PURWOKERTO – Kementerian Perdagangan harus memiliki alasan yang realistis dan rasional ketika memutuskan untuk impor beras. Hal tersebut dikemukakan pakar pertanian dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Profesor Totok Agung Dwi Haryanto seperti dikutip dari kantor berita Antara, Jumat (21/9).
“Selama ini petani kita telah mencurahkan dan mendedikasikan semua yang dimilikinya, waktu, tenaga, dan pikirannya, untuk menyediakan pangan bagi seluruh penduduk NKRI,” katanya di Purwokerto.
Akan tetapi, kata dia, upaya pemerintah untuk menyejahterakan petani belum optimal.
Menurut dia, hal itu disebabkan sampai saat ini petani tetap menjadi bagian terbesar penyumbang angka kemiskinan di Indonesia.
“Impor beras, terutama saat panen, tentu akan merugikan petani. Harga di tingkat petani tentu akan turun,” tambahnya.
Baginya upaya membatasi atau menghentikan impor beras adalah satu bentuk keberpihakan kepada petani.
“Artinya, ada penghormatan dan penghargaan terhadap jerih payah petani. Setidaknya, harga beras tidak akan turun,” tegasnya.
Terkait dengan hal itu, Totok mengatakan kebijakan Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso untuk menahan impor adalah langkah yang tepat di samping tetap perlu upaya lain untuk lebih mengoptimalkan peran Bulog.
Sementara itu, kata dia, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita sebagai pembantu Presiden yang bertanggung jawab dan mengatur kaitannya dengan perdagangan, harus memiliki alasan yang sangat realistis dan rasional ketika memutuskan impor beras.
“Misalnya, hanya khusus untuk jenis beras yang dikonsumsi masyarakat namun belum bisa diproduksi oleh petani kita,” katanya.
Kendati demikian, dia mengatakan keputusan itu tentu harus tetap mempertimbangkan keberpihakan kepada petani dan penghargaan terhadap jerih payah petani.