SOLO,MENARA62.COM – Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menjadi tuan rumah pelaksana Pengajian Ramadan Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) dan Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah (PCA) se-Solo Raya. Pengajian ini berlangsung di Gedung Edutorium KH Ahmad Dahlan UMS, Ahad (23/3/2025).
KH. Drs. Anwar Sholeh, M.Hum., selaku Ketua PDM Solo menyampaikan terima kasihnya kepada UMS atas yang telah mengakomodir segala fasilitas untuk kegiatan pengajian ini.
“Terima kasih Pak Rektor dan seluruh jajaran UMS atas kesetiaannya. Pokoknya memang kalau di tempat UMS itu semuanya beres,” tuturnya.
Anwar Sholeh menyampaikan bahwa pengajian pada hari ini ditujukan agar warga Muhammadiyah khususnya se-Solo Raya mendapatkan penguatan dan pengetahuan yang berkaitan dengan kemajuan Muhammadiyah. seperti ideologi, politik, dan organisasi (ideopolitor) Muhammadiyah.
Mengakhiri pembicaraannya, dia juga berterima kasih kepada Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah atas penyelenggaraan ideopolitor hari ini secara serentak di seluruh Jawa Tengah.
Wakil Ketua PWM Jawa Tengah Prof. Dr. Muhammad Abdul Fattah Santoso, M.Ag., dalam kesempatan tersebut memberikan sambutan sekaligus arahan. Dia menyampaikan bahwa kita harus bersyukur karena pada hari datang untuk melaksanakan salah satu tugas dari wahyu pertama dari Allah SWT kepada Rasulullah SAW yaitu untuk membaca. Membaca tidak hanya membaca teks, tetapi membaca situasi, gejala, fenomena.
Bulan Ramadan menjadi bulan mengecas ulang dari keberagamaan kita baik yang berupa ajaran Islam maupun penerapannya dalam kita bermuhammadiyah. Seperti pada kali ini yang mengangkat tema utama yaitu persoalan Washatiyah. Persoalan Wasathiyah secara praktik sudah dilakukan oleh Muhammadiyah sejak berdirinya organisasi. Seperti dengan penerimaan kearifan lokal di dalam bermuhammadiyah untuk menjadi bagian dari Wasathiyah atau tengahan.
“Kalau kita lihat dari foto-foto pimpinan Muhammadiyah di masa lalu maka mereka masih bersarung, masih memakai jas. Di situ kita bisa melihat bagaimana Muhammadiyah awalnya dari segi perilaku yang diterapkan itu menunjukkan wasathiyah atau tengahannya,” jelasnya.
Ia menambahkan, termasuk menghadapi modernitas dan menghadapi penjajahan Belanda. Namun praktik tersebut ternyata tidak pernah dirumuskan sehingga baru dirumuskan dalam Risalah Islam Berkemajuan yang merupakan keputusan dari Muktamar ke-48 di Solo.
Tugas lain dari warga Muhammadiyah adalah menyiapkan diri untuk menjadi wasathiyah yang artinya juga unggul, yang diilhami dari QS Al-Imran ayat 110. Dia juga menyampaikan sikap yang harus dimiliki warga Muhammadiyah adalah sikap seimbang.
“Sikap seimbang itu harus ada di dalam diri kita, yaitu seimbang antara kehidupan individual dan kehidupan masyarakat. Yang kedua, keseimbangan lahir dan batin, dan yang ketiga keseimbangan duniawi dan ukhrawi,” kata dia.
Wakil Ketua PWM Jawa Tengah mengatakan, dalam hal penerimaan eksternal, wasathiyah itu artinya menolak ekstrimisme yaitu tidak ekstrim kanan atau kiri. Selain itu, wasathiyah juga dimaknai untuk tidak ultra konservatisme, dan tidak ultra liberalisme. Artinya, tidak menjadi kelompok yang mempertahankan tradisi dengan sedemikian kuat sampai melupakan perubahan. Di sisi lain juga tidak ultra liberalisme, atau menjadi kelompok yang sangat liberal.
Kemudian Fattah juga menyebutkan arti lain dari wasathiyah yang maknanya boleh untuk tidak toleran yaitu boleh untuk tidak toleran ke pihak luar.
“Kapan kita boleh tidak toleran, satu yaitu ketika kita berhadapan dengan sekularisme politik,” kata dia.
Selain itu, tidak boleh toleran kepada persifisme moral atau tidak peduli dengan dekadensi moral. (*)