Tulisan ini adalah ringkasan dari materi yang pernah saya sampaikan dalam sebulan seminar virtual tentang “Berislam di negara sekuler liberal Amerika” yang diadakan oleh salah satu Universitas Islam Negeri. Sebenarnya seminar itu dalam bahasa Inggris karena temanya sebagai seminar internasional. Tapi demi kemanfaatan saya tuliskan ringkasannya dalam bahasa kampung saya.
Sebenarnya berislam itu kapan dan di mana saja semangatnya sama. Yaitu komitmen menjadikan Islam sebagai petunjuk jalan (GPS) kehidupan, baik secara vertikal maupun secara horizontal. Komitmen ini tidak akan berkurang apalagi berubah hanya karena sekedar perubahan waktu dan tempat. Walaupun kemungkinan, bahkan terkadang harus, karena sikon yang ada menjadikan rincian praktis komitmen keagamaan itu tersesuaikan.
Soliditas komitmen seperti ini dikenal dengan “konsistensi”. Atau dalam bahasa agama lebih dikenal dengan “istiqamah”. Sebuah komitmen yang dalam setiap rakaat sholatnya seorang Mukmin diminta: “tunjukilah kami ke jalan yang lurus”. Satu di antara makna “tunjuki kami” adalah berikan kekuatan untuk kami istiqamah di jalan yang lurus itu.
Memahami sekularisme
Sekularisme adalah sebuah pandangan hidup yang membagi kehidupan kepada ruang-ruang yang terpisah. Minimal ada dua ruang besar, ruang agama dan ruang dunia. Agama adalah urusan atau otoritas Tuhan. Sementara dunia adalah urusan dan di bawah otoritas manusia sepenuhnya.
Biasa juga dimaknai dengan pemisahan antara kehidupan yang terkait urusan ukhrawi dan urusan duniawi. Kehidupan ukhrawi menjadi wewenang Tuhan. Tapi kehidupan duniawi menjadi sepenuhnya wewenang manusia. Dan keduanya harus dipisahkan secara tegas dan ketat.
Pemahaman demikian dapat juga terjadi kepada Kedua pihak manusia. Kepada mereka yang merasa beragama tapi gagal paham tentang agama. Dan sebaliknya kepada mereka yang memang memandang agama tidak saja harus terpisah dari kehidupan dunia. Tapi dipandang sebagai “obstacle” (halangan) dalam kehidupan dunia.
Bagi orang-orang yang merasa, bahkan memandang agama penting, terjadi sikap sekuler dengan memahami agama secara terbatas pada aspek-aspek ritual ubudiyah. Mereka begitu ketat dengan urusan agama ketika bersentuhan dengan urusan ritual keagamaan. Bahkan merasa paling beragama (paling sunnah). Tapi agama tidak menjadi perhatian dalam kehidupan dunianya. Termasuk ketika melakukan transaksi dan interaksi dengan sesama manusia sekitarnya.
Orang agamis yang berkarakter sekuler ini biasanya memiliki karakter ganda atau “doble personalities” (kepribadian ganda). Ketika di Masjid atau di majelis dzikir mereka nampak sangat religious. Tapi ketika bersentuhan dengan dunia nyata mereka menjadi sangat berbeda. Satu di antaranya tidak malu-malu menipu, memfitnah, menggibah, bahkan menampilkan kerakusan dunia walau berbungkus agama.
Tanpa mereka sadari mereka terjatuh ke dalam sesuatu yang mungkin saja bukan paham (isme atau keyakinan) karena memang tidak paham. Tapi sikap atau prilaku yang justeru menjadi prilaku dan karakter sekularis. Agama seolah-olah disempitkan atau dibatasi dengan hal-hal yang bersifat vertikal (ritual) semata).
Di pihak lain ada kalangan yang memang mungkin saja masih melihat urgensi agama. Tapi agama dibatasi secara ketat pada hal-hal yang juga ritual (itupun secara personal) semata. Agama dibatasi, bahkan diharamkan, untuk hadir dalam kehidupan sosial/duniawi dan kehidupan publik manusia. Agama terpenjarakan di antara dinding-dinding rumah ibadah yang sempit.
Kedua kelompok manusia itu sama dalam pandangan sekulerisme. Walaupun mereka yang sekuler agamis atau agamis sekuler itu mengaku beragama bahkan paling beragama.
Sekularisme US vs Pancasilaisme RI
Berbeda dengan Indonesia yang memang dikenal sebagai negara Pancasila. Negara RI telah bulat dan menjadi kesepakatan para pendiri bangsa (founding fathers) untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Tapi itu sekaligus bermakna agama sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadikan agama begitu vital dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
Sebaliknya Amerika dideklarasikan sebagai negara sekuler. Ini berarti bahwa agama tidak ditempatkan sebagai dasar dalam bernegara. Namun demikian, walau negara sekuler, Amerika yang dahulu mengklaim sebagai negara “judio Christian” tetap memandang agama sebagai sesuatu yang mendasar dalam kehidupan berbangsa.
Bahkan tidak berlebihan ketika kita menyebut Amerika sebagai bangsa yang Religious. Atau tepatnya Amerika adalah negara sekuler yang religious. Kedengaran aneh tapi nyata. Mungkin contoh yang paling nyata adalah kenyataan bahwa Konstitusi Amerika menyebutkan dengan tegas bahwa Amerika adalah bangsa “under One God”. Bahkan mata uang dan kantor-kantor pengadilan Amerika bertuliskan kalimat: “in God we Trust”.
Semua ini dan tentunya yang terpenting Konstitusinya Amerika itu sendiri menunjukkan Amerika sebagai negara yang sekuler. Tapi dengan pemahaman dan defenisi sekularisme yang berbeda.
Sekularisme di Amerika lebih dipahami sebagai “negara atau pemerintah tidak punya hak untuk melakukan intervensi dalam keyakinan warga”. Tapi agama memiliki peranan penting dan tidak terpisahkan dari kehidupan bernegara.
Pemahaman sekularisme seperti di atas menjadi penting karena pemahaman itulah yang kemudian menjamin terlaksananya “freedom of religion” (kebebasan beragama) dalam kehidupan warga negara.
Sebaliknya jika sekularisme dipahami dengan pemahaman yang sempit dan kaku, ambillah sebagai misal di Prancis (dan Turki di masa lalu), maka akan terjadi paradoks antara nilai sebuah bangsa yang (mengaku menghormati) “freedom of religion” dan konsep sekularisme yang “membatasi kebebasan” warga dalam menjalankan agamanya.
Di sinilah keunikan Amerika yang sekuler dan Indonesia yang Pancasilais. Di Amerika agama justeru bebas dipraktekkan di mana saja. Bahkan pada tempat-tempat atau institusi negara, termasuk White House, Kongress/Senat, Kantor Pengadilan (courts) hingga ke sekolah-sekolah, Kepolisian dan militer Amerika.
Persis seperti Indonesia yang di satu sisi meletakkan Ketuhanan (agama) pada sila pertama Pancasila tapi tidak menjadikan agama (baca Islam) sebagai dasar negara dan kehidupan berbangsa. Bahwa Indonesia sebagai negara Pancasila wajib menjunjung tinggi ajaran agama. Tapi negara atau pemerintah tidak punya hak untuk menentukan iman/keyakinan agama warga.
Baik Amerika maupun Indonesia memiliki komitmen yang sama bahwa agama tidak saja dianggap penting dalam kehidupan publik. Tapi sekaligus dilindungi oleh Konstitusi negara. Dan karenanya kebebasan beragama menjadi jaminan sekaligus difasilitasi oleh negara sesuai aturan-aturan yang ada.
Saya teringat sebuah cerita tentang Walikota New York ketika itu, Michael Bloomberg. Saat beliau menjabat sebagai Walikota New York Komunitas Muslim di downtown kota New York ingin membangun sebuah masjid dua blok dari lokasi ground zero (saat ini dikenal dengan masjid Park 51). Yang terjadi kemudian karena dipolitisir oleh sebagian kalangan dan didukung oleh media yang anti Islam seperti Fox News dan NY Post, 70 persen penduduk kota New York menentangnya. Tapi Michael Bloomberg sebagai Walikota ketika itu mendukungnya.
Dalam sebuah acara buka puasa bersama di Gracie Mansion (rumah Dinas waikota NY) saya sempat bertanya ke beliau: “Mr. Mayor, Kenapa anda mendukung pendirian masjid itu. Sementara 70 persen penduduk New York menolak?”.
Dengan santai seperti biasa, Michael Bloomberg menjawab: “saya tidak mendukung masjidnya. Tapi saya mempertahankan nilai dan Konstitusi negara saya yang menjamin kebebasan beragama setiap warga negara”.
Itulah sekularisme Amerika dan Pancasilaisme Indonesia. Keduanya mengambil agama secara serius dalam kehidupan publik. Tapi juga menempatkannya pada tempat yang tidak membatasi nilai-nilai sosial dan kehidupan publik lainnya. Keseimbangan dan penempatan (bukan pembatasan) agama pada lini kehidupan yang sesuai menjadikan Indonesia dan Amerika sebagai dua negara demokrasi besar dunia.
So, Indonesia dan Amerika beda tapi sama. Namun walau keduanya sama tapi juga beda. Membingkan?
Manhattan City, 14 Desember 2021
Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation