Politik memang susah ditebak dan penuh misteri, terkadang terasa manis, rasa pahit, rasa asem, bahkan rasa pedas—politik manis pahit asam asin enak rasanya. Oleh karena itu, nikmati saja suguhan menu politik. Kalo terasa pahit siapkan gula “Politik” pasti akan terasa manis, begitu juga asem mau manis ditambah gula “Politik”, bahkan kalo ingin cepat menghilangkan rasa pedas juga minum teh manis yang sudah diberikan gula “Politik”.
Dalam konteks pilpres 2019, dimana kekalahan Prabowo-Sandi (Koalisi Adil Makmur) terasa pahit dan kemenangan Jokowi-Ma’ruf (Koalisi Indonesia Kerja) terasa asem. Lalu, bagaimana menjadikan kekalahan Prabowo dan kemenangan Jokowi agar menjadi sama-sama terasa manis. Dus, tinggal ditambah gula politik, pasti akan menjadi kekalahan dan kemenangan “terasa manis.”
Setidaknya, pertemuan antara Jokowi dan Prabowo atau pertemuan antara Prabowo dan Megawati merupakan bentuk gula politik yang cenderung membuat kekalahan Prabowo dan kemenangan Jokowi menjadi manis. Begitu juga temperatur politik terkadang dingin (beku), hangat atau panas membara. Silaturrahmi Mega – Prabowo atau Jokowi – Prabowo beberapa waktu belakangan dalam rangka menormalkan temperatur politik yang selama pilpres 2019 sangat panas membara.
Sebenarnya silaturrahmi politik yang akhir-akhir ini antara Jokowi-Prabowo atau Megawati-Prabowo tidak terlalu menjadi sesuatu yang istimewa. Secara realitas bahwa PDIP-Gerindra baru berpisah di tahun 2014, masih anyar dalam ingatan kita bagaimana pasangan Mega – Pro bersatu di pilpres 2009, begitu juga pilkada DKI Jakarta tahun 2012 Mega – Pro juga bersatu dalam Jakarta Baru dengan memenangkan Jokowi – Ahok.
Secara garis politik, Gerindra (Prabowo) mengadopsi paham nasionalisme Soekarno, tentu sangat sejalan bersama dan senafas dengan paham yang dianut Megawati (PDIP) yaitu marhaenisme ajaran Soekarno. Keduanya ibarat minyak, antara PDIP dan Gerindra dengan mudah bersatu. Walupun sempat terpisah di pilpres 2014 dan 2019. Sebetulnya antara PDIP dan Gerindra selama terpisah dimana terasa jauh, tetapi dekat dihati.
Nasionalisme dan Islam Politik di Indonesia
Menurut Dr Friedrich Hertz dalam buku Nationality and History and Politics (1944), mengemukakan empat unsur nasionalisme antaralain: hasrat untuk mencapai kesatuaan, hasrat untuk mencapai kemerdekaan, dan hasrat untuk mencapai keaslian, serta hasrat untuk mencapai kehormatan bangsa. Sedangkan, dalam kamus KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) istilah nasionalisme diartikan sebagai paham kebangsaan yaitu suatu rasa kecintaan terhadap tanah air, bangsa dan negara, kemudian kecintaan tersebut yang membangkitkan semangat berkorban dalam membela bangsa dan negara.
Melihat dalam konteks ajaran Islam bahwa hubbul waton minal iman (mencintai negeri adalah sebahagian dari iman), bahkan berjuang membela bangsa dan negara dari kaum penjajah merupakan bentuk dari jihad yang bisa mendapatkan gelar “Syahid”, sebuah gelar yang sangat mulia dalam ajaran Islam. Artinya ada korelasi selaras antara ajaran Islam atau Islam Politik dengan nasionalisme. Dimana sense of nasionalism merupakan bagian dari spirit dan nafas dalam gerakan Islam Politik itu sendiri.
Pada awal tonggak sejarah kebangkitan nusantara pada abad ke-19, kita pernah mengenal ormas Sarikat Dagang Islam bermetamorfosis menjadi Sarikat Islam (SI) yang dipimpin HOS Tjokroaminoto. Sarikat Islam merupakan organisasi massa Islam terbesar di awal masa kebangkitan nasional nusantara. Beberapa tokoh besar dan bersejarah pernah berada dalam dalam ormas SI dan dibawah didikan HOS Tjokroaminoto, sebut saja Soekarno, Kartosuwiryo, Muso dan lain sebagainnya.
Dimana Soekarno dikenal sebagai tokoh nasionalisme dengan mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1920-an dan Proklamator RI 1945 serta Presiden RI pertama, kemudian Munawar Muso dikenal sebagai pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1920-an dan dalang pemberontakan Madiun 1948. Kemudian, Kartosuwiryo melegenda sebagai pimpinan DI/TII. Kemudian pasca kemerdekaan, Islam Politik di Indonesia sudah ada pada saat berdirinya Masyumi—partai politik Islam terbesar diawal kemerdekaan.
Dalam konteks kekinian, dimana selama pillres 2014 dan 2019 yaitu menjadi suatu pertanyaan mendasar adalah ketika Prabowo (Gerindra) memainkan peran penting dan bergabung dalam kelompok Islam politik, tentu jawaban pragmatisnya adalah bergaining position dan menguatnya kekuatan Islam Politik di Indonesia. Ibarat minyak dan air, Gerindra (Prabowo) umpama minyak yang dipaksakan bersatu dengan air “Islam Politik” tentu dengan mudah akan terpisah, walaupun dengan paksa untuk disatukan.
Menurut hemat penulis, saat ini ada beberapa indikasi dan faktor kebangkitan Islam Politik di Indonesia. Pertama, kesadaran umat Islam untuk ikut berpolitik. Sejarah mengukir bahwa keterlibatan Islam politik dalam mempengaruhi pra-pasca kemerdekaan Indonesia. Sejak berdirinya bangsa Indonesia kehadiran Islam Politik “Masyumi” sudah sangat kentara—walaupun Partai NU juga pernah berdiri, Masyumi dibubarkan dan menjadi parpol terlarang oleh Soekarno pada dekrit 5 Juli 1959.
Begitu juga di masa Orde Baru, kehadiran Islam politik sangat dikekang dan termarginalkan. Penerapan azas tunggal pada tahun 1985, mengharuskan seluruh ormas dan orpol Islam menjadikan pancasila sebagai ideologi bersama. Belakangan, kehadiran Islam politik dan tentunya menunjukkan kesadaran umat Islam akan politik bisa menjadi solusi keberlangsungan dan keberadaan Islam politik.
Kedua, pengaruh politik regional dan global. Terjadinya kebangkitan Islam politik di tingkat regional maupun internasional menjadi spirit tersendiri bagi gerakan Islam politik di Indonesia, seperti kehadiran ormas Islam seperti FPI dan parpol PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang mempunyai misi dalam mempolitikkan Islam, mengIslamkan politik di tengah-tengah masyarakat Indonesia—tanpa mengenyampingkan PBB, PPP, PKB, dan PAN.
Ketiga, kriminalisasi ulama dan marginalisasi kaum mayoritas Umat Islam. Fenomena belakangan kerapkali terjadinya kriminalisasi terhadap para ulama, seperti penetapan tersangka terhadap Habieb Rizieq Shihab, Bachtiar Natsir dan lainnya. Kemudian gerakan marginalisasi terhadap umat Islam sepertinya massif di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti pelarangan azan menggunakan microfon dan pembakaran terhadap masjid di Tolikora serta pelecehan Ahok terhadap kitab suci Al-Qur’an menjadi sebagahian contoh yang menjadi pemantik tersendiri akan kebangkitan Islam Politik. Karena dengan politiklah yang akan menghentikan upaya marginalisasi dan kriminalisasi ulama, artinya menjadi penting bagi Islam Politik dalam perebutan kekuasaan secara konstitusional di pilkada, pileg dan pilpres.
Keempat, pengaruh gelombang gerakan 411, 212 dan kemenangan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tahun 2017. Bermula dari kasus ujaran pelecehan terhadap kitab suci umat Islam yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menimbulkan gelombang protes umat Islam seperti tergabung dalam GNPF (Gerakan Nasional Pengawal Fatwa) MUI yaitu GNPF MUI 4 November 2017 “Gerakan 411” atau GNPF MUI 2 Desember 2017 “gerakan 212” sangat fenomenal dengan menghadirkan sekitar 7 jt Umat Islam dari pelosok Indonesia datang ke Jakarta untuk melaksanakan aksi damai sholat jum’at dan do’a “keselamatan bangsa dan negara” bersama di silang monas dan sekitarnya.
Kelima, indikasi bangkitnya komunisme dan arah kebijakan pemerintah pro RRC. Kegagalan pemberontakan PKI di Indonesia meninggalkan trauma yang sangat mengerikan bagi bangsa Indonesia. Sehingga kehadiran PKI sangat tidak relevan dan bertentangan dengan sila pertama Pancasilia yaitu ketuhanan YME, artinya setiap warga negara Indonesia berhak dan wajib memiliki salah satu agama yang ada di Indonesia. Sedangkan salah satu dari ajaran komunisme yaitu atheisme (tidak beragama). Kebijakan pemerintah saat ini lebih berkiblat dan pro terhadap Republik Rakyat Cina (RRC) yang notabene bagian dari negara komunisme, menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya pengaruh kebangkitan Komunisme di Indonesia.
Setidaknya lima poin diatas bisa memberikan analisa bahwa kebangkitan Islam politik di Indonesia sudah mulai terasa. Sejak pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu, Islam Politik mulai memainkan peran politiknya dalam memenangkan calon gubernur yang memiliki kesamaan visi dan misi dengan umat Islam. Begitu juga pada pilpres 2019, Islam politik mengambil bagian melalui Ijtima’ ulama memberi dukungan terhadap pasangan Prabowo-Sandi. Walaupun dalam pilpres 2019, Islam Politik yang dimotori PA 212 dan GNPF MUI serta beberapa parpol yang mempunyai kedekatan dengan Islam Politik mengalami pil pahit kekalahan. Selanjutnya, kedepan kita tunggu kiprah dan gerakan Islam Politik di Indonesia.
Penulis: Andriadi Achmad, Dosen FISIP UPN Veteran Jakarta – Direktur Eksekutif Nusantara Institute. PolCom SRC (Political Communication Studies and Research Center)