Kahlil Gibran, seniman terkenal asal Timur Tengah, yang buku sastra Arab modern karyanya diterbitkan dan terkenal di Amerika Serikat (AS). The Prophet yang terbit pada 1923 menjadi karya yang membuat dia terkenal di berbagai penjuru dunia beberapa dekade berikutnya. Dia perah berujar, bahwa anak kita “bukan” milik kita, anak kita milik jamannya. Artinya, tantangan anak kita berbeda dengan jaman orang tuanya. Lebih keras. Statemen Kahlil Gibran ini tentu mengajarkan kepada kita untuk mendidik anak lebih keras, sesuai jamannya.
Rohman pagi itu sudah asyik dengan motornya. Mencuci, lap, semprot, pasang lampu, lepas yang lain. Begitu saja, muter-muter. Kesukaan barunya? Mungkin iya. Soal motor barunya. Selain HP, Rohman punya kegemaran baru terhadap motor. Aku atau kami belikan motor second, sebenarnya dilematis. Karena antar jemput sekolah setiap hari ternyata capek juga. Jarak 23 KM setiap pagi dan siang membuat pinggang panas, pegel.
“Motor tapi second ya Mas?” aku memberikan pilihan. Belikan motor tapi tidak baru.
“Tapi aku yang milih, Pak,”
“Boleh, tapi gak boleh yang aneh-aneh dan yang penting lagi harga terjangkau,” jawabku. Tanpa harus memerinci berapa beban bea yang harus disiapkan per bulan untuk belanja harian. Inginnya anak tidak usah terlalu direcoki dengan urusan keluarga, terlebih hal keuangan.
Seminggu aman. Masih nampak tertib dan lihat itu nyaman. Semua asesori masih terpasang ditempatnya. Namun tidak lebih dari sepuluh hari, pulang sekolah aku dikagetkan dengan suara knalpot brong…Pikirku awal milik teman sekolah Rohman. Setelah aku lihat, knalpot motornya juga sudah diganti. Bukan yang standar aslinya. Namun hasil modif, atau pinjam temannya, aku belum menanyakan. Khawatir baru pulang sekolah, capek kalau aku hujani pertanyaan yang sifatnya menghakimi. Aku tahan. Habis Isya nanti aku ingin cari tahu jawab kenapa knalpotnya sudah mulai diganti. Satu lagi plat nomor depan juga dilepas. Uh, gigi geraham ini sudah berderit-derit. Tanganku tidak terasa mengepal kuat. Terutama yang kanan. Untuk memuntahkan emosi, sambil membaca taawudz aku tinju pohon pisang barat rumah. Buk-buk..Akupun mengaduh. Meringis kesakitan. Aku lihat batang pisang itu memar. Kehitaman. Tidak lama berselang seperti gerakan orang ruku dan sujud. Rubuh.
Pagi masih gelap. Sesekali terdengar kokok ayam berbunyi. Tidak seperti dulu, kokok ayam sesautan. Mungkin karena pagi mulai nampak atau sebab lain, masyarakat juga mulai jarang yang mempunyai ayam jago. Aku tengok jam di HP. 04.46 setelah banyak pekerjaan aku selesaikan. Dari Bangun : mandi, subuh berjamaah di masjid kampung, taddarrus 1 ruku’, menyapu halaman depan belakang. Aku tengok kamar Rohman. Masya Allah. Mulutku sesaat tercekat. Melihat tubuhnya masih melingkar, selimut gak beraturan. HP masih hidup. Kuat dugaan dia tertidur sampai larut.
Padahal sebelum subuh sudah aku bangunkan. Bilang kalau mau menyusul. Emosi sesaat. Tapi masih bisa aku tahan.
“Yuk, bangun subuh,” kataku mulai meninggi.
“Nanti..”
“Sudah jam 5” mulai aku tarik-tarik tubuhnya.
“Nanti, tho pak…”jawabnya malas-malasan
Emosi mulai naik. Aku ambil sapu lidi, aku pukul pantatnya. Mulai bergerak. Bangun.
“Subuh….”
“Iya..iyea…” sejurus kemudian dia berlari ke kamar mandi. Aku tinggalkan. Terdengar suara air gemericik tanda ia sedang mengambil air wudhu.
Usai wudhu dan melempar handuk putih sekenanya. Sembari melempar pandangan setengah hati Rohman bergumam:
“Bapak keras sekarang,”
” Kalau untuk ukuran dan urusan Sholat, maaf bapak ibu keras mas. Semuanya untuk kita. Kalo sebatas kamu tidak bisa mengikuti pelajaran A disekolah, bapak masih maklum. Tapi kalau sudah mulai menyepelekan sholat. Ditandai dengan menunda waktu sholat. Bapak ibu keras. Mungkin lebih tepatnya tegas. ” Kataku. Sambil menggandeng kakaknya, Fauzan yang aku segera mandikan pagi itu. Kamar mandi hanya satu maka kami sepakat untuk antri
” Di pondok tidak pernah dipukul, paling kalo belum bangun yang dipukul hanya pintunya, tapi kan bapak sudah tubuh. Meski pantat.” katanya agak sengit.
“Berbagai cara bpk lakukan agar kamu bangun lho..dari yang ringan, lembut, menengah, alarm dibesarkan, pintu bapak pukul-pukul.. sampai itu tahap terakhir pukul pantat,” kataku tak mau kalah.
“Jadi bapak sudah mukulin pintu kamar?”
“Gak terhitung jumlahnya. Tapi kamu gak bergerak. Sampai bapak bangunkan dg ditarik. Tubuh aku sandarkan di tubuh bapak..begitu bapak geser, tidur lagi,”
“Kok gak denger ya?”
“Itulah, tubuhmu capek. Matamu lelah. Tidur larut gak bagus buat kesehatan mas. Jika itu dilakukan terus menerus…” Kataku menasehati bak dokter kepada pasiennya.
Usai sholat subuh kesiangan pagi itu. Dia mandi. Sarapan sudah disiapkan ibunya tinggal masukkan ke mulutnya. Itu saja kadang masih minta disuapi. Allahu Akbar.
Sudah SMA lho.
“Gak papa. Kalau makan sendiri lama”
Ibunya yang kadang tidak tega, akhirnya disuapi juga…hmm ( bersambung )