Oleh: Ihdal Husnayain, SE, MSi )*
Di barat Kota Qaffin, utara Tulkarm, sebuah wilayah di utara Tepi Barat, berbagai alat berat dan bahan bangunan mulai ditempatkan untuk membuat sebuah proyek baru tembok apartheid Israel. Pembangunan tembok setinggi 9 meter dan memanjang sejauh 45 km itu membentang dari Desa Salem hingga Kota Tulkarm. Bukan sekadar tembok, pembatas ini juga akan dibentengi dengan berbagai sensor dan perangkat elektronik, yang dibangun dengan alasan menjaga keamanan.
November 2022 lalu, mantan Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz menyetujui pembangunan tembok beton ilegal di Tepi Barat utara, yang direncanakan akan membentang sejauh 100 kilometer. Proyek di Qaffin merupakan salah satu pelaksanaannya.
Muhammad Saeed, seorang petani dari wilayah tersebut mengeluhkan bahwa pembangunan tembok akan menghalangi secara total akses para petani ke puluhan ribu dunam lahan pertanian yang mereka miliki. Saeed sendiri memiliki lahan seluas 5.000 dunam (1.236 hektar), yang selama ini sudah sulit ia jangkau karena adanya berbagai pembatasan Israel.
“Dulu, kami biasa masuk selama 3 hari, meski mereka sering mencegah kami dengan dalih keamanan, tetapi dengan dibangunnya tembok ini, kami akan dicegah untuk masuk sepenuhnya, karena niat mereka memang untuk mengganggu dan merampas tanah pertanian kami,” terang Saeed.
Provinsi Tulkarm, yang namanya berasal dari kata “Tur Karm”, yang berarti “Gunung Kebun Anggur” merupakan sebuah daerah subur di utara Palestina, sekitar tujuh mil dari Laut Mediterania dan berada tepat di sebelah barat Nablus. Perekonomian daerah ini sangat mengandalkan sektor pertanian, dari buah jeruk hingga zataar (thyme), yang menjadi komoditas khas Timur Tengah. Daerah ini juga merupakan rumah dari kehidupan komersial yang dinamis, dengan dua tim sepak bola, dan satu-satunya universitas pemerintah di Palestina. Populasinya yaitu 202.401 jiwa (PCBS, 2022).
Dalam beberapa tahun terakhir, kota dan daerah sekitar Tulkarm telah kehilangan sumber daya tanah dan air akibat pembangunan permukiman Israel. Padahal, daerah ini dulunya terkenal dengan air yang berlimpah. Namun, seperti di wilayah Tepi Barat lainnya, kini para petani terpaksa mengandalkan air tangki yang mahal dan tadah penampung air hujan untuk mengairi lahan mereka.
Di tengah keterbatasan ini, para pemukim yang dilindungi tentara Israel seringkali menyerang para petani dan menghalangi akses mereka untuk dapat mengolah lahan. Pada Minggu (1/1), ketika tahun 2023 baru saja dimulai, pemukim Israel menghancurkan isi sebuah gudang pertanian di Desa Shufa, tenggara Tulkarm, milik Tahsin Hamed seorang petani Palestina. Penyerangan gudang milik Hamid tersebut terjadi untuk kedua kalinya dalam satu pekan. Para pemukim Yahudi berulang kali menyerbu lahan pertanian desa, mencegah petani menggembalakan ternaknya, dan memaksa mereka pergi dengan todongan senjata.
Saat ini, dengan adanya pembangunan tembok apartheid baru di wilayah ini, perampasan Israel atas tanah Palestina menjadi semakin nyata. Tayseer Amarneh, Walikota Akaba di Distrik Tulkarm, mengatakan, “Tanah ini milik Palestina. Pembangunan tembok dengan alasan keamanan ini membuat kami tidak akan dapat mengaksesnya. Lahan kami dirampok dengan dalih yang lemah.”
“(Sebelumnya) mereka mendirikan pagar dan mengatakan bahwa pagar itu didirikan untuk keamanan, dan hari ini mereka sedang membangun tembok beton dengan alasan yang sama. Untuk kesekian kalinya orang-orang Palestina akan kehilangan tanah mereka yang sedang digarap,” walikota itu menambahkan.
Matriks Kontrol dan Penindasan
Pembangunan tembok Apartheid Tepi Barat telah dimulai israel sejak dua puluh satu tahun yang lalu. Tepatnya pada 23 Juni 2002, ketika pemerintah Israel mengesahkan sebuah rencana untuk membangun sebuah ‘tembok keamanan’ sepanjang Tepi Barat. Pada tahun 2003, mereka telah membangun 143 kilometer dari struktur kolosal, yang diproyeksikan akan membentang sepanjang 712 kilometer. Pada 2022, PBB memperkirakan bahwa sekitar 65% dari rencana pembangunan tersebut telah selesai.
Bertentangan dengan dalih pembangunannya yang dikatakan untuk menjaga keamanan, wilayah pembangunan tembok melenceng jauh dari Garis Hijau, dengan 85% berada di wilayah Tepi Barat. Garis Hijau merupakan penanda perbatasan antara wilayah Palestina dengan Israel (Palestina yang dijajah). Oleh karena itu, dua tahun kemudian, pada 2004, Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan bahwa tembok Israel di Tepi Barat yang diduduki dan di Al-Quds Timur adalah ilegal.
Baca juga: Kunci Masjid Ibrahami, Pasukan Israel Kembali Tahan Seorang Gadis Palestina
Khalil, dari Kota al-Eizariya yang dulunya merupakan wilayah pinggiran Yerusalem (Al-Quds) Timur, tidak pernah melupakan bagaimana saat tembok apartheid mulai dibangun. Khalil yang lahir pada 1983 dari keluarga Kristen di al-Eizariya telah tumbuh tanpa tembok dan bersekolah di Kota Suci Al-Quds.
“Tembok itu menghancurkan masa kecil kami,” katanya, “saya biasa bersepeda ke Yerusalem, saya biasa berlari, saya biasa berjalan… Tembok membuat hidup kami lebih sengsara, membuat orang lebih miskin, membatasi impian kami.”
Pada 2003, selama pembangunan tembok apartheid di wilayah al-Eizariya, ibu Khalil didiagnosis menderita kanker. Dia cukup beruntung untuk dapat dirawat dengan izin medis di Rumah Sakit Augusta Victoria/Al-Muttala. Namun, Khalil yang tidak memperoleh izin Israel, tidak bisa ikut mendampinginya. Tembok berdiri di antara dia dan ibunya yang sekarat.
“Kenyataannya sangat pahit,” kata Khalil. “Rasanya sulit ketika ibumu sekarat dan dia hanya berjarak lima menit.” keinginan Khalil untuk mendampingi ibunya dijegal oleh tembok apartheid dan izin melintas yang dipersulit. Pada akhirnya, pasukan pendudukan Israel menyetujui “surat belas kasihan” yang meminta Khalil untuk mengunjungi ibunya sebelum meninggal, meski ia datang ketika semua sudah terlambat.
“Jiwanya sedang menungguku, tapi dia sudah mati.” Dia menggelengkan kepalanya. “Ini penghinaan.”
Sekarang, Khalil adalah orang tua, dan dia berharap untuk melindungi anak-anaknya seperti keluarganya sendiri melindunginya. Namun demikian, ia mengakui, “Kita tidak bisa menyelamatkan anak-anak kita jika penindas masih menindas kita.”
Lebih dari sekadar sebuah kebijakan apartheid, tembok pemisah Tepi Barat merupakan upaya Israel untuk mengontrol dan menindas rakyat Palestina. Omar Shakir, direktur Human Rights Watch untuk Israel dan Palestina, mengatakan bahwa tembok apartheid berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari warga Palestina, sebab tembok ini memisahkan ribuan warga Palestina satu sama lain, tanah pertanian yang mereka miliki, dan dari infrastruktur dan layanan penting yang dibutuhkan.
“Tembok itu sendiri adalah bagian dari matriks kontrol dan pelanggaran hak yang merupakan bagian dari pengalaman sehari-hari warga Palestina,” kata Shakir.
Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan tembok apartheid telah banyak memberikan dampak ekonomi bagi palestina. Pembatasan perjalanan di dalam maupun keluar Tepi Barat membatasi pergerakan barang dan orang sehingga sektor ekonomi semakin melambat.
Baca juga: Mengenal 15 Gerbang Kompleks Masjid Al Aqsa
Bank Dunia memperkirakan pada 2013 bahwa pembatasan pergerakan akibat tembok apartheid telah merugikan ekonomi Palestina sebesar $3,4 milyar per tahun. Akses ke lokasi pekerjaan di “Israel” yang pernah menjadi sumber pendapatan utama bagi banyak masyarakat perbatasan telah sangat berkurang. Pendapatan dari perdagangan dan manufaktur turun drastis, karena berkurangnya pembelian oleh pekerja yang sebelumnya bekerja di Israel. Pembatasan perjalanan juga membatasi pelanggan untuk mengakses pasar lain, sementara produsen dan pekerja pertanian tidak dapat secara teratur mengangkut barang ke pasar di tempat lain di Tepi Barat.
Di tengah menurunnya lapangan kerja di sektor lain, pertanian menjadi sumber penghidupan yang lebih penting di berbagai wilayah subur di Tepi Barat. Namun, kemampuan sektor pertanian untuk berkembang semakin menurun akibat pembangunan pembatas yang secara total menghalangi akses para pemilik tanah. Menurut Biro Pusat Statistik Palestina, pada 2003, sebanyak 45% penduduk Palestina bekerja di bidang pertanian, termasuk kehutanan dan perikanan. Namun pada 2017, persentasenya turun menjadi hanya 14%. Khusus di Tepi Barat, data menunjukkan 30% penduduk bekerja di pertanian pada 2013, meskipun hanya 16% yang bertahan di industri tersebut pada 2017. Sementara pada 2022, di tengah pelambatan ekonomi Palestina yang hanya mencapai pertumbuhan 3,6%, dibandingkan pertumbuhan tahun 2021 yang mencapai 7%, sektor yang paling menurun adalah pertanian, yaitu dengan penurunan nilai tambah sebesar 2,6%.
Penyebab penurunan dramatis tersebut adalah karena berbagai aturan penjajah Israel, antara lain melalui pembangunan tembok apartheid, perintah penggusuran paksa, kekerasan pemukim, dan berbagai serangan yang terjadi di Tepi Barat dan Gaza. Penjajahan, bagaimanapun, secara sistematis telah memiskinkan masyarakat dan menghancurkan nilai kemanusiaan.
“Pada akhirnya, tindakan lebih konkret diperlukan oleh masyarakat internasional dalam menanggapi pelanggaran serius terhadap hukum hak asasi manusia internasional yang merupakan bagian dari realitas sehari-hari warga Palestina di bawah pendudukan,” kata Shakir.
“Setiap hari kami menyaksikan dan hidup di bawah kejahatan penjajahan, tidak hanya dengan tembok pemisah tetapi juga dengan gencarnya pembangunan permukiman Israel,” kata Ghassan Daghlas, seorang pejabat Palestina yang memantau kegiatan pemukiman di Tepi Barat utara, “Kami membela martabat kami, tanah air kami, dan hukum internasional yang kami harap akan segera dilaksanakan.”
)* Penulis adalah anggota Departemen Resource Development and Mobilization Adara Relief International
Dikutip utuh dari laman Adararelief.com