25 C
Jakarta

Padi Mutasi Radiasi Nuklir, Swasembada Beras Tak Sekadar Mimpi

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Ketahanan pangan merupakan kondisi yang dibutuhkan seiring kemajuan peradaban manusia. Tahun 2000 bumi hanya dihuni oleh sekitar 6 miliar manusia. Tetapi angka tersebut diprediksi melonjak menjadi 9 miliar pada 2050.

Isu yang melekat dengan meningkatnya jumlah populasi penduduk dunia adalah ketersediaan pangan. Semua negara terus berupaya menemukan sumber-sumber pangan untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduknya, termasuk Indonesia. Negara dengan 280 juta jiwa tersebut kini juga disibukkan dengan pencarian sumber pangan baru meski Indonesia menjadi negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah.

Mengapa dengan sumber daya alam yang melimpah Indonesia harus terlibat dalam kegelisahan pangan global? Sejatinya negara dengan kekayaan alam yang berlimpah sekalipun, sudah menyadari bahwa suatu saat kekayaan alam akan habis. Begitu juga Indonesia, sumber daya alam yang melimpah, jika hanya diolah dengan cara-cara yang biasa, tentu pada saatnya akan habis.

Selain itu, persoalan pangan masa depan juga harus menghadapi fakta terkait makin berkurangnya luas lahan pertanian dan adanya perubahan iklim yang berimbas pada munculnya kekeringan akibat perubahan temperatur dan kelembaban tanah.

Karena itu, pembangunan sektor pangan di Indonesia tidak cukup dilakukan dengan pengelolaan pangan secara konvensional. Pemanfaatan teknologi dan inovasi harus terus dipacu agar pangan masa depan dapat memenuhi kebutuhan semua penduduk. Teknologi dan inovasi yang dimaksud tentu harus memperhitungkan berbagai faktor yang menjadi kendala pembangunan sektor pangan seperti keterbatasan lahan, perubahan iklim, munculnya hama baru dan faktor lainnya.

Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo dalam diskusi bertema Gerakan Transformasi menuju Ekonomi Pengetahuan pada pertengahan Oktober 2020 mengatakan pemanfaatan teknologi dan inovasi menjadi solusi yang harus dilakukan untuk membangun ketahanan pangan nasional. Sebab pengelolaan pangan dengan cara konvensional nyatanya hanya memberikan nilai tambah kesejahteraan yang sangat lamban.

“Ketahanan pangan di masa depan tergantung oleh pemanfaatan teknologi dan inovasi. Negara dengan teknologi dan inovasi pangan dan pertanian yang maju, berpeluang menguasai dunia,” kata Pontjo.

Bagaimana teknologi dan inovasi berpengaruh besar terhadap ketahanan pangan suatu negara, Indonesia kata Pontjo bisa belajar dari Ethiopia. Negara tersebut dulu teramat miskin dan penduduknya sering menanggung kelaparan. Tetapi dengan bantuan Israel melalui inovasi dan teknologi pertaniannya yang canggih, Ethiopia kini berubah menjadi surga pertanian dunia. Bahkan Global Food Security Index pada 2017 menempatkan negara ini pada peringkat 12 sebagai negara adidaya pertanian dan ketahanan pangan.

Demikian juga Thailand yang mengalami perkembangan luar biasa setelah pemanfaatan teknologi dan inovasi pada sektor pertanian dan pangan dilakukan secara total. Dengan komitmen Raja Thailand yang sangat tinggi untuk memajukan pertanian, kini Thailand telah mengembangkan pertanian 4.0 yang berfokus pada penerapan teknologi untuk komoditas utama dan komoditas yang memiliki nilai terpadu seperti beberapa jenis buah dan sayuran. Visi Thailand adalah Thailand kitchen of the world!

Stok beras nasional di gudang Bulog, sebagian dari impor (ist/antara)

Sedang Indonesia malah sebaliknya, terhitung sejak tahun 2000 menjadi salah satu negara pengimpor beras. Dilansir dari data Badan Pusat Statistik (BPS), selama 15 tahun pertama sejak Indonesia membuka kran impor beras tercatat total 15,39 juta ton beras sudah diimpor oleh Indonesia, dengan volume impor beras terbanyak pada tahun 2011 sebesar 2,75 juta ton, dan volume terkecil pada tahun 2005 sebesar 189.616 ton. Sejak tahun 2000 hingga 2019, diperkirakan jumlah total impor beras Indonesia mencapai lebih dari 15.89 juta ton beras dari berbagai negara seperti Vietnam, Thailand, China, India, Pakistan, dan lainnya.

“Impor beras yang sedemikian besar menjadi ironi Indonesia sebagai negara agraris,” tukas Pontjo.

Untuk menghentikan impor beras tersebut, maka pengelolaan sektor pertanian dengan memanfaatkan teknologi dan inovasi menjadi jawaban yang tepat.

Teknologi nuklir untuk pangan

Isu ketahanan pangan masa depan sejatinya tidak sekadar memanfaatkan teknologi secara fisik dibidang pangan. Perubahan iklim global yang berimbas kekeringan yang akan terjadi secara drastis akibat perubahan temperatur dan kelembaban tanah menjadi faktor yang harus diperhitungkan.

Berkaitan dengan isu perubahan iklim, para ahli terus berupaya menemukan metode pemuliaan tanaman secara modern. Fokusnya lebih kepada bagaimana benih tanaman dapat beradaptasi terhadap perubahan iklim dan hasil panen meningkat. Salah satu metode pemuliaan tanaman yang kini terus dikembangkan adalah pemuliaan dengan memanfaatkan teknologi radiasi nuklir.

Kepala Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional (PAIR-BATAN), Totti Tjiptosumirat menyebutkan pemanfaatan teknologi nuklir untuk bidang pangan, sebenarnya bukan sesuatu yang baru di Indonesia. Sudah banyak jenis tanaman pangan yang berhasil diperbaiki sifatnya melalui teknologi radiasi nuklir.

Mulai dari varietas padi, serelia, kacang tanah, kacang hijau, gandum dan kapas. Beberapa varietas padi hasil pemuliaan BATAN antara lain Atomita 1, 2, 3 dan 4, Cilosari, Weyla,  Kahayan, Yuwono, Mayang, Mira, Bestari, Pandan Putri, Inpari Sidenuk, Tropiko, Mustajab, Rojolele Srinuk, Rojolele Srinar, Lampai Sirandah dan lainnya.

Untuk varietas kedelai, BATAN telah menghasilkan varietas unggulan seperti Muria, Tengger, Meratus, Rajabasa, Mitani, Mutiara 1, 2 dan 3, Gamasugen 1 dan 2, Kemuning 1 dan 2. Selain itu BATAN juga telah menghasilkan 3 varietas sorgum, satu varietas gandum, 2 varietas kacang hijau, 1 varietas kacang tanah dan satu varietas kapas.

Tetapi meski teknologi radiasi berhasil melahirkan varietas-varietas unggulan, sikap dan pemahaman masyarakat terhadap nuklir sebagian besar masih negatif. Nuklir selalu diidentikkan dengan senjata pemusnah massal, dengan perang, bom atau senjata canggih lainnya. Padahal teknologi nuklir juga dapat dimanfaatkan untuk bidang pangan.

Salah satu benih padi dari varietas yang berhasil dikembangkan BATAN dengan memanfaatkan radiasi nuklir

“Lahirnya varietas tanaman hasil mutasi radiasi nuklir baik itu padi, kedelai, serelia, dan lainnya adalah bukti bahwa nuklir itu dapat dimanfaatkan untuk mendukung pembangunan pangan nasional. Ini menjadi tugas kita bersama untuk mengedukasi masyarakat terkait manfaat nuklir,” katanya.

Teknik mutasi radiasi untuk tanaman pangan diakui Totti tidak hanya digunakan di Indonesia. Di dunia ada lebih dari 70 negara yang telah menggunakan teknik mutasi radiasi untuk menginduksi mutasi secara aman dan meningkatkan genetika tanaman pangan. Sebut saja China, Brazil, Mesir, Jepang, Thailand, Vietnam, Amerika Serikat, Inggris, dan Rusia. Negara-negara tersebut kini telah berhasil meningkatkan hasil pertanian baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Walaupun diradiasi, para petani dan konsumen lanjut Totti tidak perlu merasa khawatir dengan keamanan pangan hasil radiasi. Karena proses radiasi ini tidak meninggalkan sisa radiasi atau zat-zat berbahaya pada bahan pangan.

“Jadi metode pemuliaan tanaman merupakan solusi pemenuhan kebutuhan pangan di masa depan,” tukasnya.

Kembangkan varietas padi

Totti mengakui pengembangan varietas padi demi terciptanya produksi yang maksimal menjadi salah satu fokus kegiatan PAIR BATAN. Alasannya karena padi merupakan tanaman pangan utama penghasil makanan pokok di negeri ini. Ketergantungan masyarakat akan beras sebagai makanan pokok, membuat tingginya permintaan beras dibandingkan komoditas pertanian lain sebagai alternatif bahan pangan seperti, jagung, singkong, sagu, serta ubi-ubian. Padahal dengan semakin berkurangnya lahan sawah garapan para petani di Indonesia membuat semakin menurunnya jumlah produksi gabah.

Akibat tingginya permintaan beras dan berkurangnya lahan sawah garapan, Indonesia yang dulu dikenal swasembada beras selama tiga periode yaitu tahun 1984, tahun 2004, dan tahun 2008, kini malah masuk dalam daftar negara pengimpor beras.

“Tugas kita sekarang adalah bagaimana mewujudkan negara ini kembali berswasembada beras. Meski ini seperti mimpi, tetapi mimpi itulah yang mesti kita wujudkan,” katanya.

Laboratorium kultur jaringan- ruang tumbuh PAIR BATAN

PAIR BATAN lanjut Totti terus berupaya menciptakan benih dengan varietas unggul sebagai bagian dari upaya BATAN ikut mewujudkan swasembada pangan. Benih dengan varietas unggul itulah saat ini yang menjadi harapan petani karena konversi lahan yang beralih fungsi di tengah ancaman anomali iklim yang tak menentu, hama, kondisi lahan, pengairan, rendahnya teknologi pasca panen, dan faktor-faktor lainnya.

“Pada Renstra 2020-2024, fokus kegiatan PAIR di bidang pertanian adalah menghasilkan varietas baru dengan produktivitas yang tinggi,” jelas Totti.

Upaya ini dilakukan melalui kegiatan pemuliaan tanaman padi dengan metode mutasi atau radiasi nuklir dengan dua sasaran yakni pemuliaan tanaman nasional dan pemuliaan tanaman yang bersifat lokal (daerah). Untuk pemuliaan varietas tanaman padi nasional, ditekankan pada kualitas hasil, sedangkan untuk padi lokal penekanannya pada rasa yang tetap disukai oleh masyarakat setempat.

Pengembangan varietas padi nasional yang sudah dilakukan BATAN misalnya Atomita 1,2,3,4, Cilosari, Situ Gintung, Danau Atas, Merauke, Winongo, Kahayan, Diah Suci, Mayang, Yuwono, Mira-1, Mira-2, Inpari Sidenuk (Si Dedikasi Nuklir) , Bestari,  Pandan Putri dan lainnya. Sedang pengembangan varietas padi lokal, PAIR BATAN telah melakukan kerja sama dengan berbagai pemerintah daerah seperti Kabupaten Kerinci, Musi Rawas, Klaten, Sijunjung, Solok, Tabanan, Buleleng, dan Landak.

“Hingga saat ini telah didapat berbagai galur mutan harapan di masing-masing daerah. Ada juga varietas yang sudah dilepas yakni varietas Rojolele Srinuk dan Rojolele Srinar dari Klaten, varietas Lampai Sirandah dari Sijunjung. Ada juga yang masih dalam proses evaluasi akhir galur mutan harapan dari kabupaten Musi Rawas dan Tabanan,” tambahnya.

Sesuai dengan Renstra BATAN, jelas Totti, PAIR juga didorong untuk mengembangkan penelitiannya di bidang pertanian pada tanaman kedelai yang berumur super genjah, adaptif pada lahan marginal, dan kedelai hitam. Tak hanya itu, PAIR juga mengembangkan varietas tanaman serealia yaitu sorgum sebagai pengganti pangan, pakan ternak, dan menghasilkan bioetanol, serta tanaman hias yaitu tanaman krisan yang adptif di dataran rendah dan tahan penyakit karat.

Totti berharap pemanfaatan iptek nuklir khususnya di bidang pertanian menjadi solusi terhadap permasalahan di tengah masyarakat. Selain itu, pemahaman masyarakat terhadap iptek nuklir semakin meningkat.

“Harapannya, teknologi nuklir dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh para user, terutama untuk bidang pertanian dan industri di Indonesia. Pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia yang dapat membawa negara Indonesia mandiri, berdaya saing didasari dengan jiwa gotong royong, dan yang pasti mewujudkan mimpi berswasembada beras,” harap Totti.

Teknologi pemuliaan mutasi

Pemuliaan tanaman itu sendiri menurut Sobrizal, seorang peneliti PAIR BATAN, adalah kegiatan mengubah susunan genetik individu maupun populasi tanaman untuk suatu tujuan sehingga diperoleh tanaman yang lebih bermanfaat. Beberapa metode pemuliaan tanaman yang sudah dikenal adalah hibridisasi (persilangan), poliploidisasi, bioteknologi dan mutasi.

Sedang mutasi adalah perubahan yang terjadi pada materi genetic individu secara acak (gen, kromosom, genom) dan perubahan genetic tersebut dapat diwariskan pada keturunannya. Mutasi dapat terjadi secara alami atau induksi. Mutasi alami terjadi dalam proses dan laju yang sangat lambat. Sedang mutasi induksi dapat dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih cepat. Mutasi induksi dapat menggunakan mutagen berupa sinar alpha, beta, gamma, MNU, EMS dan lainnya.

Tanaman padi yang sudah mendapatkan radiasi nuklir dikembangkan di rymah kawat PAIR BATAN

“Perbaikan varietas tanaman secara mutasi inilah yang disebut pemuliaan mutasi,” kata Sobrizal dalam sesi Webinar ‘Perbaikan Varietas Padi Padi Lokal dengan Tehnik Mutasi Radiasi’ yang disiarkan channel Youtube Humas BATAN pertengahan Juli 2020 lalu.

Pemuliaan mutasi lanjut Sobrizal merupakan metode pemuliaan tanaman dengan cara yang modern. Metode pemuliaan tanaman ini memanfaatkan radiasi nuklir dapat menghasilkan varietas yang mampu beradaptasi dan toleran terhadap perubahan iklim, menghasilkan varietas tanaman dengan sifat yang jauh lebih baik dibandingkan varietas induknya. Seperti waktu tanam yang lebih pendek, hasil lebih tinggi, serta tahan terhadap hama dan penyakit tanaman.

Proses radiasi nuklir untuk menghasilkan mutasi tanaman yang diinginkan ini, dapat dilakukan pada biji atau bagian tanaman lainnya dengan menggunakan radiasi pengion seperti sinar gama, beta, dan lainnya. Mekanismenya, benih yang sudah diradiasi kemudian ditanam dan diseleksi untuk mendapatkan karakteristik yg diinginkan. Tanaman hasil seleksi kemudian ditanam selama beberapa generasi untuk menghasilkan tanaman yang homogen atau seragam. Tanaman mutan tersebut selanjutnya diuji dibeberapa lokasi bersama dengan varietas induk dan varietas control untuk mengetahui daya adaptasi dan kestabilan hasilnya, sebelum akhirnya dilepas ke masyarakat.

Pemuliaan mutasi diakui Sobrizal sudah dikenal di Indonesia cukup lama, tepatnya pada jaman kolonial. Seorang professor asal Belanda AM van Harten menyebutkan varietas hasil mutasi induksi yang pertama kali dikomersialkan di dunia justeru berasal dari Indonesia tepatnya Kabupaten Klaten pada tahun 1934. Varietas mutan tersebut adalah tembakau Clorina yang berasal dari varietas Kinari yang diradiasi dengan sinar X.

“Tahun 1936, tanaman hibrida Clorina dan Kinari telah mengisi 10 persen pertanaman tembakau di Indonesia. Tetapi ini tidak berlangsung lama karena tahun 1942 pecah perang dunia kedua yang mempengaruhi permintaan produk tembakau di kawasan Eropa,” tukas Sobrizal.

Aplikasi pemuliaan mutasi mulai dilakukan dalam skala luas dengan terjalinnya kerjasama internasional yang dibangun oleh FAO/IAEA pada tahun 1964. Sejak itu, varietas mutan dari berbagai tanaman terus bermunculan. Saat ini 3.332 varietas mutan dari berbagai tanaman dan berbagai negara telah terdaftar pada database IAEA.

Untuk Indonesia, pemuliaan mutasi mulai dilakukan pada tahun 1970 melalui kerjasama penelitian BATAN-IAEA (International Atomic Energy Agency) untuk mendapatkan varietas padi dengan kandungan protein tinggi. Namun ditengah perjalanan, tujuan penelitian berubah yakni untuk mendapatkan varietas tahan wereng belalang coklat (WBC) karena pada tahun 1976 terjadi WBC yang menyerang hampir seluruh area persawahan di Indonesia terutama Sumatera Utara.

“Tahun 1982, BATAN berhasil melepas varietas mutan padi pertamanya dengan nama Atomita 1 yang mempunyai ketahanan terhadap WBC. Dan hingga saat ini BATAN telah menghasilkan 28 varietas padi, 12 varietas kedelai, 3 varietas sorgum, 1 varietas gandum, 2 varietas kacang hijau, dan 1 varietas kapas,” tegas Sobrizal.

Adapun keuntungan pemuliaan mutasi antara lain lebih efektif untuk perbaikan beberapa sifat saja, waktu relatif lebih singkat, dapat memisahkan gen linkage, dapat memunculkan sifat baru, sangat membantu dalam perbaikan tanaman tahunan.

Sedang sisi lemahnya, pemuliaan mutasi menggunakan tehnik pengambilan sampel secara acak atau random sehingga dapat menimbulkan abnormalitas seperti terjadi perubahan pada tingkat genom, kromosom, dan DNA. Selain itu pemuliaan mutasi juga membutuhkan proses atau waktu yang lama berkisar 4 sampai 6 tahun, sehingga dukungan pendanaan sangat dibutuhkan.

Dukung ketahanan pangan

Tehnik mutasi radiasi ini terus disempurnakan baik proses, waktu hingga hasilnya oleh para peneliti BATAN. Itu sebabnya kini banyak daerah yang tertarik untuk melakukan teknik mutasi radiasi menggunakan nuklir. Salah satunya Pemda Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Daerah yang berbatasan dengan DI Yogyakarta tersebut menjadi salah satu daerah yang berhasil melakukan pemuliaan padi Rojolele melalui teknologi mutasi radiasi nuklir hingga lahirlah varietas unggulan Rojolele bernama Srinuk dan Srinar.

Dua varietas unggulan yang kini siap dibudidayakan masyarakat Klaten secara masal tersebut merupakan hasil pemuliaan yang dilakukan Pemda Klaten atas dukungan para peneliti PAIR BATAN. Keberhasilan ini dibuktikan dengan panen perdana varietas Rojolele Srinuk dan Rojolele Srinar di Kawasan Agro Techno Park (ATP), Kabupaten Klaten, pada 22 Oktober 2019 lalu.

Kini dengan dua varietas unggulan padi Rojolele tersebut, petani Klaten siap untuk membudidayakannya secara luas dan mewujudkan mimpi menjadikan Rojolele sebagai pangan khas kabupaten Klaten. Padi jenis ini tidak akan ditemukan di daerah lain karena Pemda Klaten sudah menguncinya dengan hak patent atas hasil penelitian tersebut.

Muhammad Umar Said, Kabid Penelitian Pengembangan Pengendalian dan Evaluasi Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda) Kabupaten Klaten mengatakan Rojolele adalah jenis padi yang menjadi ciri khas daerah Klaten. Beras yang dihasilkan padi jenis ini sangat pulen, enak dan wangi. Itu sebabnya, zaman dahulu Rojolele identik dengan makanan para raja.

“Nama besar padi Rojolele sudah sangat melegenda dan ini perlu dipertahankan sebagai ikon kabupaten Klaten,” kata Umar Said.

Padi Rojolele diakui Umar Said memiliki banyak kelemahan. Antara lain usia tanam padi yang lama mencapai rata-rata 155 hari, batang padi yang tinggi antara 146-155 cm sehingga mudah roboh, serta tidak tahan hama. Dengan berbagai kelemahan tersebut, minat masyarakat untuk menanam padi Rojolele dari waktu ke waktu terus menurun.

Keinginan Pemda Klaten untuk mempertahankan padi Rojolele bagai gayung bersambut ketika PAIR BATAN menawarkan kerjasama mutasi genetik untuk memperpendek usia dan memperpendek batang padi Rojolele. Teknik mutasi radiasi benih padi dengan memanfaatkan nuklir tersebut pun dimulai pada 5 Desember 2013 di 5 lokasi dengan melibatkan tenaga ahli PAIR BATAN. Tujuan dari mutasi genetik itu adalah untuk mempertahankan ciri khas padi Rojolele sekaligus memperbaiki kelemahannya.

Rojolele Srinuk, hasil pemuliaan tanaman dengan radiasi nuklir (ist)

Pada awal riset, tim peneliti mengembangkan ribuan benih per dosis untuk mendapatkan keragaman dari tanaman varietas turunan dari Rojolele. Lalu dari ribuan varietas tersebut dilakukan seleksi melalui uji coba tanam berulang-ulang hingga tersisa tiga varietas unggulan (galur) yang diberi kode mutan A.10 (Srinuk), A 82.1 (Srinar), dan A.106.1 (Sriten).

Dari tiga galur tersebut saat dilakukan sidang pelepasan varietas baru padi Rojolele sebagai tanaman pangan yang digelar Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian di Bogor pada 27 Juni 2020, hanya dua varietas yang dinyatakan lolos yakni Srinuk dan Srinar. Sedang Sriten tidak lolos dengan alasan memiliki ciri khas yang hampir menyerupai dua varietas lainnya.

“Sriten sama unggulnya dengan Srinuk dan Srinar. Cuma karena ada kemiripan dengan dua varietas lainnya, shingga tidak lolos. Tidak lolosnya ini jadi bukan karena varietasnya jelek tetapi karena terlalu mirip dan ini dikhawatirkan menyulitkan saat dilakukan pemasaran atau pengenalan varietas,” kata Umar Said.

Pemuliaan padi Rojolele tersebut lanjut Umar Said tidak hanya memperpendek usia tanam padi dan tinggi tanaman, tetapi juga sekaligus meningkatkan hasil panen. Sebagai perbandingan, pada varietas Rojolele induk hanya bisa menghasilkan 4,2 ton per hektar, maka Rojolele Srinar potensi hasil mencapai 9,75 ton per hektar, rata-rata hasil 8,42 ton per hektar. Untuk Rojolele Srinuk potensi hasil mencapai 9,22 ton per hektar dan rata-rata hasil mencapai 8,07 ton per hektar.

Pun demikian untuk umum padi dari tanam hingga panen. Dua varietas turunan Rojolele ini memiliki usia tanam yang lebih singkat dibanding Rojolele induknya.  Padi Rojolele induk dipanen pada umur 155 hari, Srinar dan Srinuk hanya membutuhkan 120 hari saja.

Kini dua varietas padi unggulan tersebut siap dibudidayakan petani Klaten. Varietas Srinuk dan Srinar yang menyerupai induknya Rojolele akan dijadikan sebagai beras ciri khas Klaten.

“Harapannya kedua varietas ini bisa ditanam masyarakat tani di Klaten secara luas dengan produksi dan kualitas beras tinggi, karena berasnya bagus bisa dijual lebih mahal, dan akan dapat meningkatkan penghasilan petani,” kata Umar Said.

Seusai Surat Keputusan (SK) dari Kementerian Pertanian (Kementan) untuk pelepasan benih Rojolele Srinuk dan Srinar diterima, Pemkab mulai mengarah pada penanaman serentak. Syarat utama penanaman serentak yakni benih harus berlabel. Untuk kepentingan ini, Pemda Klaten telah berkomunikasi dengan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Jawa Tengah.

“Selain itu kami memproses hak paten atas varietas baru ini. Sehingga Rojolele Srinuk dan Srinar benar-benar menjadi varietas lokal yang hanya diperbolehkan ditanam di Klaten,” kata Umar Said.

Meski hanya boleh ditanam di Klaten, tetapi hasil produksi padi itu bisa dipasarkan ke berbagai daerah. Dengan cara seperti ini maka mimpi Pemda Klaten untuk menjadikan Rojolele Srinuk dan Srinar sebagai varietas lokal dan menjadi ciri khas Kabupaten Bersinar segera terwujud.

Lahirnya varietas unggulan Rojolele Srinuk dan Rojolele Srinar itu sendiri disambut gembira oleh para petani di Kabupaten Klaten. Nusanto Herlambang, petani asal Desa Gempol, Kecamatan Karanganom seperti dikutip dari laman pemda Klaten mengaku varietas baru Rojolele ini sudah lama dinantikan oleh para petani.

Ia yang sejak awal terlibat dalam riset Rojolele tersebut memastikan Rojolele Srinuk dan Rojolele Srinar akan meningkatkan kesejahteraan para petani lokal. “Petani diuntungkan baik dari segi waktu tanam, jumlah hasil panen maupun cara perawatan yang relatif lebih mudah karena lebih tahan hama,” kata Nusanto.

Padi ini lanjut Nusanto jika ditanam pada lahan organik, dapat menghasilkan panen rata-rata 6,5 ton-7 ton per hektar. Sementara, jika dikembangkan pada lahan konvensional hasil yang diperoleh bisa mencapai 9 ton hingga 10 ton per hektar.

“Untuk yang ditanam pada lahan konvensional itu bisa laku dijual ke konsumen Rp14.000/kg. Sementara, kalau yang ditanam dengan sistem organik laku Rp18.000/kg hingga Rp20.000/kg,” jelas Nusanto.

Jika Klaten berhasil mengembangkan varietas unggulan Rojolele, maka Kota Semarang, Jawa Tengah lebih memilih untuk memanfaatkan varietas unggulan hasil penelitian PAIR BATAN. Kelompok Tani Ayem Tenang Kelurahan Tambangan, di Kecamatan Mijen, Semarang misalnya, lebih tertarik menanam varietas padi nasional bernama Bestari. Hasilnya, panen meningkat dari 6 ton per hektar menjadi 9,6 ton per hektar, setelah menggunakan bibit padi Bestari yang dikembangkan BATAN.

Padi Bestari adalah varietas unggulan terbaru produksi BATAN yang diambil dari bibit padi unggulan Cisantana yang diberi radiasi sinar gamma 0,2 kilogrey. Bibit itu kemudian diturunkan hingga mendapatkan turunan yang paling stabil. Butuh waktu antara empat hingga lima tahun untuk mendapatkan varietas ini.

Nuklir dan cita-cita founding fathers

Kepala BATAN Anhar Riza Antariksawan mengatakan hingga saat ini jumlah varietas padi unggulan baik nasional maupun lokal yang dihasilkan oleh peneliti BATAN sudah cukup banyak mencapai 28 varietas yang sebagian besar sudah dikomersialkan. Selain tetap menjaga varietas unggul yang selama ini sudah dimiliki dan akan disebarluaskan lebih massif lagi, BATAN ke depan juga akan membantu daerah untuk mengembangkan varietas padi yang digemari oleh masyarakat atau varietas lokal.

“Varietas unggulan yang sudah ada kita akan sebar secara masif ke daerah-daerah untuk mendongkrak panen petani. Dengan cara seperti ini, maka Indonesia tidak membutuhkan waktu lama untuk kembali berswasembada beras,” tutur Anhar.

Kepala BATAN Anhar Riza Antariksawan

Sedang pengembangan varietas padi lokal menurutnya sangat penting dilakukan mengingat banyak varietas padi lokal yang saat ini terancam punah. Padahal varietas lokal seringkali memiliki sifat-sifat unik yang sangat digemari masyarakat setempat. Sebagai contoh, di Banyumas saat ini ada 13 varietas padi lokal terancam punah akibat tidak diperdayakan secara intensif. Ke-13 varietas padi lokal Banyumas tersebut adalah Padi Hitam, Gandamana, Kidangsari, Konyal, Cere Unggul, Cere Kuning, Sari Wangi, Pandan Wangi, Mentik Wangi, Mentik, Mendali, Sri Wulan, dan Wangi Lokal.

Kondisi tersebut juga dijumpai di daerah lain. Ada banyak varietas-varietas padi lokal dengan keunggulannya mulai ditinggal oleh para petani karena dianggap tidak lagi menguntungkan.

“Bagi daerah yang berminat untuk mengembangkan varietas padi lokal seperti yang dilakukan Pemda Kabupaten Kerinci, Musi Rawas, Klaten, Sijunjung, Solok, Tabanan, Buleleng dan Landak, silakan hubungi kami. Para peneliti BATAN siap untuk membantu,” kata Anhar.

Menurut Anhar pemanfaatan iptek nuklir dewasa ini terus berkembang dan banyak dirasakan oleh masyarakat, khususnya di bidang pertanian dan industri. BATAN melalui Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR) berkomitmen terus mengembangkan penelitiannya di kedua bidang ini demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Sebenarnya sudah banyak produk dari penelitian BATAN dalam bidang pangan. Tetapi BATAN memang tidak boleh menjual belikan hasil penelitian. Jadi kalau sudah ada varietas hasil penelitian, lalu kami serahkan ke swasta untuk dikomersialkan,” katanya.

Ia menegaskan masyarakat tidak perlu khawatir dengan hasil penelitian BATAN yang menggunakan radiasi nuklir. Sebab, radiasi terhadap genetik tanaman tidak mengakibatkan tanaman atau produk tanaman menjadi bersifat radioaktif. Semua hasil pemuliaan tanaman dengan radiasi aman dikonsumsi oleh manusia.

Terlebih produk iptek nuklir yang digunakan lembaga atau instansi juga secara berkala divalidasi oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN).

BATAN sendiri diakui Anhar telah ditunjuk oleh Badan Tenaga Atom Internasional/International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai collaborating center untuk wilayah Asia Pasifik pada dua bidang unggulan yakni pertanian dan industri.

“IAEA telah menunjuk BATAN sebagai collaborating center di bidang pemuliaan tanaman dan uji tak merusak. Ini artinya BATAN sudah diakui oleh internasional dalam penguasaan dan pemanfaatan iptek nuklir,” lanjut Anhar.

Pada Rencana Strategis (Renstra) 2020-2024, ungkap Anhar, BATAN akan lebih difokuskan pada peningkatan penguasaan science dan hasil litbang yang dapat dihilirkan kepada masyarakat. Produk-produk litbang di bidang pertanian dan industri akan lebih didorong untuk dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Menurut Anhar, banyak orang mengenal iptek nulir sebagai bom, radiasi sebagai sesuatu yang membahayakan. Padahal faktanya tidaklah demikian, karena nuklir dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat termasuk bidang pertanian dan pangan. Tugas BATAN salah satunya adalah mencoba memberikan pemahaman kepada masyarakat bagaimana radiasi dapat membuat tananam unggul tanpa menimbulkan efek pada kesehatan manusia.

Intinya, lanjut Anhar teknologi nuklir jika dimanfaatkan dengan baik, dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara signifikan. Hal ini juga disadari betul oleh para founding fathers bangsa.

Saat meresmikan pusat reaktor pertama di Bandung, Presiden Soekarno dalam satu penggalan sambutannya mengatakan harapannya untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur dengan bantuan atom.

“Dalam konteks ini Bung Karno ingin energi atom atau atomic energy dapat dikembangkan di Indonesia untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur. Harapan para pendiri negara tersebut dan semangat memanfaatkan nuklir untuk kesejahteraan rakyat itulah yang harus terus kita bumikan,” tukas Anhar.

Ia mengakui memang memerlukan upaya lebih keras lagi untuk menghilirkan, untuk bisa memperkenalkan, dan untuk bisa membumikan hasil-hasil iptek nuklir yang bisa langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Upaya menghilirkan dan membumikan iptek nuklir itu tentu akan berhadapan dengan keterbatasan SDM yang menguasai nuklir, belum kuatnya kelembagaan iptek, sumberdaya iptek dan jaringan iptek serta adanya kendala sosial berupa ketakutan masyarakat untuk berhubungan dengan hal-hal yang berbau iptek nulir.

Tetapi dengan penguatan sistem inovasi nasional dan upaya integrasi dan sinergi antar lembaga penelitian serta edukasi terhadap masyarakat yang dilakukan terus menerus, kendala-kendala tersebut pasti dapat teratasi dengan baik.

“Pengembangan varietas padi baik yang nasional maupun lokal adalah salah satu upaya untuk menyentuh lebih banyak masyarakat di daerah, agar mengenal manfaat nuklir untuk mendukung ketahanan pangan sehingga Indonesia kembali dapat berswasembada pangan. Insya Allah dengan semakin banyaknya masyarakat yang bisa merasakan hasil dari teknologi nuklir, maka penerimaan masyarakat terhadap nuklir akan semakin membaik,” tutup Anhar. (inung m kurniawati)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!