JAKARTA, MENARA62.COM – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadim Anwar Makarim menyebut kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat. Sepanjang Januari hingga Juli 2021 telah terjadi sekitar 2.500 kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk kasus kekerasan seksual.
Hal tersebut disampaikan Nadiem pada acara Nobar dan Webinar 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan” yang digelar secara virtual, Jumat (10/12/2021)
Angka tersebut kata Nadiem melampaui catatan 2020 yakni 2.400 kasus. Peningkatan dipengaruhi oleh krisis pandemi (Covid-19),” kata Nadiem dalam acara virtual nobar dan webinar “16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan”, Jumat (10/12/2021).
Menurut Nadiem, jumlah kasus kekerasan merupakan fenomena gunung es. Artinya jumlah yang dilaporkan ini masih jauh dari fakta yang sebenarnya.
“Banyak kasus kekerasan yang menimpa perempuan banyak yang tidak dilaporkan,” tambah Nadiem.
Lebih lanjut, Nadiem mengatakan, kejadian kekerasan terhadap perempuan tentunya bisa berdampak panjang dan permanen. Kejadian kekerasan seksual tersebut juga akan memberikan trauma berat kepada para korban. Apalagi, jika kekerasan terjadi di usia dini saat korban masih mengenyam bangku pendidikan.
Dalam mengurangi kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan, Kemendikbud Ristek telah mengesahkan Permendikbud Ristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Kebijakan tersebut bertujuan mendorong warga kampus untuk berkolaborasi dalam memberikan edukasi, serta menangani kekerasan seksual di kampus.
“Saat ini kampus di Indonesia mempersiapkan pembentukan satgas PPKS dengan target tahun depan semua kampus memiliki Satgas,” tutupnya.
Pada kesempatan yang sama, Plt. Kepala Pusat Penguatan Karakter, Hendarman, mengatakan bahwa Nobar Virtual dan Webinar Puncak Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan diselenggarakan dalam rangka menghubungkan secara simbolik antara kesadaran hukum dan hak asasi manusia. “Kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia, sehingga diperlukan gerak bersama oleh semua lapisan masyarakat untuk mengakhiri kekerasan seksual di semua jenjang pendidikan,” ujarnya.
Hendarman mengatakan, berdasarkan survei Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi pada tahun 2020, kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan dan 27 persen dari aduan terjadi di universitas. “Pada tahun 2015 sekitar 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual terjadi di kampus dan 63 persen dari mereka tidak melaporkan kasus kekerasan seksual ke pihak kampus,” katanya acara Nonton Bersama Virtual dan Webinar “16 Hari Anti Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan atau 16 Days of Activism Against Gender Violence”.
Dalam rangka mendukung kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan atau 16 Days of Activism Against Gender Violence, Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbudristek menggelar kegiatan “Nobar Virtual dan Webinar” pada Puncak Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Film pendek yang diputar dalam sesi nobar berjudul “Demi Nama Baik Kampus” dan merupakan film produksi Puspeka. Film pendek ini bercerita tentang kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi.
Setelah sesi nobar, acara dilanjutkan dengan webinar yang dipandu oleh Joce Timothy dan Nabila Ishma. Webinar membahas isu kekerasan seksual di kampus bersama tiga narasumber, yaitu Ida Ayu Sutomo (Psikolog), Ni Loh Gusti Madewanti (Pendamping Penyintas dan Konselor Sebaya berbasis perspektif korban di Perempuan berkisah), dan Khaerul Umam Noer (Dosen Magister Ilmu Administrasi Fisipol Universitas Muhammadiyah Jakarta).
Psikolog Ida Ayu Sutomo mengatakan, pada kasus kekerasan seksual, yang dibutuhkan oleh korban adalah lingkungan yang mendukung (support system) untuk menguatkan korban. “Seperti yang digambarkan pada film pendek ini, sehingga kasus dapat ditangani dan berakhir baik. Karena dampak kekerasan jangka pendek dan jangka panjang, bisa memunculkan rasa takut hingga tindakan bunuh diri,” ujarnya.
Ni Loh Gusti Madewanti, Pendamping Penyintas dan Konselor, mengatakan, jika terjadi kekerasan seksual terhadap seseorang yang dekat dengan kita, maka yang harus kita lakukan adalah menghindari semakin bertambahnya kerentanan korban. “(yaitu) dengan tidak memviralkan atau memposting atau membagikan kasus tanpa mempertimbangkan risiko apa yang dialami kembali oleh korban,” katanya.
Pendamping sebaiknya menanyakan mengenai kebutuhan korban dan memosisikan diri bahwa ia selalu ada untuk korban sehingga korban tidak perlu merasa khawatir. Pendamping juga bisa membangkitkan semangat korban dengan menegaskan bahwa korban tidak salah. “Kekerasan seksual tidak akan terjadi kalau tidak ada pelaku kekerasan, jadi yang harus disalahkan itu adalah pelaku, bukan korban,” tegasnya.
Khaerul Umam Noer, Dosen Magister Ilmu Administrasi Fisipol Universitas Muhammadiyah Jakarta, menuturkan, salah satu upaya pencegahan kekerasan seksual adalah dengan mengajarkan anak berkata ‘tidak’ sedini mungkin. “Sehingga jika dosen mengajak ke suatu tempat yang tidak umum dilakukan, mahasiswa berani menolak. Pun jika terpaksa, sebaiknya tidak datang sendiri,” ujarnya.
Ia mengatakan, dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, disebutkan bahwa semua kegiatan akademik di luar jam kerja, di luar jam kantor, atau jam kuliah harus sepengetahuan Kepala Program Studi (kaprodi). “Itu menjadi salah satu langkah antisipasi terjadinya tindak kekerasan yang tidak diinginkan,” katanya.