Oleh: Andriadi Achmad*
Teori pilihan publik melihat aktor-aktor individu sebagai pusat kajian, entah mereka itu sebagai anggota partai politik, kelompok-kelompok kepentingan, atau birokrasi; baik yang berkuasa karena dipilih maupun ditunjuk (Caporaso dan Levine, 1992:134). Teori pilihan publik ini mendeskripsikan bahwa “secara tipikal ahli ekonomi politik melihat politik dalam wujud demokrasi, yang memberikan ruang untuk saling melakukan pertukaran di antara masyarakat, partai politik, pemerintah, dan birokrat. Dalam konteks itu, masyarakat pemilih diposisikan sebagai pembeli barang-barang kolektif (publik), sementara pemerintah dan partai politik dipertimbangkan sebagai alternatif penyedia kebijakan publik (barang dan jasa) sehingga dalam jangka panjang mereka bisa memungut dukungan dari pemilihan umum (Mitchell, seperti dikutip Rachbini, 2002:86). Singkatan, dalam proses semacam itu, setiap formulasi kebijakan dan dukungan dianggap sebagai proses distribusi nisbah ekonomi melalui pasar politik.
Terlepas dari sejarah teori ekonomi politik yang rumit, pendekatan ekonomi politik sendiri secara definitif dimaknai sebagai interrelasi di antara aspek, proses, dan institusi politik dengan kegiatan ekonomi (produksi, investasi, penciptaan harga, konsumsi, dan lain sebagainya) [Caporaso dan Levine, 1992:31]. Mengacu pada definisi tersebut, pendekatan ekonomi politik mengaitkan seluruh penyelenggaraan politik, baik yang menyangkut aspek, proses, maupun kelembagaan dengan kegitan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat maupun yang diintrodusir oleh pemerintah. Harus juga dipahami bahwa pendekatan ini meletakkan bidang politik subordinat terhadap ekonomi. Artinya instrumen-instrumen ekonomi seperti mekanisme pasar, harga, dan investasi dianalisis dengan mempergunakan pengaturan sistem politik dimana kebijakan atau peristiwa ekonomi tersebut terjadi. Dengan kata lain pendekatan ini melihat bahwa ekonomi sebagai cara untuk melakukan tindakan, sedangkan politik menyediakan ruang bagi tindakan tersebut
Keputusan rezim Jokowi-Ma’ruf membuat payung hukum UU Cipta Kerja atau Omnibus Law cilaka (Cipta Lapangan Kerja) hendaknya dipahami sebagai sikap kepatuhan terhadap kepentingan pasar bebas atau neoliberalisme. Eksplisit, sikap itu terefleksi dalam pernyataan presiden di pelbagai kesempatan, bahwa perkembangan pasar yang begitu dinamis, mengharuskan para pemangku kebijakan mengambil keputusan-keputusan kepentingan yang cepat. Hal itu hanya dimungkinkan manakala problem obesitas regulasi yang tumpang tindih, segera diatasi lewat kebijakan omnibus law.
UU Omnibus Law dibuat dalam rangka merampingkan, menyederhanakan dan menghapus regulasi setingkat UU guna menarik investasi sebesar-besarnya demi terbukanya lapangan pekerjaan. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi nasional dapat meningkat. Betapapun agenda ini sangat problematik. Bila berkaca pada kebijakan Jokowi sebelumnya, tak jarang kebijakan yang dibuat berujung pada pengebirian hak-hak warga negara.
Kolaborasi Pemerintah dan Pemodal
Mega proyek pembangunan infrastruktur yang tertuang dalam RPJMN yang berkontribusi terhadap perampasan dan penjarahan atas ruang-ruang hidup. Belum lagi, kasus pemberian izin konsesi lahan pertambangan dan perkebunan kerap mendorong pemangku kebijakan melakukan alih fungsi lahan. Ini belum termasuk kebijakan tax amnesty dan subsidi lain bagi kelas kapitalis. Terlampau banyak kasus di mana kebijakan rezim mencederai rasa keadilan, mulai dari masalah sosial, politik, ekonomi dan hukum hingga ekologis.
Keistimewaan yang diperoleh pemodal semasa pemerintahan Jokowi dan rezim terdahulu, tentunya mencerminkan keberpihakan negara hanya semata-mata untuk kepentingan kapital. Kondisi negara yang semacam itu sudah jauh-jauh hari diingatkan oleh pemikir Marxis, Rosa Luxemburg. Menurutnya, manakala politik kenegaraan dimenangkan faksi kapitalis, maka sudah barang tentu negara akan menjelma menjadi negara kapitalis. Maka tak heran tatkala mereka berkuasa, hak-hak kelompok seperti buruh, petani, nelayan, dan lainnya diabaikan begitu saja. Realitas ini baik itu masa Orde Baru hingga Orde Reformasi—khususnya rezim Jokowi.
Dengan keberpihakan pemerintah pada kepentingan pemodal yang dipertontonkan secara telanjang, segala tawaran atau solusi pemerintah kepada kelompok yang kepentingan ekonomi politiknya termarginalkan merupakan bentuk pembodohan belaka. Protes para tenaga kerja yang menolak omnibus law cilaka, bukan semata-mata karena kurangnya transparansi dan “tertutupnya” ruang partisipasi, tetapi perselingkuhan bisnis-politik telah melahirkan keputusan destruktif bagi kepentingan para tenaga kerja. UU Omnibus yang mengamputasi kepentingan para pekerja hendak disiasati dengan jalan kompromi atau dialog.
Sejak omnibus law menjadi prioritas rezim Jokowi, pemerintah rupanya lebih menghendaki keterlibatan pengusaha ketimbang para pekerja (buruh). Tidak begitu mengherankan bila UU ini memiliki legitimasi di kalangan pengusaha. Akan tetapi, nir legitimasi di kalangan pekerja.
Menolak untuk Kompromi
Sosiolog asal Jerman, Ulrich Beck, pernah berkata bila dalam iklim globalisasi membuat tidak ada lagi kepastian dalam hal kerja. Ketidakpastian ini bukan saja menimpa kelas bawah, tapi kalangan profesional turut terkena imbasnya. Tidak ada jaminan bagi pekerja yang produktif dan patuh akan selamanya dipertahankan oleh pemodal. Manakala iklim bisnis terjadi masalah seperti krisis, semisal, pemodal hanya punya dua pilihan: mempertahankan para pekerja atau memecatnya. Dengan demikian, kapitalisme sudah tak memberlakukan “kerja seumur hidup” hingga pensiun.
Seperti Beck, Anthony Giddens (1991: 70-78) juga memperingatkan bahwa dalam abad globalisasi negara tidak mungkin menyelesaikan seluruh persoalan. Meski begitu, bukan berarti seluru persoalan harus diserahkan pada pasar. Pasar sendiri punya problem mendasar yang terkait dengan urusan-urusan sosial-ekologis. Artinya, negara sudah tidak jadi pusat kedaulatan, tetapi sudah bergeser.
Omnibus law pada dasarnya mencerminkan hal itu. Negara dalam abad globalisasi, seperti ditandaskan Giddens, harus fleksibel dan cepat bereaksi, persis seperti yang dilakukan oleh para pengusaha atau pelaku bisnis. Pada titik ini, tentunya para pekerja akan dihadapkan akan ancaman bahaya dan risiko. Beck menyebut bahaya sebagai sesuatu yang tak dapat dikontrol, sedangkan risiko adalah bahaya yang dapat dikontrol. UU Omnibus dalam pandangan ini tak hanya potensial melahirkan risiko, tetapi juga bahaya.
Destruktifnya kebijakan tersebut tidak dapat diatasi dengan cara kompromi: masing-masing pihak duduk bersama, membahas kepentingan kedua belah pihak agar ditemukan solusi yang tak saling merugikan antara satu dengan yang lain. Sebaliknya, solidaritas adalah kunci bagi para pekerja dalam membangun perjuangan dalam mencapai cita-cita yaitu menolak bahkan membatalkan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law CILAKA.
*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Politik FISIP UI