JAKARTA, MENARA62.COM – Dirjen Pendidikan Vokasi Kemendikbudristek Kiki Yuliati mendorong perguruan tinggi vokasi untuk menelisik ulang kurikulum yang digunakan agar lebih dapat mengakomodir perkembangan di lapangan. Transformasi kurikulum ini bisa dilakukan karena regulasinya memang memungkinkan.
“Prinsipnya kita ingin pembelajaran di perguruan tinggi vokasi selentur mungkin, yang terpenting adalah kompetensi akhirnya dapat dicapai oleh mahasiswa dalam kurun waktu yang ditentukan,” kata Kiki pada coffee morning bersama Forum Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan, Rabu (13/9/2023).
Caranya bagaimana? Kiki menyerahkan sepenuhnya kepada masing-masing perguruan tinggi. Dengan catatan, perguruan tinggi harus bisa mempertanggungjawabkan pilihannya tersebut terutama terkait dengan akreditasi atau ketika akan melakukan kerjasama dengan perguruan tinggi lainnya.
“Jadi secara akademik, mereka harus bertanggungjawab dengan cara pembelajaran yang mereka pilih,” tegasnya.
Menurut Kiki, para dosen atau akademisi yang selama ini menyusun kurikulum harus lebih banyak terpapar (terekspos) oleh teknologi pembelajaran terbaru, cara pembelajaran terbaru dan strategi pembelajaran terbaru. Sehingga saat melakukan transformasi kurikulum, maka perubahan tersebut benar-benar mengakomodir kebutuhan lapangan.
Salah satu strategi pembelajaran yang sedang didorong oleh Ditjen Vokasi saat ini adalah project based learning. Dengan project based learning tersebut, mahasiswa yang memiliki kompetensi akan lebih cepat selesai karena tentu akan lebih cepat menyelesaikan project-nya.
Diakui Kiki, beberapa perguruan tinggi vokasi saat ini sudah melakukan inovasi-inovasi terkait kurikulum dan system pembelajaran. “Mereka cepat mencari, beradaptasi dan ini tidak melanggar regulasi, karena memang regulasinya sekarang sangat memungkinkan, termasuk dalam hal semester antara (semester pendek) dan system paket mata kuliah,” tegasnya.
Terkait sistem paket mata kuliah yang dikeluhkan mahasiswa pendidikan tinggi vokasi, Kiki meminta agar perguruan tinggi vokasi tidak lagi terlalu terikat dengan aturan tersebut. Terkecuali untuk mata kuliah yang kompetensinya bersifat natural dan berjenjang. “Dosen-dosen yang belum inovatif, kita buka dulu regulasinya lalu kita bilang kalau Anda berinovasi, Anda tidak salah, regulasinya sudah benar,” tegasnya.
Ia berjanji akan berdiskusi lebih lanjut lagi dengan para pemimpin perguruan tinggi vokasi terkait system paket mata kuliah ini. Intinya perguruan tinggi vokasi didorong untuk mengadopsi kebijakan yang lebih tranformatif sehingga pembelajaran lebih lentur dan fleksibel.
Menurut Kiki, dengan strategi pembelajaran yang mengalami banyak perubahan, dukungan sarana prasarana yang lebih lengkap, perkembangan teknologi informasi dan prosedur kerja industri, aturan paket mata kuliah semestinya tidak berlaku kaku seperti dulu.
Kiki menegaskan dalam hal trasformasi kurikulum, ada tiga hal yang harus diperhatikan oleh para akademisi. Yakni perkembangan teknologi, strategi pembelajaran, dan sarana prasarana yang dimiliki oleh perguruan tinggi. Ketiga hal tersebut harus menjadi pertimbangan ketika akademisi akan melakukan transformasi kurikulum.
Ia mencontohkan ketika akademisi melakukan transformasi kurkulum tetapi sarana prasarana kurang mendukung, pada akhirnya kurikulum baru tersebut tidak bisa dijalankan maksimal. “Dan karena persoalan keterbatasan sarana prasarana ini, banyak program studi yang kesulitan melakukan transformasi kurikulum. Itu mengapa sekarang pembelajaran kita buat slentur mungkin,” lanjut Kiki.
Diakui Kiki, pihaknya terus melakukan berbagai upaya untuk mendorong peningkatan mutu dan kualitas pembelajaran pada pendidikan vokasi baik jenjang menengah maupun perguruan tinggi. Pembenahan termasuk praktik baik pendidikan vokasi akan terus dikomunikasikan kepada masyarakat luas sehingga minat untuk melanjutkan ke pendidikan vokasi semakin meningkat. “Kami ingin vokasi menjadi pilihan terbaik dan utama bagi individu ketika akan melanjutkan pendidikannya,” tandas Kiki.