JAKARTA, MENARA62.COM – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim mengatakan pemerintah sangat serius mengembangkan pendidikan vokasi. Salah satunya ditunjukkan dengan berbagai program yang mendukung link and match atau perkawinan massal antara pendidikan vokasi, baik itu SMK maupun Politeknik dengan industri yang bertujuan menyelaraskan pendidikan vokasi dengan dunia usaha dan industri.
“Link and match ini dilakukan mulai dari penyusunan kurikulum dan sertifikasi kompetensi sesuai dengan standar dunia kerja dunia industri atau DUDI. Kemudian memperbesar peran DUDI dalam pembelajaran melalui guru atau dosen, ahli dari kalangan industri dan riset terapan berbasis kebutuhan nyata dan seterusnya,” kata Mendikbud pada kegiatan Apresiasi Pendidikan Vokasi kepada Dunia Usaha dan Dunia Industri yang disiarkan melalui kanal Youtube, Senin (21/12/2020).
Nadiem menjelaskan saat ini yang menjadi sentral atau pusat dari pada kurikulum dan pengajaran adalah industri, dan peran industri harus ditingkatkan untuk menjadi pemilik konten daripada sekolah-sekolah vokasi kita.
Untuk mendorong pengembangan pendidikan vokasi lanjut Mendikbud, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan super tax deduction. Ini adalah insentif perpajakan yang diberikan oleh pemerintah bagi industri yang terlibat dalam melaksanakan berbagai macam program pendidikan vokasi. Kebijakan ini bertujuan memperluas kesempatan pendidikan vokasi untuk melakukan kerjasama dengan jauh lebih banyak industi.
Menurut Nadiem, hal ini sangat penting untuk dapat meningkatkan kualitas pendidikan vokasi. Melalui kebijakan ini pendidikan vokasi dapat memiliki kesempatan jauh lebih besar untuk memperoleh mitra dalam pengembangan kurikulum, meningkatkan kualitas dan kuantitas pembelajaran, serta kegiatan prakerja atau pemagangan.
“Super tax deduction diharapkan akan menjadi pendorong DUDI yang selama ini belum cukup terlibat dalam perkembangan pendidikan vokasi, untuk turut terlibat dan memberikan kontribusinya,” jelas Nadiem.
Sementara itu, Dirjen Pendidikan Vokasi Wikan Sakarinto mengatakan selama ini kita telah bekerja keras untuk mewujudkan konsep link and match atau taut suai antara pendidikan dengan dunia industri yang pertama kali dikenalkan pada sekitar tahun 80-90an oleh Wardiman Djojonegoro, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) saat itu dan Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Abdul Latief.
“Dari istilahnya, link dan match ujungnya, yang diharapkan yaitu, dunia pendidikan harus menghasilkan lulusan yaitu SDM yang kompeten dan sesuai dengan kebutuhan nyata di dunia kerja. Harus kompeten dan harus sesuai,” kata Wikan.
Ia mengingatkan jangan sampai dunia pendidikan menghasilkan SDM yang membuat pihak Industri selalu komplain tentang ketidakcocokan skills-nya, sehingga industri harus men-training ulang, dengan effort besar, biaya besar dan waktu yang cukup panjang agar memastikan karyawan baru-nya siap untuk bekerja. Ibarat, makanan yang sudah dimasak dengan susah payah selama bertahun-tahun di kampus, atau di SMK, harus dirombak ulang, dimasak ulang, diramu ulang, sebelum bisa dimakan dan dinikmati di Industri. Ini adalah ciri-ciri pemborosan dan ketidakefisienan.
Menurut Wikan, kalau hal ini masih terjadi, maka itu adalah tanda-tanda bahwa sudah link tetapi tidak match. Kalau hal ini masih terjadi, maka akan menjadi ketidakefisienan dan tidak akan menjadi keuntungan signifikan bagi pertumbuhan serta daya saing industry kita. Itu bukan cara yang tepat untuk menggarap bonus demografi.
“Karena itu, untuk memastikan hal tersebut tidak akan terjadi lagi, maka kita harus melakukan perubahan dan inovasi. Jangan kita benarkan yang biasa dilakukan, tapi kita biasakan yang benar,” tukas Wikan.
Perubahan mindset secara menyeluruh pada seluruh pihak (guru, Kepsek, dosen, seluruh pengelola pendidikan vokasi), diakui Wikan harus diikuti oleh perubahan perilaku, tindakan dan pengambilan kebijakan yang inovatif dan penuh terobosan. Prinsipnya kalau (ibarat) dunia kerja pesan nasi pecel, maka dunia pendidikan harus mampu menyajikan nasi pecel special dan istimewa.
“Jangan sampai kurikulum dunia Pendidikan justru menghasilkan gado-gado, atau nasi goreng. Atau bahkan nasi sambal kacang. Sudah tidak cocok, tidak enak lagi. Masih mending, kita bikinkan nasipecel, tetapi belum special. Jangan sampai kita selalu membayangkan, industri sudah puas dengan nasi goreng kita. Atau jangan sampai kita tidak mampu memahami industry menginginkan nasi pecel, sehingga tidak mampu menterjemahkan resep nasi pecel ke dalam kurikulum dan metode pembelajaran. Kadang-kadang dosen-dosen kita berpikir, teori ini, teori itu, ilmu ini, semua harus diajarkan kepada mahasiswa. Padahal itu bukan bumbu-bumbu nasi pecel,” jelas Wikan.
Ia mengingatkan bahwa kompetensi yang dihasilkan juga harus mampu menjawab tantangan perubahan zaman yang semakin melompat-lompat menuju masa depan. Maka, kurikulum, harus fleksibel dan agile, untuk mampu adaptif terhadap perubahan. Terlebih lagi, dunia pendidikan juga harus mampu menciptakan wirausah-wirausaha dan start-up baru dan hebat. Kurikulum kita harus diperkuat pada aspek entrepreneurship.
Menurut Wikan link and match bukan sekedar tandatangan MoU, foto-foto serta masuk koran, sudah berani meng-klaim, sudah link and match. Untuk mencapai kesesuaian, dibutuhkan effort dan upaya-upaya detil lebih lanjut, yang wajib dilakukan bersama-sama oleh Dunia Pendidikan dan DuDI
“Dua makna dari link and match adalah, pertama, “Start From The End” (kita memulai pendidikan dari apa yang betul-betul diinginkan oleh industri dan dunia kerja) dan, kedua, lakukanlah bersama-sama, sebisa mungkin semuanya, dilakukan bersama. Industri jangan menunggu di belakang,” katanya.