JAKARTA, MENARA62.COM – Lebih dari 100 juta pemilih muda Indonesia berpotensi menentukan arah dan nasib bangsa ke depan. Dengan kekuatan berpikiran terbuka dan melek teknologi, mereka tidak saja berpotensi menyebarkan dan menjaga nilai-nilai toleransi, tapi juga menjadi aktor utama memfilter berita hoaks dan ujaran kebencian kepada masyarakat. Harapannya tentu saja, pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) berlangsung damai dan sejuk, serta menghasilkan calon pemimpin yang berkualitas.
Demikian benang merah yang mengerucut dari Webinar untuk kaum muda (Webteen) bertajuk “Jadilah Pemilih Pemula Cerdas” yang diadakan Yayasan Lentera Anak bersama Universitas Mercu Buana, pada hari Sabtu (1/4/2023).
Anak muda menjadi sangat dominan pada pemilu yang akan berlangsung bulan Februari 2024. Betapa tidak, pada tahun tersebut, jumlah generasi Z dan milenial dengan rentang umur 20-44 tahun diperkirakan mencapai lebih dari 110 juta orang. Jumlah ini sekitar 55-60 persen dari total jumlah pemilih yang sebesar 206.462.767 orang, berdasarkan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu yang dihimpun Kemendagri.
Dari keseluruhan calon pemilih generasi Z dan milenial tersebut, ada potensi suara yang tidak kalah penting, yakni dari para pemilih pemula dengan kisaran usia 17-21 tahun. Mereka adalah para pemilih yang baru pertama kali akan memberikan hak suaranya dalam pemilu. Rata-rata kelompok pemilih ini baru lulus SMA atau sedang menempuh pendidikan tinggi.
Meskipun memiliki potensi suara yang sangat besar, namun tetap ada kekhawatiran bahwa pemilih pemula dan generasi milenial justru tidak mau memilih dalam pemilu. Mereka inilah yang disebut akan menjadi penyumbang “golput”, atau istilah untuk pihak yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya dalam pemilu dengan alasan apapun.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), August Mellaz, menjelaskan bahwa berdasarkan Survei Indikator Publik Indonesia pada 2021, kepercayaan Anak Muda terhadap lembaga partai politik terlihat rendah. “Hanya tercatat 32.67% anak muda percaya kepada Partai Politik. Inilah yang dikhawatirkan. Generasi milenial dan Z ini melek teknologi tapi apatis terhadap politik,” katanya.
Padahal, kata August, pemilu menjadi momentum yang penting karena setiap negara di dunia membutuhkan regenerasi siklus kepemimpinannya. “Karena pemilu sejatinya menjadi sarana untuk mengaspirasikan dan menyampaikan aspirasi dari mereka yang empunya hak suara. Pergantian siklus kepemimpinan ini adalah hal yang biasa. Bahkan adik-adik pemilih pemula yang saat ini menjadi pemirsa acara “Webteen Menjadi Pemilih Pemula Cerdas”, pada dua hingga empat periode pemilu selanjutnya akan berganti memegang tampuk kekuasaan dalam mengelola negara,” tegas August.
August menambahkan, dominasi jumlah pemilih dari kalangan generasi milenial pada 2024 telah menunjukkan bahwa kaum muda adalah pemangku kepentingan yang sesungguhnya. Karena itu, memilih pemimpin yang sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan generasi milenial dan generasi z mereka menjadi hal yang penting.
Namun ia tidak menafikan memang adanya ketidakpuasan kaum muda terhadap partai politik atau politisi dalam mewakili aspirasi masyarakat. Tercatat ada 52,7 persen anak muda mengatakan partai politik atau politisi belum berhasil mewakili aspirasi Masyarakat (Survei Indikator Publik Indonesia, 2021). “Karena itulah sangat dibutuhkan pendidikan pemilih yang baik dan berkesinambungan untuk meningkatkan pemahaman para pemilih pemula,” jelasnya.
Ancaman Hoaks dan Konten Kebencian
Selain dikhawatirkan akan menyumbang angka “golput” dalam pemilu, penelitian menunjukkan bahwa pemilih pemula aktif menggunakan media sosial dan menjadikan media sosial sebagai sumber informasi utama. Lebih kurang, pemilih pemula adalah pemilih yang paling berpengaruh dalam perebutan suara, khususnya melalui kampanye di media sosial. Pemilih pemula cenderung memilih pasangan yang aktif memberikan informasi lewat media sosial karena dianggap menarik dan mudah dijangkau (Nurcholis & Rizki Putra, 2020).
Potensi tingginya penggunaan media sosial di kalangan pemilih pemula telah menjadi incaran para kandidat pemimpin di Tanah Air. Berkaca pada ajang pemilihan presiden di tahun 2019, para kandidat berlomba-lomba menguasai internet dan media sosial agar dapat mempengaruhi masyarakat, khususnya kaum muda.
Namun yang menjadi permasalahan adalah mayoritas (92,40 persen) informasi yang beredar di dunia maya merupakan hoaks dan konten kebencian. Ancaman lainnya adalah terbentuknya opini masyarakat yang riuh dan dapat berpengaruh pada terjadinya persekusi digital maupun dunia nyata (Indo telko, 2018).
Pegiat literasi digital dari Networking, Cybernetics, and Engineering Management (NCM), Fardan ST., M.Sc, menjelaskan, terkait informasi yang bias ini ada 3 jenis kategori informasi yang biasa diterima masyarakat, Pertama, mis-information, yakni informasi palsu yang dibagikan tanpa maksud menyebabkan kerugian, kedua dis-information, yakni informasi palsu yang dibagikan dengan sengaja untuk menyebabkan bahaya dan masalah, dan ketiga, mal-information, dimana informasi tersebut sejatinya benar, tapi informasi ini dibagikan dengan sengaja untuk menyebabkan bahaya.
Karena itu ia menekankan pentingnya memberikan penyuluhan mengenai literasi digital kepada pemilih pemula, mencakup etika digital dan budaya digital, sebagai pedoman berperilaku sesuai dengan kaidah normatif di lingkungan internet.
“Kecakapan digital dan critical thinking menjadi sangat penting bagi pemilih pemula, karena dengan cakap literasi digital diharapkan pemilih pemula dapat lebih berhati-hati dan santun dalam beropini, serta membagikan hanya berita atau informasi yang akurat saja,” ujarnya.
Fardan menambahkan, penggunaan sosial media untuk propaganda dan disinformasi terjadi di banyak negara dan melibatkan sektor swasta. Faktanya, propaganda dan disinformasi ini terjadi di 81 negara. Dan dalam beberapa tahun terakhir berita-berita palsu terus muncul secara signifikan sebagai propaganda. “Hal ini menyadarkan kita bahwa setiap orang seharusnya memiliki ketrampilan yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi kebenaran dan membedakan informasi yang bias.
Disinilah seharusnya generasi milenial dan generasi z yang berpikiran terbuka dan melek politik berperan untuk menyaring informasi apa saja yang layak untuk dibagikan.
Karena, dengan kecakapan digital yang sudah dimiliki, kaum muda mampu menyebarkan dan menjaga nilai-nilai toleransi atas persaingan politik, sehingga pemilu dapat dimaknai sebagai sarana integrasi bangsa.
Kegiatan Webteen bertajuk “Jadilah Pemilih Pemula Cerdas” ini merupakan kolaborasi ketiga kalinya antara Lentera Anak dengan Universitas Mercu Buana, dalam program pengabdian masyarakat. Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat merupakan salah satu kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi, sebagai bentuk tugas bakti kepada negara dan masyarakat yang diadakan Universitas Mercu Buana secara rutin setiap tahun ajaran.