JAKARTA, MENARA62.COM — Sebagai institusi, agak aneh kok bisa-bisanya, nasib orang dipermainkan. Melalui “kekeliruan” antara relaas panggilan dan berkas perkara, pasal dakwaannya berbeda jauh.
“Di relaas panggilan yang kami terima sehari sebelum hari sidang, itu pasalnya 480 ayat (1) KUHP, sementara di dakwaan yang dibacakan pada 27 Februari, itu pasalnya 385 ayat (1) dan 167. Tadi perkembangan persidangan dianggap sebagai kekeliruan yang mohon dimaklumi,” ujar Roni Sumanto, penasehat hukum Kolonel Inf. Eka Yogaswara seusai persidangan di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Kamis (6/3/2025).
Kolonel Eka Yogaswara, dilaporkan oleh Tessa Elya Andriana Wahyudi, selaku Legal Manager BUMN PT PFN, dengan tuduhan telah menyerobot lahan dan memasuki lahan tanpa izin dengan dasar kepemilikan Sertifikat Hak Pakai.
Ini sidang kedua bagi Kolonel Inf. Eka Yogaswara SH MH dalam kasus yang dilaporkan oleh Tessa. Eka dihadapkan ke Pengadilan Tinggi Militer II Jakarta, karena dituduh memasuki pekarangan tanpa izin dan penyerobotan tanah. Bagi Eka dan keluarga besarnya, tentu tuduhan ini terasa aneh dan janggal. Mengingat, lahan yang dimasuki itu milik engkong alias kakeknya sendiri, yang biasa dipanggil Bek Musa.
Bek Musa bernama lengkap Musa bin Muhidi, juga merupakan abdi negara, merupakan pemilik sebidang tanah di Jalan Tendean no. 41, Jakarta Selatan yang sah. Kepemilikan itu tentu saja didukung dengan sejumlah bukti surat-surat kepemilikan lahan. Anak Bek Musa, bernama Saelan, adalah ayah Eka Yogaswara, juga seorang prajurit abdi negara.
Perkara pidana ini, sebetulnya buntut dari sngketa perdata tentang kepemilikan lahan di Jalan Tendean no. 41 itu. Disatu sisi, Eka dan keluarga besarnya memiliki bukti kepemilihan lahan warisan Bek Musa. Disisi lain, PT PFN mengaku memiliki lahan dengan dasar surat hak pakai.
Tentu saja hal ini mengusik rasa keadilan!
Sertifikat Hak Pakai
Eka dilaporkan oleh Tessa Elya Andriana Wahyudi, selaku Legal Manager BUMN PT PFN yang mengklaim lahan itu sebagai miliknya dengan dasar sertifikat hak pakai. Konyolnya, menurut R Agus Sasongko, penasehat hukum Kolonel Inf. Eka Yogaswara SH MH, hak pakai tersebut tercatat atas nama Departemen Penerangan bukan PT. PFN.
“Faktanya tanah Adat tersebut adalah milik Muh. Musa Bin Muhidi sejak tahun 1937, sesuai Girik C No. 585 dan milik (Alm.) Dul Salam Bin Achmid sejak tahun 1937 sesuai Girik C No. 175 atas nama Dul Salam Bin Achmid. (Alm.) Muh,” ujarnya Sasongko di Jakarta, pekan lalu.
Sasongko mengungkapkan, berdasarkan catatan yang ada pada Kantor Pertanahan Jakarta Selatan terhadap Sertifkat Sementara Hak Pakai No. 75 belum ada peralihan hak kepada PT. PFN sehingga PT. PFN secara yuridis tidak memiliki legal status terhadap tanah hak pakai tersebut.
Ia juga menilai, sidang atas dugaan tindak pidana penyerobotan tanah dan memasuki pekarangan tanpa ijin yang dilaporkan PT. PFN terhadap Kolonel Inf. Eka Yogaswara merupakan perkara yang sangat dipaksakan. Ia menilainya penuh kejanggalan karena perkara tersebut telah daluwarsa, nebis in idem dan sarat dengan nuansa keperdataan murni dari pada pidananya.
Sementara itu, Indra Perlindungan, pensiunan Departemen Penerangan RI (Perum Produksi Film Negara) yang ditemui seusai persidangan itu mengatakan, PPFN memang menempati lahan orang lain di jalan Tendean itu. Seingatnya, PPFN hanya punya hak pakai di lahan pihak lain. Jadi kalau sudah tidak dipakai, atau batasnya selesai, harusnya dikembalikan lagi pada pemilik lahannya.
Ia pun menjadi salah satu saksi ketika Eka mendatangi dirut PPFN ketika itu, mengajak untuk sama-sama menjadi kebenaran dengan melihat fakta surat-surat yang dimiliki masing-masing pihak.
Sidang
Sidang pada Kamis siang tadi, diagendakan pembacaan eksepsi dari penasehat hukum. Namun, Letkol Hasta yang menjadi penasehat hukum menyatakan mereka belum siap, karena baru empat hari menerima materi gugatan. Ia meminta waktu pada majelis hakim yang dipimpin oleh Kolonel Kum Siti Mulyaningsih, S.H., M.H. selaku hakim ketua yang memimpin sidang, agar sidang ditunda satu minggu dari hari ini.
Roni Suminto, penasehat hukum sipil Kolonel Inf. Eka Yogaswara seusai sidang mengatakan, majelis hakim pada pekan lalu sebenarnya memberikan waktu dua minggu. Tapi karena alasan tertib adminstrasi maka diizinkan satu minggu.
“Kalau belum siap, bisa mengajukan lagi seminggu lagi. Kami menunda membacakan eksepsi karena berkas perkara baru kami dapatkan dari panitera hari Senin kemarin. Sehingga kami baru mempelajarinya empat hari dengan hari ini. Jadi tidak cukup waktu,” ujarnya.
Roni menjelaskan, dalam berkas itu, mereka menemukan fakta antara relaas surat panggilan dengan dakwaan berkas itu berbeda.
“Tadi diakui oditur di persidangan, ini sebagai salah ketik dan mohon dimaklumi,” ujarnya.
Selain itu, Roni mengatakan, dari apa yang sudah dipelajari, materi dakwaannya juga banyak yang kabur. Ia mengatakan, akan menyusun eksepsi dan mencari dasar hukum yang pas untuk membantah semua dakwaan yang disampaikan oleh oditur militer Kolonel Laut (H) Alfian Rantung.
Sementara itu, rekan Roni, Abu Ahmadi menegaskan, pada prinsipnya, ini sidang yang mulia, jadi harusnya tidak sembarangan minta mohon dimaafkan karena salah ketik.
“Itu kan bahasa yang tidak benar di dunia hukum ketika masuk persidangan. Ini tentu berbeda dengan surat panggilan biasa. Menurut saya ini harus dijaga lagi kredibilitasnya,” ujarnya.
Roni menambahkan, sebaiknya tunggu lagi minggu depan. Mereka akan bacakan semua eksepsi dan keberatan  terhadap dakwaan yang disampaikan oditur.