JAKARTA, MENARA62.COM – Peristiwa penyerangan terhadap kantor MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jalan Proklamasi Jakarta, Selasa (02/5/2023) siang, harus menjadi pelajaran berharga bagi parlemen dan pemerintah. Tidak perlu lagi berdebat perlu tidaknya Ulama dlindungi, karena faktanya peristiwa penyerangan terhadap Ulama sudah berulang terjadi dan kini tidak lagi dilakukan secara fisik terhadap tubuh para Ulama, namun kali ini sudah menyasar ke kantor para Ulama di kantor MUI Pusat, Jakarta. Jika ini tidak disikapi serius, maka kejadian serupa akan terus berulang. Artinya, negara harus serius melakukan perlindungan kepada para Ulama.
“Saya rasa RUU Perlindungan Ulama yang saat ini mandeg, segera saja dibahas dan dimasukkan ke dalam pembahasan prioritas DPR RI. Kejadian kriminal di Kantor MUI Pusat, telah menjawab semua keraguan yang pernah diungkapkan sebagian kecil pengamat, yang tampaknya, propaganda pengamat itu berpengaruh sehingga menyebabkan pembahasan RUU ini terkatung-katung dan mandeg tak berjalan,” ungkap Mustofa Nahrawardaya, Ketua DPP Partai Ummat kepada media.
Ditambahkan, kejadian penyerangan bersenjata di kantor MUI Pusat, benar-benar sangat mengerikan. Bahkan, dari kejadian itu mengindikasikan adanya peningkatan eskalasi penyerangan dibanding peristiwa serupa sebelum-sebelumnya, di mana pelaku biasanya menyasar lokasi aktifitas personal Ulama misalnya ketika Ulama ceramah di pengajian, atau Ulama sedang memimpin shalat. Namun kini pelaku sudah berani mendatangi pusat atau markasnya para Ulama dari berbagai Ormas Islam Indonesia. Artinya, pelaku sudah nekat mendekati epicentrum atau tempat di mana para Ulama berkantor. Ini sudah tak bisa ditolerir. Partai Ummat merasa prihatin dan perlu langkah serius seluruh elemen bangsa. Apapun motifnya, kejadian seperti ini harus dihentikan dengan cara apapun.
“Kita masih ingat ketika ada Ulama ditusuk saat mengisi pengajian. Ada imam dianiaya saat memimpin shalat, ada Imam dibacok saat berada di ruang imam. Ada Ulama digeruduk saat mau mengisi pengajian. Ada Ulama dipersekusi menjelang ceramah. Bahkan, ada masjid yang dilumuri kotoran hewan. Lalu ada anjing yang dibawa masuk ke area suci Masjid. Ini sudah sangat keterlaluan. Di mana para anggota DPR yang dulu akan membuat UU Perlindungan Ulama?” tanya Mustofa.
Ditegaskan, RUU Perlindungan Ulama yang pernah dibahas sebelum Pandemi Covid 19, kini tidak bisa lagi ditunda-tunda. Mayoritas penduduk Indonesia yang faktanya Muslim seharusnya memberikan rasa aman kepada para Ulama.
“Kami malu, hidup di tengah mayoritas beragama Islam, malah sering terjadi penyerangan terhadap Ulamanya. Ini pasti ada yang salah. Aparat perlu pijakan hukum yang spesifik agar negara secara tegas dan terukur dapat memberikan perlindungan maksimal kepada Ulama,” imbuhnya.
Menurutnya, perkembangan politik yang keras kapan-pun, tidak boleh kemudian kita membiarkan para Ulama hidup dalam situasi terancam. Justeru seharusnya, untuk meraih keberkahan politik nasional, negara wajib menjunjung tinggi para Ulama dalam hal keilmuan dan ketenangan hidup mereka agar anak cucu kita di Indonesia mendapatkan limpahan keberkahan tersebut.
Percepatan pembahasan RUU Perlindungan Ulama, sangat darurat dilakukan, bukan karena ingin melindungi secara ekslusif terhadap golongan Ulama, namun karena memang para Ulama adalah salahsatu elemen sangat penting dan sangat dibutuhkan di dalam negeri. Ulama harus dijaga, dan dilindungi, bahkan harusnya sejak jaman kemerdekaan.
“Tidak ada istilah ekslusif. Ulama tidak punya penghasilan seperti pejabat. Pejabat bisa menyewa pengawal 24 jam. Anggota DPR bisa punya tim pengamanan pribadi selama bertugas. Sedangkan Ulama, bisa apa untuk melindungi keselamatannya. Maka, menurut saya, RUU itu sangat penting dan bagi yang keberatan terhadap pembahasan RUU tersebut, bisa diajak dialog. Rasa-rasanya, hanya kelompok Islamopobia saja yang keberatan terhadap RUU tersebut. Maka dari itu, apabila Allah memberikan kesempatan Partai Ummat ke Parlemen pada pemilu 2024 nanti, insya Allah perlindungan terhadap Ulama, akan menjadi prioritas kami,” tutupnya. (*)