JAKARTA, MENARA62.COM– Pemerintah daerah (Pemda) harus memiliki data Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) guna menyusun kebijakan perumahan yang baik dan benar. Sebab membangun perumahan harus didasarkan pada kebutuhan dan keterjangkauan masyarakat.
“Data MBR tidak hanya memperlihatkan penghasilan dan pengeluaran rumah tangga, juga jumlah keluarga, kondisi/kualitas hunian, lokasi tinggal dan profesipekerjaan. Dengan data tersebut, pemerintah dapat menyusun kebijakan dan perencanaan perumahan yang lebih pas, yang pada gilirannya menjadi panduan bagi pembangunan perumahan, baik oleh pemerintah, masyarakat swadaya dan pengembang”, tutur Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Lana Winayanti.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman pasal 1 mendefinisikan Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang selanjutnya disingkat MBR adalah masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah. Saat ini pemerintah menetapkan kriteria MBR adalah mereka yang memiliki keterbatasan daya beli dan belum memiliki rumah dengan penghasilan maksimal Rp 4 juta dan Rp 7 juta. Sehingga masing-masing berhak mendapatkan bantuan dan kemudahan pembiayaan perumahan bagi pemilikan rumah tapak dan rumah susun.
“Kriteria ini berlaku secara umum untuk seluruh daerah di Indonesia, padahal biaya hidup dan standar upah minimal berbeda-beda antar satu daerah dengan daerah lainnya,” lanjut Lana.
Idealnya setiap provinsi menetapkan MBR dan mempunyai data MBR di daerahnya berdasarkan kriteria baku tertentu yang berlaku secara nasional. Keberadaan data MBR seperti ini diperlukan untuk menyusun kebijakan perumahan yang baik dan benar.
Dengan data tersebut, pemerintah dapat menyusun kebijakan dan perencanaan perumahan yang lebih pas, yang pada gilirannya menjadi panduan bagi pembangunan perumahan, baik oleh pemerintah, masyarakat swadaya dan pengembang.
Diakui saat ini peran Pemda dalam mengarahkan pembangunan perumahan MBR sebagai bagian dari pembangunan perkotaan masih jauh dari memadai bahkan tidak ada kaitan yang jelas. Masing-masing berjalan sendiri-sendiri sehingga pembangunan perumahan yang dilakukan pengembang perumahan tidak dilakukan sesuai arah rencana pengembangan perkotaan dan penyediaan infrastruktur, melainkan dilakukan di lokasi yang memberikanharga tanah murah dengan konsekwensi terletak jauh dan agak terisolirdi pedalaman.
“Lokasi tersebut sudah bisa dipastikan tidak didukung prasarana dan utilitas, jauh dari jalur transportasi umum, dansulit untuk mencapai skala ekonomi” lanjut Lana Winayanti.
Dalam pembangunan perumahan, kendala utama selain perijinan adalah ketersediaan tanah. Untuk itu akses terhadap tanah perlu dipermudah dan tanah yang ada dimanfaatkan secara optimal misal dengan pembangunan perumahan vertikal.
Untuk lokasi di perkotaan, perlu didorong pembangunan perumahan di atas tanah milik negara atau tanah wakaf, di mana kepemilikan atas unit rumah dipisahkan dari hak atas tanah. Sehingga harga rumah menjadi terjangkau, sekaligus menjaga optimalisasi pemanfaatan tanah.
Dengan demikian penghuni mempunyai kepastian bermukim (security of tenure) jangka panjang. Untuk itu konsep Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung (SKBG) yang merupakan kewenangan Pemerintah Kota/Kabupaten perlu didorong pelembagaannya.