DUBAI, MENARA62.COM — Di seluruh dunia Arab, semakin banyak warga negara tidak setuju dengan “penggunaan agama untuk kepentingan politikā. Demikian hasil jajak pendapat YouGov yang digagas media Arab News baru-baru ini.
Sebagai bagian dari kemitraannya dengan Forum Strategi Arab, Arab News menugaskan survei pandangan dan keprihatinan orang Arab hari ini dan proyeksi mereka untuk masa depan kawasannya. Sebanyak 3.079 penutur bahasa Arab disurvei, berusia 18 tahun ke atas dan tinggal di 18 negara di Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 43 persen sangat tidak setuju dengan “penggunaan agama untuk keuntungan politikā, sementara 15 persen “agak tidak setujuā. Sebaliknya, 7 persen sangat setuju dan 8 persen “agak setujuā, 14 persen lainnya “tidak setuju atau tidak setuju” dengan “penggunaan agama untuk keuntungan politikā.
Namun, secara rata-rata (58 persen), hasil jajak pendapat itu jelas menentang. “Kasus-kasus Lebanon dan Irak menunjukkan serangkaian anti-sektarianisme daripada anti-agama semata,” kata Dr Albadr Al-Shateri, profesor politik di National Defense College, Abu Dhabi.
Ia menyebutkan, keyakinan agama sangat melekat dalam masyarakat Arab, sehingga munculnya sekularisme gaya Barat diragukan. Bahkan, negara paling sekuler di Timur Tengah, yaitu Turki, ternyata memiliki kecenderungan keagamaan ketika memilih dalam partai Islam ālebih dari satu dekade laluā.
āSelama orang memiliki sedikit kepercayaan pada institusi politik, mereka akan kembali ke institusi sosial utama mereka, terutama agama, keluarga dan suku,ā kata Al-Shateri kepada Arab News.
Sudah Berakhir
Abdulkhaleq Abdulla, mantan ketua Dewan Arab untuk Ilmu Sosial, mengatakan bahwa temuan YouGov menunjukkan bahwa hari-hari menggunakan agama untuk kepentingan politik sudah berakhir. “Kami melihat semakin banyak kesadaran bahwa partai-partai politik berbasis agama tidak begitu tulus dalam penyampaian agama mereka,” katanya kepada Arab News.
“Orang-orang menjadi sadar bahwa mereka yang mengajarkan kebebasan, kesetaraan, demokrasi, dan pemberdayaan perempuan menggunakan wacana agama tidak lagi bisa dipercaya,” imbuh Abdulla.
Angka-angka signifikan tidak setuju dengan kondisi penggunaan agama utuk alat politik. Atas hal ini, hasil jajak pendpat menunjukkan, di Irak dan Kuwait (74 persen), serta di Lebanon (73 persen), Libya (75 persen), Sudan (79 persen), serta Suriah dan Yaman (71 persen).
“Pada akhirnya, ini adalah masalah kredibilitas politisi,” kata Nadim Shehadi, seorang associate fellow di Chatham House, seraya menambahkan bahwa “kredibilitas institusi politik sedang menurun secara global karena mereka gagal memberikannya (yang ideal)ā.
Dia mengatakan bahwa secara umum ada anggapan global bahwa lembaga-lembaga politik itu korup dan tidak kredibel. Lalu, eksploitasi agama tidak lagi menggerakkan generasi muda karena mereka memiliki keprihatinan yang berbeda.
“Mereka berada di planet yang berbeda dari politisi. Politisi sedang menangani masalah yang sangat berbeda dari apa yang menjadi perhatian generasi baru,” tutur Shehadi.
Dengan kerusuhan yang berlanjut di beberapa negara Arab, termasuk Irak dan Lebanon, Abdulla melihatnya sebagai putaran kedua dari apa yang disebut Musim Semi Arab. Yang kali ini juga mencekam Aljazair dan Sudan.
Kini, Al-Shateri kembali mengatakan, masa depan akan tergantung pada bagaimana pemerintah dan masyarakat menanggapi tuntutan kaum muda. āWilayah (Arab) ini menghadapi banyak masalah. Namun, penyebab mendasarnya adalah kurangnya tata kelola (pemerintahan) yang baik,ā ujarnya.
Ia mengemukakan, konsep pemerintahan yang baik memiliki asal-usulnya dalam tradisi Arab dan Islam. Namun, Lebanon, Aljazair, Iran, dan Irak adalah contoh negara-negara yang gagal menyediakan kondisi tersebut. Hal sama terjadi di Tunisia, Mesir, Yaman, dan Suriah ketika pemberontakan Musim Semi Arab dimulai pada 2011.
Jika negara-negara kawasan mencapai tata pemerintahan yang baik, Al-Shateri mengharapkan banyak perbaikan dalam masyarakat, ekonomi, dan manajemen. Jika tidak, wilayah Arab akan merana dalam keterbelakangan, keterbelakangan, dan konflik.