Asal muasal kita sama. Dari tanah liat yang ditiupi ruh Sang Rahman. Kemudian manusia diturunkan ke bumi, setelah sebelumnya menjadi makhluk langit di rahim azali.
Tuhan bekali kita dengan indera, yang dengannya kita melihat, mendengar, mengucap kata dan mengecap rasa. Tuhan sempurnakan kita dengan akal untuk berpikir dan hati untuk merasa.
Di antara kita ada yang mengindera segenap rasa. Pun ada yang mengindera tanpa rasa. Di antara kita ada yang menggunakan akal sepenuh nalar. Pun ada yang menggunakannya sekadar saja.
Di antara kita ada yang menjaga hati sepenuh hati, hingga lahir empati dan simpati. Pun ada yang membiarkan hati berjelaga tak kenal henti, hingga abai bisikan nurani.
Di antara kita ada yang peka rasa, ada pula yang pekak rasa. Ada yang mudah tersentuh iba-haru, ada pula yang susah terenyuh-sendu, meski sederet pilu hadir tepat di depan pintu kalbu.
Tak mudah memang, kita menggugah kesadaran nurani untuk berempati. Apalagi jika hatikita tak pernah diisi siraman menyejukkan petuah sarat hikmah.
Kepekaan rasa dalam keluarga misalnya, antara anak-orang tua, antarsaudara, tak serta merta hadir begitu saja. Sering ada jeda dan rongga. Kepekaan rasa antartetangga, tak selalu hadir dengan mudah. Meski tembok rumah saling berimpit, jika hati sempit selalu ada alasan untuk berkelit.
Kepekaan rasa harus terus diasah, dengan komunikasi dan saling empati. Agar terjalin ikatan hati tak kenal henti.
Pekak rasa karena hati tak saling menyapa. Jiwa tak jua bersua. Pekak rasa karena jeda rasa terlalu lama. Terlebih jika ditambah raga yang tak saling tegur sapa. “Sempurnalah” semuanya.
Peka rasa akan menghadirkan makna. Pekak rasa akan berujung derita.
Mana yang kau pilih?
Ruang Inspirasi, Senin, 23 Desember 2019.