Oleh: Umair Fahmidin, Lc., Dipl )*
Sebuah adagium yang masyhur menyebutkan, “Alqur’an diturunkan di Makkah dan Madinah (Hjaz), dicetak di Beirut, dan dilantunkan di Mesir.”
Tidak salah, sebab menghafal Alqur’an sudah menjadi tradisi bagi sebagian besar masyarakat Mesir. Hampir bisa dipastikan setiap imam masjid yang tersebar di Mesir adalah seorang hafiz (penghafal Alqur’an). Sebutlah nama-nama seperti, Syaikh Khalil al-Khosori, Syaikh Minsyawi, Syaikh Abdul Basit Abdushomad. Mereka adalah para qari-qari legendaris dunia asal Mesir.
Syaikh Khalil al-Khosori adalah qari pertama yang merekam murattal Alqur’an 30 juz. Sampai hari ini kita masih bisa menikmati tilawahnya melalui YouTube. Qari lulusan Al-Azhar ini menyelesaikan hafalan Alqur’an di usia 8 tahun. Kemampuannya menguasai ilmu Alqur’an dan suaranya yang indah mengantarkannya menjadi qari’ international pada pembukaan Muktamar Islami yang pertama di India tahun 1960, yang dihadiri Presiden Gamal Abdu Nasr (Mesir) dan Jawaharlal Nehru (India).
Banyaknya para penghafal Alqur’an di negeri para Nabi ini bukan suatu yang aneh, tersebab Universitas Al Azhar mensyaratkan mahasiswa S1 asal Mesir wajib hafal dan lulus ujian Alqur’an 30 juz untuk mendapat gelar sarjananya. Mereka dituntut menghafal Alqur’an 7,5 juz setiap tahun. Artinya dalam 4 tahun harus selesai 30 juz. Target ini tidaklah sulit, mengingat mayoritas sudah hafal 30 juz sebelum masuk jenjang perkuliahan.
“Dalam sehari, saya murajaah 2-3 juz,” ujar Abdullah, seorang mahasiswa Al Azhar yang juga kawan saya. Sehari-hari, sering saya menjumpainya berjalan sambil memegang mushaf kecil dan mulutnya komat-kamit melantunkan ayat-ayat Alqur’an dengan suara lirih. Baginya, Alqur’an bukan sekadar dihafal, namun telah menjadi nafas kehidupan.
Untuk menjaga kualitas, sistem ujian Alqur’an di Al Azhar tidak terbatas ujian lisan saja, namun juga tulisan. Banyak ayat Alquran yang strukturnya mirip, yang dikenal dengan istilah Mutasyabih. Pada bagian ini seorang penghafal Alqur’an akan diuji ketelitian dan kekuatan hafalanya. Kalau ujian lisan saja masih sering tertukar, bagaimana dengan ujian tulisannya?
Lembaga Majma’ al-Buhust al-Islamiyah
Suara lantunan Alqur’an yang dibaca di hadapan para Masyayikh adalah pemandangan sehari-hari di sudut-sudut Masjid Al-Azhar. Sebagai institusi pendidikan Islam internasional, Al Azhar mempunyai sumbangsih besar dalam upaya menghidupkan halaqah tahfid Alqur’an.
Perhatian tak hanya diberikan kepada para penghafal Alqur’an. Namun juga pada pengajarnya. Al-Azhar mempunyai sistem yang khas untuk menjaga kualitas melalui ujian khusus bagi para pengajar Alqur’an. Kita mengenal istilah sanad/rantai keilmuan, sehingga rantai ilmu itu mempunyai silsilah yang jelas. Hubungan guru dan murid akan tampak melalui sanad ini. Begitu pun sanad dalam Alqur’an. Hebatnya, salah seorang pemegang sanad tertinggi di Mesir adalah perempuan, Syaikhoh Nafisah.
Tak hanya kualitas hafalan para pengajarnya, institusi pendidikan terhormat ini juga sangat perhatian dalam menyempurnakan penulisan mushaf Alqur’an Sebuah lembaga bernama Majma’ al-Buhust al-Islamiyah didirikan untuk kepentingan tersebut di tahun 1961. Di dalamnya terhimpun para ulama pakar Alqur’an. Mereka terus mengkaji agar mushaf Alqur’an yang beredar saat ini mudah dipelajari oleh umat Islam di seluruh dunia.
Di antara para ulama itu tersebutlah nama Syaikh Adh-Dhabba, Syaikh Kholil Al-Khushori, Syaikh Mahmoud Tantawi. Merekalah yang punya peran besar dalam penyempurnaan tulisan Alqur’an di masanya.
Dr. Nadhir Ayyad, Sekjen Majma’ al-Buhust al-Islamiyah mengungkapkan bahwa kehadiran lembaganya telah mencegah peredaran mushaf-mushaf yang salah cetak, karena itu berimplikasi buruk untuk ummat.
Di Mesir ada kebiasaan baik yang masih lestari hingga kini. Libur musim panas yang berlangsung selama 4 bulan seperti sekarang ini dimanfaatkan orangtua dengan mengirimkan anaknya ke rumah-rumah tahfidz atau Syaikh untuk belajar dan menghafal Alqur’an.
Ada pemandangan mengharukan yang saya saksikan. Seorang anak kecil berumur 10 tahun tengah berlari dengan riang ke rumah tahfidz sambil menenteng mushaf Alqur’an yang lebih besar dari ukuran tangannya. Meski terlihat repot dengan bawaannya, tapi ia gembira.
Hafalan Alqur’an harus terus dijaga, supaya tidak hilang dari ingatan. “Yah, begitulah,” jawab seorang supir angkutan umum dengan ekspresi malu yang mengaku alumnus Universitas Al Azhar, Kairo, saat ditanya, “Apakah masih mengulang-ulang (murajaah) Alqur’an yang dihafal?”
Ramainya berita santri yang menutup telinga karena terdengar musik saat mengantre vaksin harusnya membuka mata kita bahwa menjadi penghafal Alqur’an itu tidak mudah. Butuh pengorbanan dan kesungguhan. Penghafal Alqur’an harus terus menjaga hafalannya dengan murajaah dan menjauhkan dari hal-hal yang melalaikan. Bagi lembaga atau institusi harus menjaga kualitas pengajar, mentashih Alqur’an berdasarkan riwayat yang mutawatir dan sesuai kaidah, dan lain-lain. Bagi orang yang ada di sekitar, hendaknya mereka menghormati apa yang menjadi prinsip para penghafal Alqur’an tanpa melukainya.
)*Ketua Umum PCIM Mesir 2020-2022, Mahasiswa S2 Tafsir, Universitas Al-Azhar, Kairo.