JAKARTA, MENARA62.COM – Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo mengingatkan negara Indonesia dibentuk sebagai negara kekeluargaan yang inklusif, yang memberikan ruang kepada keberagaman dan bukan perseorangan, atau kelompok/golongan. Karena itu semestinya lembaga perwakilan rakyat yang dibentuk juga harus mencerminkan keterwakilan kedaulatan seluruh rakyat secara menyeluruh.
Tetapi yang sekarang terjadi, lembaga perwakilan rakyat dalam hal ini DPR, lebih mempresentasikan keterwakilan partai politik.
“Padahal mendelegasikan kedaulatan rakyat kepada keterwakilan kepartaian berisiko menimbulkan kedaulatan rakyat dibawah kendali persorangan atau golongan yang kuat,” kata Pontjo pada serial FGD Mengukuhkan Kebangsaan yang Berperadaban: Menuju Cita-Cita Nasional dengan Paradigma Pancasila yang digelar Aliansi Kebangsaan, Forum Rektor Indonesia dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Jumat (10/7/2020).
FGD bertema Pembangunan Ranah Institusional –Politikal pada Tata Kelola Kelembagaan Politik: Sistem Perwakilan Inklusif tersebut digelar secara virtual dengan menghadirkan sejumlah narasumber.
Diakui Pontjo, keterwakilan melalui partai politik memang sudah menjadi sangat umum terjadi. Tetapi berbagai kalangan merasa bahwa keterwakilan melalui parpol telah mengabaikan kepentingan dan kekuatan lain yang ada di dalam masyarakat.
Kondisi tersebut lanjut Pontjo, sebenarnya tidak hanya terjadi di negara Indonesia. Negara-negara lain yang menganut sistem demokrasi pun mengalami persoalan serupa. Misalnya saja India. Negara tersebut kemudian menyiasatinya dengan mengikutsertakan Lok Shaba yang mewakili majelis rendah dan golongan budaya, kesusastraan serta pekerja sosial sebagai majelis tinggi untuk merepresentasikan keterwakilan kelompok minoritas dan kelompok yang membutuhkan perlindungan.
Ia juga menyoroti bagaimana demokrasi di Indonesia telah dibajak oleh kaum oligarkis yang berlindung dibalik partai politik. Kondisi tersebut terjadi akibat absennya ideologi dalam kehidupan politik di tanah air bahkan saat reformasi telah dilakukan. Akibatnya pemilu yang mestinya menjadi ajang demokrasi untuk memproduksi kebajikan dan keutamaan bagi kemaslahatan rakyat, malah menghasilkan lembaga perwakilan rakyat yang cenderung mewakili parpol dan bukan merepresentasikan kepentingan masyarakat.
Merujuk pada sejarah ontologis negara Indonesia, pembentukan negara Indonesia yang dikehendaki adalah negara kekeluargaan inklusif yang bisa memberikan ruang kepada segala keragaman bukan negara perseorangan atau golongan. Dengan konsep kekeluargaan maka prinsip demokrasi Indonesia adalah demokrasi permusyawaratan yang dipandang sejalan dengan pokok pikiran ke-3 Pembukaan UUD 1945.
“Prinsip demokrasi seperti ini harus tercermin dalam pembentukan lembaga perwakilan rakyat,” lanjut Pontjo.
Atas dasar itulah maka timbul pemikiran untuk membentuk lembaga perwakilan yang terdiri dari tiga unsur perwakilan. Yakni perwakilan parpol, utusan golongan dan perwakilan daerah.
Sementara Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) Arif Satria mengatakan demokrasi akan mampu mendorong ekonomi negara menjadi maju. Tetapi tentu saja membutuhkan prasyarat-prasyarat lain yang harus dipenuhi, misalnya kematangan sosial, kondisi politik dalam negeri dan sebagainya.
Ia mencontohkan bagaimana proses demokrasi yang terjadi di Filipina pada tahun 1980-an pasca jatuhnya Presiden Marcos dan digantikan Corazon Aquino, yang ternyata hingga saat ini tidak menghasilkan kemajuan siginifikan bagi perekonomian negara tersebut. Sebaliknya di India, proses demokratisasi di negara tersebut diprediksi bakal mendorong India menjadi negara besar.
“Jadi poin saya adalah bahwa demokratisasi akan dapat mendorong ekonomi sebuah negara menjadi maju, dengan prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi,” jelas Arif.
menurutnya jika Pancasila menjadi pilar yang kita pegang teguh, maka semua praktik bernegara juga harus berdasarkan nilai-nilai dari Pancasila. Karenanya evaluasi terhadap proses demokrasi harus tetap mengacu pada landasan nilai-nilai Pancasila.
Sementara itu, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Jimly Asshiddiqie menilai perlunya mengevaluasi reformasi yang sudah berjalan lebih dari 20 tahun. Misalnya saja dalam hal utusan golongan yang kini sudah dihapuskan setelah ada amandemen UUD 45. Utusan golongan ini isunya dianggap diangkat oleh presiden. Padahal utusan golongan bisa saja melalui proses pemilihan
“Isunya semua harus dipilih beda dengan semua harus terwakili. Jadi jangan dengan menghilangkan utusan golongan. Ini hanya perlu kreativitas founding leaders saja,” jelas Prof Jimly.
Ia menjelaskan negara yang menggunakan sistem keterwakilan bikameral seperti Inggris dan Amerika Serikat memiliki dua kamar legislatif atau parlemen. Di Inggris, sistem dua kamar ini dipraktikkan dengan menggunakan Dewan Bangsawan (House of Lords) dan Dewan Rakyat (House of Commons). Di Amerika Serikat sistem ini diterapkan melalui kehadiran Senat (Senate) dan Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representatives) dimana masing-masing mempresentasikan keterwakilan partai politik dan utusan daerah.
Indonesia juga menggunakan sistem yang agak mendekati sistem dua kamar melalui kehadiran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MRP) yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Meskipun dalam praktiknya sistem ini tidak sempurna karena masih terbatasnya peran DPD dalam sistem politik di Indonesia.
“Kalau utusan golongan mau dihidupkan lagi, boleh-boleh saja, termasuk mengevaluasi keberadaan MPR, DPR dan DPD,” lanjut Jimly.
Menurut Jimly, Perwakilan Daerah (DPD) kurang memiliki fungsi. Sebab, DPD pada praktiknya justru melenceng dari cita-cita awal ketika dibentuk. Sesuai tugasnya DPD semestinya mengajukan usul rancangan undang-undang (RUU), pembahasan RUU, pertimbangan atas RUU dan pemilihan anggota BPK, serta melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang.
Namun, kondisinya tidak demikian. Lembaga ini dibentuk sebagai tempat berhimpunnya tokoh-tokoh daerah yang membawa aspirasi dari daerah dan non partisan. Sekarang sudah partaisasi.
“Harus ada desain makro untuk memperbaiki DPD. Desain itu berupa pengubahan konstitusi menghidupkan kembali GBHN,” kata Jimmly.
Senada juga dikemukakan peneliti LIPI Siti Zuhro. Ia mengatakan 22 tahun reformasi telah menghasilkan perjalanan demokrasi dengan keterwakilan yang rancu dan parpol yang belum sehat. Dan ini menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dibenahi.
“Konstruksi berbangsa dan bernegara Indonesia sejauh ini belum mencapai bentuk yang ideal dan final,” tandas Siti Zuhro.