang dan perumahan menjadikannya kebutuhan membaca terkesampingkan. Logikanya sederhana, bagaimana bisa ketika makan saja sudah, orang disuruh membaca. Tinggal masih ditenda-tenda darurat dalam kondisi terbatas, orang diberi buku. Tetapi kita jangan lupa bahwa, ketika bantuan yang diberikan hanya yang bersifat konsumtif saja, maka akan cepat habis. Maka disamping memberikan bantuan dasar, kebutuhan-kebutuhan akan peningkatan kualitas diri, perlu kiranya diperhatikan. Adanya penampingan dari para relawan. Buku memang tidak bisa dimakan dan membuat kenyang dalam sekejab, namun ia mampu memberikan investasi luar biasa dalam jangka waktu yang lama. Dalam hal ini peran pemerintah sesungguhnya sangat dominan.

Kedua. Masih perlunya ditingkatkan bangunan sinergitas yang solid dan komprehensif, antara pemerintah, swasta, LSM  dan masyarakat itu sendiri. Sehingga tidak terkesan berjalan sendiri-sendiri. Mahalnya biaya pendidikan di Kota Pelajar ini menjadikan suatu traumatik bagi korban gempa. Untunglah kemudian ada kebijakan keringan bagi mereka. Tetapi bagi masyarakat kebanyakan yang kondisi ekonominya pas-pasan  masih terkesan memberatkan. Sebaiknya ada political will dari pemegang kebijakan agar biaya sekolah dapat terjangkau. Situasi ini kalau dibiarkan terus akan menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan kita. Akhirnya bermuara kepada rendahnya minat baca dikalangan masyarakat.

Ketiga. Masih minimnya fasilitas buku. Maraknya pameran buku yang digelar belakangan ini mudah-mudahan menjadi angin segar untuk dapat kembali menikmati buku-buku yang berkualitas dengan harga terjangkau. Karena buku dalam peradaban kehidupan manusia, sesungguhnya mampu membuka jendela dunia. Ketika masyarakat dapat dengan mudah mengakses fasilitas buku-buku tersebut, maka insya Allah aktivitas yang tidak bermanfaat, budaya oral dapat ditekan dengan budaya baca.

Keempat. Perlu dibangun kantong-kantong perpustakaan ditingkat dusun. Ini penting karena langsung bersentuhan dengan masyarakat pengguna. Peran serta tokoh-tokoh masyakarat, pemuda dan praktisi pendidikan sangat dibutuhkan. Sayangnya dalam realitas sosial masih banyak yang kurang peduli dalam hal ini.  Mereka sibuk dengan dirinya sendiri. Untuk menumbuhkan inisiatif, terutama masyarakat korban gempa, awalnya harus dipandu. Baru setelah berjalan, tinggal pendampingan.

Penutup

Dengan meningkatnya minat dan budaya baca ditengah-tengah masyarakat kita, maka sikap kemandirian akan dimiliki, karena mereka mempunyai bekal yang memadahi. Mainset nya sudah tidak semata-mata minta bantuan, tetapi bagaimana mereka mampu memberdayakan dirinya sendiri dan keluarganya. Akibatnya akan tumbuh romantisme dalam keluarga itu yang menjadi pondasi dasar dalam pembentukan masyarakat yang berkualitas kedepan.

Banyak waktu yang dimilikinya, tidak lagi untuk berpangku tangan, menggunjing dan kegiatan kontra produktif lainnya, tetapi untuk beribadah, bekerja dan membaca.   Itu saja. Sekian.

*guru SMP Muhammadiyah di Sleman

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!