JAKARTA, MENARA62.COM–Di sebuah kamar mandi yang bertabir kaca transparan, seorang wanita muda tengah berbicara dengan dirinya sendiri. Ia mengaku sebagai Mawar dan nama itu sebagai nama samaran, katanya. Ia berbicara tentang siapa dan apa yang ia kerjakan. Dengan nada yang sedikit emosi, ia lantangkan suaranya sembari tertawa bahwa ia bekerja sebagai wanita yang menjajakan tubuhnya pada pria hidung belang.
Pada waktu yang sama, seorang wanita lain dan seorang laki-laki tengah mencari dirinya yang mereka anggap telah rusak oleh keganasan zaman. Suara-suara mereka melaung mencari sesosok yang telah mereka anggap berarti. Mereka mencari kehidupannya yang telah dirampas oleh kejamnya zaman yang semakin menggilas etika. Ada yang mencari kehidupannya lewat tubuhnya yang molek. Ada yang mencari kehidupannya dengan berteriak memanggil ibu. Hingga akhirnya, mereka sadar yang mereka cari hanya sebuah bayang-bayang hidup yang melekat pada diri mereka. Itulah sebuah pentas Octopus di gedung Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Senin malam, (14/08/2017).
Octopus adalah sebuah naskah yang ditulis dan disutradarai oleh Acep S. Martin lewat Teater Poros. Pentas Octopus ini merupakan sebuah program Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta yang termasuk dalam Djakarta Teater Paltform. Program ini berusaha menjawab anggapan bahwa, kehidupan teater di Jakarta terpuruk sejak awal 2000-an dan kondisi teater di Indonesia yang stagnan.
Octopus adalah representasi dari kasus-kasus kekerasan yang telah menggurita di Indonesia. Dipentaskan oleh Teater Poros yang berdiri pada 31 Oktober 1990. Teater ini tumbuh dan berkembang di kawasan padat sekitar Senen, Cempaka Putih, dan Kemayoran, Jakarta Pusat. Octopus menawarkan kepada penonton sesuatu yang baru. Selain berangkat dari riset, naskah juga berasal dari elaborasi antara riset dengan kefasihan biografis masing-masing aktor, serta teks dan alur pertunjukan yang tak lagi liniar.