28.9 C
Jakarta

Pandemi Covid-19, Waspadai Peningkatan Stunting pada Anak Usia Dini

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Direktur Pendidikan Anak Usia Dini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Dr Muhammad Hasbi mengingatkan seluruh pihak untuk  mewaspadai meningkatnya angka prevalensi anak usia dini menjadi penyandang stunting dan kemungkinan terjadi gizi buruk yang dapat berakibat kematian jika tidak segera diambil tindakan.

“Dalam kondisi pandemi Covid-19 ini membuat sejumlah layanan kesehatan dan layanan tumbuh kembang anak harus terus ditingkatkan. Sehingga anak terlindungi dari persoalan wasting (kekurusan) dan stunting (gagal tumbuh),” ujar Muhammad Hasbi dalam webinar Internasional yang diselenggarakan SEAMEO CECCEP dan Direktorat PAUD di Jakarta, Senin (14/9).

Pembicara dalam kegiatan yang dihadiri 1246 peserta dari sejumlah negara itu antara lain Prof. Claire Heffernan, Ph.D. (London International Development Centre), Dr. Muhamad Hasbi (Director of ECE Directorate MoEC) Dr. Umi Fahmida (SEAMEO RECFON Expert), Hendriyanto, S.IP., M.Kes (Secretary of Tanjung Jabung Timur Regency Public Health Office). Moderator dalam acara ini Hani Yulindrasari, Ph.D (Universitas Pendidikan Indonesia) dan Irwan Gunawan, M.Pd (SEAMEO CECCEP).

Menurut Hasbi, wasting dan stunting merupakan masalah dunia, terutama di negara miskin dan berkembang. Karena bagaimanapun juga faktor pendidikan, ekonomi dan kebijakan negara memberi pengaruh pada akses ibu dan balita pada sumber pangan bergizi, layanan kesehatan, air bersih dan sanitasi.

Data Riset Kesehatan Dasar Kemenkes 2018 menunjukkan bahwa masih ada 29,6% anak Indonesia mengalami stunting, yang sebarannya sebanyak 48,8% adalah keluarga miskin dan 29% adalah dari keluarga kelas menengah dan kaya. Secara nasional masih ada 13 provinsi dengan prevalensi stunting kronis dibawah standar WHO yaitu 20%.

“Kondisi global berdasarkan data WHO tahun 2012  menunjukan saat ini ada 52 juta anak di dunia mengalami gizi buruk. Sedangkan jumlah anak usia balita menderita stunting mencapai 165 juta anak. Ironisnya penelitian menunjukan anak usia 0 hingga 2 tahun yang mengalami keadaan gizi buruk dan stunting tidak akan kembali normal jika terlanjur mengalami wasting dan stunting,” ujarnya.

Dalam buku saku Strategi Nasional Pencegahan Stunting disebutkan yang dimaksud stunting atau sering disebut kerdil atau pendek adalah kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di bawah lima tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang terutama pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu dari janin hingga anak berusia 23 bulan. Anak tergolong stunting apabila panjang atau tinggi badannya berada di bawah minus dua standar deviasi panjang atau tinggi anak seumurnya.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan penurunan prevalensi stunting di tingkat nasional sebesar 6,4% selama periode 5 tahun, yaitu dari 37,2% (2013) menjadi 30,8% (2018). Sedangkan untuk balita berstatus normal terjadi peningkatan dari 48,6% (2013) menjadi 57,8% (2018). Adapun sisanya mengalami masalah gizi lain.

Global Nutrition Report 2016 mencatat bahwa prevalensi stunting di Indonesia berada pada peringkat 108 dari 132 negara. Dalam laporan sebelumnya, Indonesia tercatat sebagai salah satu dari 17 negara yang mengalami beban ganda gizi, baik kelebihan maupun kekurangan gizi. Di kawasan Asia Tenggara, prevalensi stunting di Indonesia merupakan tertinggi kedua, setelah Cambodia.

“Pemerintahan Presiden Jokowi telah menyusun Strategi Nasional Pencegahan Stunting yang mensinergikan 22 Kementerian dan Lembaga dibawah Presiden guna mengatasi persoalan stunting di Indonesia,” kata Hasbi.

Disebutkan strategi nasional stunting yang terpenting ada lima pilar, pertama, komitmen dan visi pimpinan tertinggi negara. Komitmen ini menjadi penting karena apabila pemimpinnya berkomitmen terhadap percepatan pencegahan stunting, maka target akan mudah dicapai karena segala sumber daya bisa dimobilisasikan. Kedua, kampanye nasional berfokus pada pemahaman, perubahan perilaku, komitmen politik dan akuntabilitas.

Ketiga, konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi program nasional, daerah, dan masyarakat, melakukan keterpaduan antarprogram. Keempat, mendorong ketahanan pangan dan gizi. Kelima, pemantauan dan evaluasi. Saat ini  dikembangkan sistem pemantauan terpadu untuk membantu melihat kemajuan dari upaya yang telah dilakukan.

Direktur PAUD juga mengingatkan agar seluruh pemangku kepentingan yang berada dilingkungan satuan pendidikan PAUD untuk terlibat serta mengambil peran untuk bergotong royong mengatasi persoalan stunting yang ada diseputar lembaganya.

“Saya mengajak semua pihak untuk terlibat dan mengambil peran bersama. Persoalan stunting tidak sekedar masalah kesehatan dan gizi buruk. Tapi yang terbesar adalah persoalan kemanusian yang membutuhkan uluran tangan kita bersama. Jangan lagi berpikiran karena sudah membayar uang sekolah kemudian kita tidak peduli terhadap saudara kita yang lain,” ujarnya.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!