32.8 C
Jakarta

Pemerintah Harus Lindungi Sektor Ekonomi di Tengah Ancaman Resesi Akibat COVID-19

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Pemerintah sebaiknya tidak mengeluarkan kebijakan menaikkan cukai atau pajak selama wabah COVID-19 masih berlangsung, baik cukai rokok maupun cukai produk lainnya. Sebab wabah COVID-19 yang kini mengancam terjadinya resesi ekonomi global, telah membuat perekonomian nasional menjadi tidak stabil.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (FEM IPB) Prof. Dr. Didin S Damanhuri berpendapat dalam kondisi ekonomi nasional tidak stabil seperti sekarang ini, pemerintah sebaiknya melindungi seluruh sektor ekonomi. Jika ada perusahaan yang masih bisa melakukan ekspor harus didukung dan jika perlu diberikan insentif.

“Niat menaikkan cukai, pajak, dan sebagainya itu kan asumsi sebelum terjadi wabah virus corona. Jadi mengapa dipertahankan?  Sekarang sudah tidak relevan,” kata Prof. Didin, kepada pers.

Menurut Prof. Didin hal yang penting dilakukan pemerintah saat ini adalah bagaimana menyelamatkan warga yang kemiskinan ekstremnya mencapai 25 juta jiwa dan yang hampir miskin itu mencapai 130 juta jiwa. Mereka adalah kelompok masyarakat yang rawan kelaparan akibat terpuruknya perekonomian nasional setelah dihantam wabah COVID-19.

Baca Juga:

Pemulihan maupun pertumbuhan ekonomi di Indonesia lanjut Prof Didin, sangat bergantung pada keberhasilan pemerintah menangani penyebaran Covid 19. Juga sangat tergantung kepada keberhasilan Indonesia maupun negara lain menemukan obat anti atau vaksin COVID-19.

“Jadi, bahasanya, pemerintah harus melawan corona dan dampak ekonominya. Jadi jangan lupa, kalau kita berhasil melawan corona itu adalah recovery strategy juga untuk ekonomi,” ujarnya.

Prof. Didin berpendapat selain penemuan obat atau vaksin COVID-19, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) juga memberikan pengaruh signifikan dalam upaya membendung COVID-19 di Indonesia. Dengan dana yang relative kecil dibanding negara lain, hanya Rp70 triliun, pemerintah harus dapat memastikan bahwa bantuan social tersebut tepat sasaran dan tidak bocor.

Karena kecilnya dana yang tersedia tersebut, pemerintah jelas Prof. Didin harus dapat membuat skala prioritas penggunaan dana dengan mengutamakan pada aspek pencegahan wabah COVID-19 dibanding untuk perbaikan sektor ekonomi. Upaya ini bisa dilakukan antara lain dengan memproduksi secara massal Alat Pelindung Diri (APD) seperti baju hazmat untuk para dokter dan perawat di rumah sakit, memproduksi massal masker untuk seluruh penduduk, serta subsidi lainnya terkait wabah COVID-19.

“Langkah tersebut memang ada konsekuensi spending tetapi spending itu adalah perputaran uang dan itu menyelamatkan nyawa manusia sekaligus menyelamatkan sektor-sektor ekonomi sebenarnya. Jadi, jangan pendekatannya cost tapi ini human investment, ini adalah sebuah penyelamatan orang-orang unggul bahkan dokter dan perawat,” ujar Prof. Didin.

Dana BHCHT untuk penanganan COVID-19

Prof. Didin juga sepakat dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK)  No 19/PMK.07/2020. PMK tersebut salah satunya menyebutkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) dan dana bagi hasil sumberdaya alam (DBHSDA) dapat digunakan oleh pemerintah daerah untuk penanganan dan pencegahan penularan COVID-19. Alasanya, penyelamatan masyarakat dari penularan COVID-19 menjadi prioritas utama. Dan hal itu menjadi kunci utama bagi pemulihan ekonomi.

“Setuju sekali. Jadi sekarang harus dimobilisasi dana (BHCHT), terutama untuk daerah-daerah yang petani tembakaunya tinggi seperti Jatim atau Sumatera Utara. Kan tidak semua petani tembakau, jadi harus clustering dana itu. Atau kalau masih cukup besar cluster dimana yang banyak penyakit atau covid tinggi diutamakan juga. Saya setuju itu dana bagi hasil itu dimanfaatkan untuk melawan corona juga,” papar Prof. Didin.

Baca Juga:

Menurut Prof. Didin, hal yang memprihatinkan selama ini  DBHCT belum dimanfaatkan untuk pencegahan COVID-19. Pemerintah malah merealokasikan dana pendidikan untuk membiayai pencegahan wabah COVID-19.

“Harusnya proyek-proyek yang tidak prioritas ditunda. Jadi ini kayaknya pendekatannya Indonesia kurang pas. Tidak ada sense of crisis  dengan menggunakan dana pendidikan dan tidak menggunakan dana-dana proyek nonprioritas. Jadi masih ada mimpi kayaknya mau cepet selesai (pencegahan Covid 19) lalu proyek nanti dilanjutkan. Kayaknya kurang membaca perkembangan yang berat dunia ini,” lanjut Prof. Didin.

Terkait industri hasil tembakau, Prof. Didin mengakui bahwa  Industri hasil tembakau selama ini memang terbukti menggerakkan perekonomian masyarakat di kota dan di daerah. Untuk itu sudah sewajarnya pemerintah melindungi dan membiarkan para petani tembakau bekerja serta memikirkan bagaimana menampung hasil produksinya.

Tetapi seperti apa bentuk stimulus bagi buruh dan petani tembakau, Prof. Didin mengakui belum mengetahuinya secara pasti. Tetapi yang pasti jika perusahaan atau industri hasil tembakau  masih bisa berproduksi dan melakukan ekspor hasil produksinya keluar negeri semestinya harus terus dilindungi, karena dapat menggerakan  perekonomian masyarakat

“Untuk stimulus yang diberikan pemerintah untuk petani dan buruh tembakau saya enggak tahu persis seperti apa, tapi kira-kira kan mereka tetap bekerja kegiatan pertaniannya dan tinggal sosial distancingnya saja diatur lalu kemudian bagaimana menampung produknya,” tukasnya.

Ia juga sependapat dengan prediksi Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia akibat pandemi COVID-19 ini. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 ini bisa dibawah 4 persen, bahkan ekstrimnya bisa hanya mencapai 0,4 persen, tergantung seberapa lama wabah COVID-19 bisa diatasi.

“Pertumbuhan ekonomi tahun ini sangat berat, perkiraan antara 2 atau 3 persen, atau bisa juga malah minus. Prediksi Menkeu itu sangat realistis,” tutupnya.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!