JAKARTA, MENARA62.COM – Kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diumumkan oleh Presiden Joko Widodo melalui Perpres nomor 64 tahun 2020 menuai polemik. Bahkan sebagian masyarakat menganggap keputusan tersebut tidak berpihak kepada masyarakat dan melanggar keputusan MA nomor 7P/HUM/2020 yang membatalkan Perpres nomor 75 tahun 2019.
Terhadap polemik tersebut, Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB-HMI) pun angkat bicara. Sekretaris Jendral PB HMI, Taufan Tuarita saat dikonfirmasi mengajak masyarakat untuk tenang menyikapi keputusan pemeirntah tersebut.Sebaiknya masyarakat harus mencari informasi yang faktual terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut agar tidak salah persepsi atau salah dalam menyikapinya.
“Kenaikan iuran BPJS menjadi polemik ditengah – tengah masyarakat dikarenakan adanya anggapan bahwa semua kelas utamanya kelas III dinaikkan iurannya yang menurut data justru yang dinaikkan hanya kelas I dan II,” ungkapnya, Sabtu (16/05).
Secara spesifik Taufan membeberkan data mengenai kenaikan iuran BPJS yang dianggapnya ada kekeliruan informasi yang beredar di tengah – tengah masyarakat.
“Menurut data yang kami dapatkan ada sekitar 132 juta jiwa lebih yang telah mendapatkan bantuan pemerintah baik itu pusat maupun daerah. Sebanyak 96 juta jiwa lebih penerima bantuan iuran dalam hal ini masyarakat miskin tidak mampu telah dibayarkan iuran BPJS nya. Sementara sisanya 36 juta lebih yang didaftarkan oleh Pemda telah dibantu oleh Pemda masing – masing,” terangnya.
“Sementara untuk Pekerja Penyelenggara negara yang telah dibantu pemerintah sekitar 17 juta jiwa lebih dan pekerja non penyelenggara negara sebesar 37 juta jiwa lebih,” lanjutnya.
Mengenai iuran peserta yang mendaftar, Taufan menyebutkan bahwa justru sebagian besar berada di kelas III yang tidak dinaikkan premi BPJS Kesehatannya.
“Ada sekitar 21 juta jiwa lebih yang terdaftar di kelas III dari total 35 juta jiwa lebih peserta yang merupakan pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja. Artinya bahwa hanya sebagian kecil yang merasakan dampak kenaikan iuran BPJS dan mereka yang merasakannya adalah orang – orang yang secara ekonomi dianggap mampu karena berada di kelas I dan II,” sebutnya.
Taufan melanjutkan bahwa kenaikan iuran BPJS akan menjadikan pelayanan kesehatan akan semakin membaik karena cash flow rumah sakit dengan kenaikan iuran BPJS ini juga akan membaik.
“Kenaikan iuran BPJS ini akan mengakibatkan cash flow rumah sakit juga akan membaik dan ini tentunya meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat dan juga meringankan beban masyarakat menengah ke bawah untuk mendapatkan pelayanan maksimal,” lanjutnya.
Disisi lain, Taufan juga menyoroti anggapan sebagian masyarakat mengenai putusan MA yang sebagian masyarakat menganggap Presiden melawan hukum.
“Selaku mahasiswa, edukasi kepada masyarakat mengenai putusan MA harus kita lakukan agar tidak terjadi kesimpang siuran informasi yang sampai kepada masyarakat mengenai putusan MA terkait pembatalan Perpres nomor 75tahun 2019 tentang jaminan sosial,” katanya.
Taufan melanjutkan bahwa ada tiga opsi dalam putusan MA yakni mencabut, mengubah atau melaksanakan keputusan yang telah diketok palu. Pemerintah memilih opsi kedua yakni mengubah dan tentunya itu tidak dapat dikatakan melanggar ataukah melawan putusan MA.
“MA kan telah membenarkan kebijakan yang diambil oleh Presiden yang menerbitkan Perpres nomor 64 tahun 2020. Lagi pula kan menurut MA, pemerintah telah melaksanakan putusan MA yang meminta pemerintah menunda kenaikan iuran BPJS kelas III dan untuk selanjutnya mengeluarkan Perpres tersebut sebagai bagian dari upaya perubahan atas Perpres nomor 75 tahun 2019,” lanjutnya.
Taufan pun mengimbau kepada masyarakat untuk tetap tenang dalam menyikapi keputusan Presiden Joko Widodo yang manaikkan iuran BPJS.
“Kita harus tetap tenang dalam menyikapi polemik ini. Kami dari PB HMI akan mengawal kebijakan ini dan jikalau dalam penerapannya tidak berpihak kepada masyarakat, maka kami pun akan melayangkan protes kepada pemerintah secara kelembagaan,” tutupnya.