31.7 C
Jakarta

Novelet _ Bintang d atas Langit Al Azhar ( 6 )

Baca Juga:

#6 – BANGUN, TIDUR LAGI.

Ini penyakit baru Rohman. Bangun tidur, kemudian tidur lagi. Meski hanya sebentar ternyata sangat mempengaruhi rtime hidup kami sekeluarga. Bagaimana tidak, yang taadinya waktu bisa digunakan untuk mandi pagi, sarapan. Maka untuk tidur.
“Cuma bentar kok,” katanya sambil menarik selimut merahnya. Matanya nampak sembab. Merah. Sayu.
“Soalnya kamar mandinya untuk gantian mandi, Mas. Yuk. Habis subuh kok tidur lagi. Gak bagus. Nanti lemas badannya,” sambil aku tarik-tarrk selimutnya. Jawabnya mulai kacau. Rancu. Gak jelas dan gak beraturan. Antara sadar dan tidak. Aku tinggalkan . Namun pikiranku tetap pada Rohman. Kenapa belakangan suka, tidur lagi jelang berangkat sekolah.
Aku segera menarik kakaknya untuk aku mandikan. Mandiri, atau mandi sendiri, kakaknya belum bisa tuntas. Meski usianya sudah menyentuh angka 25, lebih dari dewasa, namun karena “kelebihan”nya Fauzan, kakak Rohman ini, lebih banyak diladeni.
Pernah mandi sendiri, karena aku repot banget. Selesai pakai sabun dia keluar. dengan mengatakan : Sudah. Masih Telanjang.
Aku maklumi. Down Syndrom menyebabkan perkembangan IQ dan fisiknya lambat. Kami menerimanya. Cukup 5-7 menit untuk memandikan  Fauzan. Relatif bersih dan tidak banyak protes, dari semua prosesi mandi, yang paling dia suka adalah gosok gigi. Dia bisa sendiri, dan jika dibiarkan bisa lama. Berpuluh-puluh menit.
Selesai mandikan kakaknya. aku lihat di kamar Rohman, aku julurkan leherku panjang-panjang, untuk melihat apakah sudah ada kehidupan di kamar itu. Ternyata masih senyap. Tidur pulas. Janjinya sebentar, namun nyatanya lama. Jarum jam pukul 06.08. Aku tarik selimutnya kuat-kuat sambil mengatakan : Yuk mandi. Agar tidak terlambat sekolah.
Masih malas bangun. Aku angkat lehernya kuat. Tangannya menepiskan tanganku.
“Aku bisa sendiri,” jawabnya.
“Bangun..” kataku
“Nanti..:
“Sekarang..”
“Nanti…”
“Sekarang…”
Kami berebut selimut. dengan sengit, Tiba-tiba ibunya muncul dibalik pintu. “Ayo, mau sekolah jam berapa, le,” katanya.
Mendengar suara ibunya, tarikan selimut dikendorkannya. Sejurus kemudian melangkah ke kamar mandi yang tidak jauh dari kamr tidurnya. Memang selama ini aku lihat Rohman lebih segan dengan ibunya dari pada dengan aku, bapaknya. Aku iri. Aku mencoba mencari tahu penyebabnya. Apa karena aku terlalu lembek. terlalu sayang, terlalu membiarkan?
“Bapak itu jarang mengajak dialog sama anak. Bapak lebih banyak memerintah ini, itu,” kata istri saat sore hari. Sambil membawakan teh hangat dan pisang godog hasil panen kebun barat rumah. Aku tersadar.
“Aku lebih banyak menuntut? Aku lebh banyak memerintah ke anak?”
“Iya. Tolong dikurangi itu, Rohman sudah besar pak.” jawab Istri. ( bersambung )

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!